Wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah meredup. Skenario ini sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan politik. Banyak pihak meyakini figur Jokowi akan menjadi magnet elektoral yang sangat kuat. Kehadirannya bisa melambungkan PSI melewati ambang batas parlemen 4%. Namun, dengan Kaesang Pangarep yang kini kokoh di kursi ketua umum, pertanyaan besar pun muncul. Bagaimana nasib dan peluang treshold PSI 2029 tanpa Jokowi di pucuk pimpinan?
Tantangan bagi PSI kini menjadi jauh lebih nyata. Partai ini harus merancang strategi baru. Mereka tidak bisa lagi bergantung pada harapan akan “Jokowi effect” secara langsung. Fokus utama kini sepenuhnya berada di pundak Kaesang Pangarep. Ia harus membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin partai politik modern.
Beban Berat di Pundak Kaesang Pangarep
Suara partai berlambang mawar ini meningkat signifikan. Dari 1,89% pada 2019, PSI meraup sekitar 2,8% suara sah nasional pada 2024. Angka ini menunjukkan progres yang jelas. Namun, capaian tersebut masih belum cukup untuk mengantar wakilnya ke Senayan. Kini, Kaesang memiliki waktu lima tahun untuk melakukan konsolidasi. Ia tidak bisa hanya mengandalkan statusnya sebagai putra presiden. Pemilu 2029 akan menjadi panggung pembuktian sesungguhnya. Kaesang harus mampu membangun mesin partai yang solid hingga ke tingkat akar rumput. Ini adalah pekerjaan rumah yang sangat fundamental. Seorang pengamat politik, Adi Prayitno, pernah memberikan pandangannya. Ia menilai PSI butuh lebih dari sekadar figur. Kaesang harus membuktikan ia lebih dari sekadar putra presiden. Ia perlu menunjukkan visi politik yang jelas dan diterima publik,”
Kutipan ini menegaskan bahwa popularitas saja tidak cukup. Kaesang harus mampu merumuskan narasi dan program kerja yang relevan. Narasi ini harus menjawab kebutuhan masyarakat luas, terutama generasi muda yang menjadi target utama PSI.
Strategi Menuju Ambang Batas Parlemen
Untuk mengamankan peluang treshold PSI 2029, ada beberapa langkah strategis yang harus diambil. Pertama, PSI wajib memperkuat struktur internal. Partai harus memiliki pengurus yang aktif dan militan di setiap provinsi, kabupaten, dan kota. Mereka adalah ujung tombak untuk meraih suara di daerah. Kedua, PSI perlu memperjelas identitas politiknya. Selama ini, PSI sangat identik sebagai “partai Jokowi”. Tanpa Jokowi sebagai ketua umum, PSI harus mencari diferensiasi lain. Apakah PSI akan menjadi partai anak muda yang progresif? Ataukah menjadi partai nasionalis yang berfokus pada pembangunan infrastruktur? Kejelasan posisi ini akan membantu membentuk basis pemilih yang loyal.
Ketiga, kaderisasi menjadi kunci. PSI harus aktif merekrut dan membina calon legislator yang berkualitas. Figur-figur populer di tingkat lokal bisa menjadi daya tarik tambahan. Mereka dapat membantu mendulang suara di daerah pemilihan masing-masing. Ini adalah strategi yang efektif untuk melengkapi popularitas figur nasional.
Peran Tersembunyi Jokowi
Meskipun Jokowi tidak menjabat sebagai ketua umum, pengaruhnya tentu tidak akan hilang begitu saja. Sebagai ayah dari Kaesang, restu dan dukungan politiknya tetap menjadi aset berharga. Jokowi bisa berperan sebagai mentor atau penasihat strategis di balik layar. Keberadaannya sebagai “Bapak Bangsa” akan terus memberikan efek positif bagi citra PSI.
Namun, partai ini harus berhati-hati. Ketergantungan berlebihan pada figur Jokowi bisa menjadi bumerang. PSI harus mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kemenangan di Pemilu 2029 akan terasa lebih otentik jika diraih melalui kerja keras mesin partai, bukan sekadar menumpang popularitas.
Pada akhirnya, gagalnya Jokowi menjadi ketua umum bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ini menjadi momentum bagi PSI untuk mendewasakan diri. Peluang treshold PSI 2029 sangat bergantung pada kemampuan Kaesang dan seluruh kader. Mereka harus bekerja cerdas dan keras untuk mengubah potensi menjadi kursi di parlemen. Jalan menuju Senayan masih panjang dan terjal.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
