Momen itu bukan hanya soal simbol turun takhta—ia juga menyerahkan seluruh wilayah kerajaannya, harta kekayaan, serta melepaskan status bangsawan dan menjadi rakyat biasa. Berikut poin-poin pentingnya:
🏰 1. Penegasan Kesetiaan dan Penyerahan Kekuasaan
Pada 24 November 1945, Sultan mengirim telegram kepada Presiden Soekarno, menyatakan bahwa Siak Sri Indrapura adalah bagian dari Republik Indonesia dan menyerahkan mahkota serta kekayaannya yang bernilai sekitar 13 juta gulden Belanda (setara ±Rp1 triliun sekarang) .
Dia juga turun dari tahta, menjadikan dirinya warga negara biasa tanpa hak istimewa .
🌄 2. Penyerahan Wilayah dan Dukungan Politik
Sultan menyerahkan seluruh wilayah kekuasaannya di Sumatera Timur—meliputi Kerajaan Melayu Deli, Serdang, Riau, Kepulauan Riau—kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Ia juga aktif meyakinkan raja-raja lain di Sumatera untuk ikut bergabung dalam NKRI .
💰 3. Kontribusi Finansial dan Sumber Daya
Selain 13 juta gulden, Sultan menyerahkan mahkota, keris, pedang, dan harta benda kerajaan lainnya .
Hasil migas dari ladang Minas, Siak, dan Zamrud—yang pada masa lampau dikuasainya—diserahkan demi pendanaan pembangunan negara baru .
Ia bahkan mendukung pembelian pesawat “Seulawah” untuk perjuangan lewat Aceh .
🎖️ 4. Status dan Penghargaan Setelahnya
Sultan sempat diangkat sebagai penasihat presiden (Soekarno) antara tahun 1946–1950-an, meski tidak menarik gaji .
Tidak lama setelah penyerahan, ia diungsikan ke Aceh karena ancaman Belanda .
Setelah itu, ia kembali ke Siak dan wafat pada 23 April 1968, lalu dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 1998 .
Hubungan dengan Kerajaan Kutai & Perhatian kepada Anak-Cucunya
Ada sedikit kekeliruan terkait “Kerajaan Kutai”: Sultan Siak tidak mewariskan Kutai—yang merupakan kerajaan di Kalimantan—tapi menyerahkan Kerajaan Siak Sri Indrapura (terletak di Riau).
Sedangkan mengenai “anak cucuku”: secara hukum dan adat, setelah Sultan menyerahkan segala hak istimewa dan kekayaan kerajaan kepada negara, maka golongan keturunannya tidak mendapatkan warisan status kerajaan atau harta resmi dari pemerintah. Namun secara adat dan historis, keluarga keraton tetap dihormati di level lokal, dan beberapa keturunan masih aktif dalam kegiatan budaya dan sosial di Siak.
Kesimpulan
Sultan Syarif Kasim II memberikan kontribusi luar biasa untuk Negara:
✅ Penyerahan tahta, wilayah, dan harta secara total
✅ Dukungan dana dan migas untuk negara
✅ Upaya konsolidasi politik raja-raja di Sumatera
✅ Menangkap peran penting dalam sejarah Republik Indonesia.
Haji Furada
Poin utamanya: Pejabat di Kabupaten Bengkalis tidak diperbolehkan menunaikan haji furada, karena tidak ada visa furoda resmi yang dikeluarkan—secara hukum, praktik ini belum diakui.
🕌 Apa itu haji furada?
Haji furada adalah penyelenggaraan ibadah haji di luar kuota resmi (on paper quota) yang dikelola oleh pemerintah Arab Saudi. Biasanya dilakukan melalui jalur visa khusus atas permohonan langsung ke kerajaan Saudi, bukan melalui sistem resmi Kementerian Agama RI.
Oleh : Tengku Iskandar, M. Pd
Kenapa dilarang?
1. Visa furoda tidak sah
Tahun ini tidak ada visa furoda resmi yang diterbitkan untuk jemaah Indonesia .
2. Tidak memiliki dasar hukum
Tanpa visa resmi dan regulasi jelas, pelaksanaannya “tidak memiliki status hukum” .
Dampak untuk pejabat Bengkalis
Pejabat daerah dari Bengkalis tidak diperkenankan ikut haji furada, karena hal ini dianggap ilegal dan belum diakui negara maupun Saudi.
Jika tetap dilakukan, bisa berpotensi sanksi administratif atau pelanggaran etika pelayanan publik.
Rekomendasi
Prioritaskan kuota haji resmi melalui Kemenag.
Jika masih mempertimbangkan furada, pastikan ada visa sah dan pahami risikonya dengan tuntas.
Untuk pejabat publik, selalu patuhi regulasi pemerintah dan hindari tindakan yang berpotensi menimbulkan inkonsistensi hukum dan etik. (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
