SURAU.CO – Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M. Hamzah, melontarkan pernyataan yang cukup mengejutkan publik. Ia menyebut bahwa penjual pecel lele yang biasa berjualan di atas trotoar berpotensi terjerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Chandra Hamzah menyampaikan pernyataan ini dalam sebuah diskusi publik. Diskusi tersebut membahas mengenai efektivitas dan lingkup pemberantasan korupsi di Indonesia. Sontak, pernyataan Chandra Hamzah ini memicu perdebatan luas. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana mungkin seorang pedagang kecil bisa tersangkut kasus korupsi. Padahal, masyarakat umum memahami UU Tipikor biasanya menyasar pejabat negara atau pihak yang memiliki kewenangan besar.
Luasnya Definisi Penyelenggara Negara dalam UU Tipikor
Chandra Hamzah menjelaskan dasar argumentasinya dengan rinci. Menurutnya, UU Tipikor memiliki definisi yang sangat luas. Definisi ini mengenai siapa saja yang dapat orang kategorikan sebagai “penyelenggara negara”. Atau, siapa saja pihak yang dapat melakukan tindak pidana korupsi. Kuncinya bukan terletak pada jabatan formal seseorang. Akan tetapi, pada tindakan yang berpotensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu, harus ada unsur penyalahgunaan wewenang atau kesempatan yang melekat.
“Undang-Undang Tipikor kita itu kan tidak hanya mengatur soal penyelenggara negara dalam arti sempit,” kata Chandra Hamzah. CNN Indonesia mengutip pernyataannya ini dalam diskusi pada Jumat (20/6/2025). Chandra menyoroti bahwa banyak pasal dalam UU Tipikor yang bisa menjerat individu di luar lingkaran birokrasi formal. Asalkan, unsur-unsur pidana korupsi telah terpenuhi.
Ia kemudian memberikan contoh spesifik mengenai penjual pecel lele. Jika seorang penjual pecel lele berjualan di atas trotoar, ia sebenarnya telah menggunakan fasilitas publik. Padahal, fasilitas tersebut seharusnya untuk para pejalan kaki. Tindakan ini bisa orang anggap sebagai penyalahgunaan fasilitas publik. Apalagi jika tindakan tersebut sampai menyebabkan kerusakan pada trotoar. Atau, jika tindakan itu menghalangi akses publik yang seharusnya negara jamin.
Potensi Kerugian Negara dan Unsur Pidana yang Bisa Menjerat
Lebih lanjut, Chandra Hamzah menjelaskan bagaimana potensi kerugian negara bisa muncul dari tindakan sederhana tersebut. Misalnya, jika kerusakan trotoar akibat aktivitas berjualan itu memerlukan biaya perbaikan. Biaya perbaikan ini tentu berasal dari anggaran negara. Maka, di situlah unsur kerugian negara bisa terpenuhi. Selain itu, jika ada “kesepakatan tidak resmi” antara pedagang dengan oknum aparat tertentu, maka pedagang bisa berjualan di trotoar. Kesepakatan ini bisa masuk dalam ranah suap atau gratifikasi. Meskipun mungkin nilainya relatif kecil.
“Kalau misalnya dia (penjual pecel lele) merusak trotoar, kemudian trotoar itu harus diperbaiki dengan uang negara, itu sudah masuk kerugian negara,” papar Chandra. Ia menekankan bahwa niat atau mens rea dalam tindak pidana korupsi tidak selalu harus berupa niat jahat. Niat untuk memperkaya diri sendiri secara masif juga tidak selalu menjadi syarat utama. Kelalaian yang menyebabkan kerugian negara juga bisa menjadi dasar penindakan.
Namun, Chandra juga mengakui sebuah realitas. Penegakan hukum UU Tipikor terhadap kasus sekecil ini mungkin tidak akan menjadi prioritas aparat. Aparat penegak hukum biasanya lebih fokus pada kasus-kasus korupsi besar. Kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara. Serta kasus yang memiliki dampak kerugian negara yang signifikan. Akan tetapi, secara teoretis dan berdasarkan bunyi pasal-pasal dalam UU Tipikor, potensi jeratan hukum itu tetap ada. “Secara undang-undang, bisa kena. Apakah akan diproses? Itu soal lain, soal prioritas penegakan hukum,” tambahnya.
Tujuan Pernyataan: Kritik Konstruktif atau Peringatan Keras?
Publik bisa menafsirkan pernyataan Chandra Hamzah ini dalam beberapa cara. Pertama, ini bisa menjadi sebuah kritik halus terhadap UU Tipikor itu sendiri. Undang-undang ini mungkin memiliki cakupan yang terlalu luas. Sehingga, berpotensi menjerat masyarakat kecil yang mungkin tidak memiliki niat koruptif sama sekali. Kedua, ini bisa menjadi sebuah peringatan keras bagi semua pihak. Peringatan bahwa setiap tindakan yang merugikan keuangan negara, sekecil apapun bentuknya, memiliki konsekuensi hukum. Termasuk juga penyalahgunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi.
Beberapa ahli hukum lain mungkin memiliki pandangan yang berbeda. Mereka mungkin berpendapat bahwa semangat UU Tipikor adalah untuk memberantas korupsi. Terutama korupsi yang mereka lakukan yang memiliki kekuasaan dan kewenangan. Bukan untuk menyasar pedagang kecil dengan permasalahan yang bersifat administratif atau masalah ketertiban umum. Namun, jika kita melakukan interpretasi harfiah terhadap pasal-pasal UU Tipikor, maka ruang bagi argumentasi seperti yang Chandra Hamzah sampaikan memang terbuka.
Perlunya Proporsionalitas dalam Penegakan Hukum Pidana Korupsi
Kasus penjual pecel lele ini menjadi sebuah contoh ekstrem. Contoh yang efektif memancing diskusi mengenai proporsionalitas dalam penegakan hukum pidana korupsi. Apakah sumber daya aparat penegak hukum harus mereka kerahkan untuk menangani kasus-kasus minor seperti ini? Ataukah fokus aparat seharusnya tetap pada “ikan-ikan kakap”? Ikan kakap yang jelas-jelas merugikan negara hingga triliunan rupiah. Ini menjadi perdebatan yang terus berlangsung di kalangan praktisi dan akademisi hukum.
Pernyataan Chandra Hamzah juga bisa kita lihat sebagai sebuah momentum. Momentum untuk meninjau kembali beberapa pasal dalam UU Tipikor. Apakah ada kebutuhan mendesak untuk memperjelas definisi “penyelenggara negara”? Atau, apakah perlu ada penegasan batasan tindakan apa saja yang dapat orang kategorikan sebagai tindak pidana korupsi? Upaya ini terutama untuk menghindari potensi kriminalisasi terhadap masyarakat kecil yang tidak berdaya. Beberapa kali, berbagai pihak memang telah mewacanakan revisi UU Tipikor. Namun, prosesnya selalu kompleks dan penuh dengan perdebatan kepentingan.
Yang jelas, diskusi yang Chandra Hamzah picu ini sangat menarik. Ini mengingatkan kita semua bahwa pemahaman terhadap hukum, termasuk UU Tipikor, bisa sangat luas dan multitafsir. Setiap warga negara, apapun profesinya, memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan negara. Sekaligus, aparat penegak hukum juga memiliki tanggung jawab besar. Tanggung jawab untuk menerapkan hukum secara adil, proporsional, dan bijaksana. Fokus utama pemberantasan korupsi harus tetap pada praktik-praktik yang bersifat sistemik. Serta praktik-praktik yang secara nyata merusak sendi-sendi tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Bukan pada pelanggaran-pelanggaran kecil yang mungkin lebih tepat penanganannya dengan sanksi administratif atau pembinaan. (CNN Indonesia/KAN)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
