Kisah
Beranda » Berita » Pelajaran Ikhlas dari Perempuan di Antiokia: Kisah Dzun Nun al-Mishri

Pelajaran Ikhlas dari Perempuan di Antiokia: Kisah Dzun Nun al-Mishri

Ilustrasi. Kisah Dzun Nun yang mendapatkan pencerahan ketika bertemu dengan seorang wanita yang dianggap gila

SURAU.CO. Kisah hikmah seringkali datang dari sumber yang tak terduga. Hal ini dialami langsung oleh sufi agung, Dzun Nun al-Mishri. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh besar dalam dunia tasawuf. Namun, sebuah pertemuan sederhana di kota Antiokia memberikan pelajaran berharga. Perjalanannya mempertemukan ia dengan seorang perempuan yang dianggap ‘gila’. Justru dari sosok inilah, sebuah dialog tentang hakikat kebaikan sejati terungkap.

Kisah bermula saat Dzun Nun berjalan melintasi sudut kota. Ia melihat seorang perempuan dengan penampilan tak biasa. Perempuan itu mengenakan jubah yang terbuat dari bulu. Tanpa diduga, perempuan tersebut menyapanya lebih dulu.

“Bukankah kamu yang bernama Dzun Nun?” tanyanya dengan tajam.

Sang sufi besar tentu saja terkejut. Namanya dikenal di banyak tempat, tapi dia tidak menyangka perempuan ini mengetahuinya. Dzun Nun pun menoleh dan bertanya balik.

“Bagaimana kamu mengenalku?”

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Kemudian perempuan itu menjawabnya dengan melampaui logika biasa. Jawaban itu datang dari kedalaman spiritual. “Cinta yang membukakan hatiku dan hatimu sehingga aku dapat mengenalimu,” ujarnya.

Ucapan itu tersebut membuat Dzun Nun teringat. Ia menyadari bahwa ia tidak sedang berbicara dengan orang biasa. Setelah itu, perempuan tersebut menengadahkan wajahnya ke langit. Ia larut dalam munajat yang indah.

“Sungguh hati para kekasih sangat rindu kepada-Nya. Hati mereka saling terkait dengan rantai kegembiraan. Mereka melihat kepada-Nya dengan pengetahuan hati.”

Makna Kedermawanan

Dzun Nun menyimak setiap kata dengan saksama. Perkataan itu sangat indah dan sarat makna. Suasana menjadi hening sesaat. Kemudian, perempuan itu kembali mengajukan pertanyaan yang menguji pemahaman Dzun Nun.

“Apakah makna kedermawanan itu?”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dengan singkatnya, Dzun Nun memberikan jawaban yang umum. “Memberikan sesuatu,” jawabnya.

Namun, perempuan itu menggeleng. Ia mencari makna yang lebih dalam. “Itu hanyalah kedermawanan duniawi, apakah kedermawanan dalam agama?” tanyanya lagi.

Dzun Nun pun berpikir sejenak. Ia kemudian memberikan jawaban yang lebih bersifat spiritual. “Bersegera dalam menjalankan ketaatan kepada Allah,” jawabnya.

Ternyata, jawaban itu masih belum memuaskan perempuan tersebut. Ia terus menggali motivasi di balik ketaatan itu.

”Bila kamu melakukan ketaatanmu dengan cepat apakah kamu mengharapkan sesuatu dari-Nya?”

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Dzun Nun menjawab sesuai pemahaman banyak orang saat itu. “Ya.Aku berharap satu amal terbalas menjadi sepuluh,” ungkapnya.

Di puncak dialog terjadi. Perempuan itu memberikan sebuah nasihat yang menohok. Nasihat tersebut menggambarkan cara pandang dalam beribadah.

“Jangan begitu, Wahai pemalas, hal demikian ini jelek dalam agama. Sesungguhnya bersegera dalam kebaikan hanyalah jika hatimu bersih dan tidak mengharapkan sesuatu sebagai keterbukaan atas perbuatanmu,” katanya.

Perempuan itu lalu membagikan pengalamannya sendiri. Ia menjelaskan tingkatan ikhlas yang sejati.
“Sejujurnya sejak dua puluh tahun lalu aku mengharapkan balasan dari amal kebaikan. Lalu aku malu pada-Nya, karena aku takut menjadi seperti buruh rendahan yang bekerja hanya untuk upah semata. Tidak! Aku tidak demikian, karena aku beramal tiada orang lain kecuali untuk mengagungkan nama-Nya.”

Perkataannya menyadarkan Dzun Nun. Ibadah yang tulus bukanlah transaksi dagang. Ia bukan amal yang dilakukan untuk mengharap ketidakseimbangan surga atau pahala. Ibadah sejati adalah ekspresi cinta dan pengagungan murni kepada Sang Pencipta.

Mengenal Dzun Nun: Sufi yang Pernah Dituduh Zindik

Banyak hikmah dari sufi besar Dzun Nun Al-Mishri ini. Lalu Siapakah sebenarnya Dzun Nun al-Mishri? Para ulama memiliki beberapa pendapat mengenai nama aslinya. Ada yang menyebut Abul Fayd bin Ahmad. Ada pula yang mengatakan namanya Dzun Nun bin Ibrahim al-Ikhmimi. Ia lahir pada tahun 180 H (796 M) di Ikhmim, sebuah daerah dataran tinggi di Mesir. Ia wafat pada tahun 246 H (856 M).

Meski terkenal sebagai wali besar, perjalanan spiritual Dzun Nun tidak selalu mulus. Ia pernah menghadapi cobaan yang sangat berat. salah satu kisah Dzun Nun adalah ketika para ulama di Mesir pada masanya pernah mengasingkannya. Bahkan Dzun Nun mendapat tuduhan serius sebagai seorang zindik.

As-Sulami mengisahkan peristiwa ini dalam kitabnya yang berjudul Mihanush Shufiyyah. Menurutnya Dzun Nun Al-Mishri adalah orang pertama di negerinya yang berbicara secara terbuka. Ia membahas tentang tingkatan kondisi spiritual (ahwal) dan derajat untuk bertahan. Banyak yang mengaanggap konsep tersebut baru dan asing pada zaman itu. Abdullah bin Abdul Hakam, seorang ulama besar mazhab Maliki, menentang keras gagasannya. Ia menganggap pemikiran Dzun Nun sesat. Akibatnya, isu tersebut menyebar dengan cepat. Dzun Nun intinya membawa ajaran baru yang tidak pernah tersampaikan oleh ulama salaf.

Tuduhan zindik sangatlah berbahaya. Istilah ini merujuk pada orang-orang yang dianggap tersesat, munafik, bahkan murtad.  Ujian ini menunjukkan betapa beratnya jalan para perintis pemikiran tasawuf. Kisah Dzun Nun al-Mishri mengajarkan kita dua hal penting. Pertama, kebijaksanaan dapat datang dari siapa saja, bahkan dari sosok yang dipandang rendah oleh masyarakat. Kedua, perjalanan spiritual menuntut keikhlasan murni dan keberanian menghadapi tantangan. ( ENHA/berbagai sumber)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement