SURAU.CO -Islam mengajarkan kita untuk menjaga lisan dan tidak membicarakan keburukan orang lain. Agama melarang keras perilaku seperti ghibah dan fitnah karena keduanya dapat merusak harmoni sosial. Akan tetapi, prinsip ini memiliki sebuah pengecualian yang sangat penting. Al-Qur’an memberikan izin khusus ketika seseorang menjadi korban kezaliman untuk angkat bicara.
Izin ini memegang peran krusial dalam penegakan keadilan. Coba bayangkan seorang korban kejahatan yang tidak bisa menyuarakan apa yang ia alami. Padahal, keterangannya menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran. Untuk itu, Islam sebagai agama yang adil, menyediakan jalan keluar dan secara tegas melindungi hak-hak kaum yang tertindas.
Landasan Suci dari Surat An-Nisa Ayat 148
Pengecualian ini bukan tanpa dasar, melainkan berakar kuat pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, khususnya Surat An-Nisa ayat 148:
لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا
Artinya: “Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat ini secara jelas membedakan antara umpatan tercela dengan pengaduan atas ketidakadilan. Allah menegaskan ketidaksukaan-Nya pada ucapan buruk, namun segera menyertakan klausa “kecuali oleh orang yang dizalimi.” Ini menunjukkan bahwa bagi korban, menyuarakan penderitaan bukanlah dosa, melainkan sebuah hak yang sah. Sifat Allah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui menjamin bahwa setiap aduan tidak akan pernah sia-sia.
Penjelasan Ahli Tafsir: Dua Makna di Balik Izin Allah
Para ulama ahli tafsir telah lama mengkaji ayat ini untuk membedah maknanya. Imam Ath-Thabari, misalnya, menjelaskan bahwa cara kita membaca lafadz “zhulima” (dizalimi) menjadi kunci interpretasi. Dari pembacaan ini, para ulama merumuskan dua pandangan utama:
-
Izin Mendoakan Pelaku: Pandangan pertama menyatakan bahwa ayat ini memberi korban izin untuk mendoakan keburukan bagi orang yang telah menganiayanya, sebagai bentuk balasan yang setimpal.
-
Hak Mengadu: Pandangan kedua, yang didukung oleh sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas, menafsirkan ayat ini sebagai hak bagi korban untuk mengadukan perlakuan aniaya. Korban bisa melapor kepada pihak berwenang atau orang lain untuk menuntut keadilan.
Syekh Al-Baghawi bahkan menguatkan pandangan ini dengan merujuk pada Surat Asy-Syura ayat 41, yang menegaskan tidak ada cela bagi orang yang membela diri setelah mengalami kezaliman.
Membela Diri Tetap Harus Tahu Batas
Meskipun Islam memberikan hak untuk membela diri, hak tersebut tidaklah tanpa batas. Setiap Muslim harus memegang prinsip proporsionalitas. Artinya, tindakan balasan tidak boleh lebih kejam dari perbuatan zalim yang ia terima.
Sebuah hadits riwayat Imam Muslim memberikan ilustrasi yang jelas. Rasulullah SAW menceritakan tentang hak seorang tamu yang tidak mendapat jamuan layak. Beliau menyatakan tamu itu boleh “mengambil haknya.” Para ulama menafsirkan ini sebagai izin untuk menceritakan perlakuan buruk tersebut kepada publik. Kisah ini menunjukkan bahwa Islam memang memperbolehkan kita menyuarakan ketidakadilan.
Jalan Terbaik: Memaafkan Tanpa Mengabaikan Keadilan
Pada akhirnya, Islam selalu menempatkan sikap pemaaf pada derajat yang paling mulia. Surat Asy-Syura ayat 40 mengingatkan kita bahwa balasan kejahatan adalah kejahatan setimpal, tetapi siapa pun yang memilih memaafkan, maka Allah sendiri yang akan memberinya pahala.
Kesimpulannya, Islam menawarkan mekanisme yang sangat seimbang. Korban kezaliman memiliki hak penuh untuk bersuara dan menuntut keadilan. Akan tetapi, mereka harus melakukannya dalam koridor yang adil dan tidak berlebihan. Menegakkan keadilan adalah sebuah kewajiban, namun memilih jalan maaf adalah tangga menuju kemuliaan yang lebih tinggi. Wallahu a’lam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
