SURAU.CO. Dalam khazanah akhlak Islam, ada satu sifat mulia yang menjadi pilar utama. Sifat itu bernama wara’. Secara sederhana, wara’ adalah sikap menjaga diri dari hal-hal yang meragukan (syubhat), apalagi yang jelas haram. Prinsip kehati-hatian ini menjadi fondasi bagi seorang hamba untuk mencapai kedudukan spiritual yang tinggi.
Banyak kisah menakjubkan tentang penerapan sikap ini. Salah satu teladan terbaik datang dari seorang ulama besar generasi tabiin, Syekh Hasan al-Basri. Beliau memiliki sebuah kisah inspiratif yang menunjukkan betapa luhurnya kedudukan wara’ dalam pandangan para salafus shalih.
Dialog Penuh Hikmah di Depan Ka’bah
Kisah ini tercatat dalam kitab klasik Risalah Qusyairiyah karya Imam Al-Qusyairi. Suatu ketika, Hasan al-Basri sedang berada di Masjidil Haram. Pandangannya tertuju pada seorang pemuda yang begitu berwibawa. Pemuda itu adalah salah satu putra dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ia bersandar di dinding Ka’bah sambil memberikan nasihat kebaikan kepada orang-orang di sekelilingnya. Terkesan dengan pemandangan itu, Hasan al-Basri pun mendekat. Beliau kemudian mengajukan sebuah pertanyaan mendasar.
“Apa kebesaran agama?” tanya Hasan al-Basri.
Dengan lugas dan mantap, putra Sayyidina Ali itu menjawab, “Wara’.”
Jawaban singkat itu membuat Hasan al-Basri semakin penasaran. Ia pun melanjutkan pertanyaannya, “Lalu, apa penyakit agama itu?”
“Tamak,” jawab pemuda itu kembali.
Dialog singkat tersebut memberikan kesan yang sangat mendalam bagi Hasan al-Basri.
Beliau begitu kagum dengan jawaban yang padat makna itu. Saking terkesannya, beliau lantas berkata:
“Berat timbangan satu biji wara’ yang murni lebih baik daripada timbangan seribu puasa dan solat.”
Ucapan ini menegaskan bahwa kualitas spiritual yang lahir dari kehati-hatian jauh lebih berbobot daripada kuantitas ibadah ritual tanpa adanya penjagaan diri.
Wara’ Menurut Pandangan Para Sufi
Sikap wara’ memiliki posisi yang sangat terhormat, terutama dalam tradisi tasawuf. Para sufi menjadikannya sebagai bekal wajib dalam perjalanan mereka menuju Allah SWT. Tanpa wara’, perjalanan spiritual adalah rapuh dan mudah goyah.
Yahya bin Muadz, seorang sufi besar, pernah mengungkapkan pentingnya sifat ini. Ia berkata:
“Barangsiapa yang belum pernah menikmati lezatnya wara’ , maka dia belum pernah menikmati pemberian Allah SWT.”
Artinya, kenikmatan sejati dari anugerah ilahi baru bisa terasa ketika seseorang mampu menjaga dirinya dari perkara syubhat. Sufi lainnya, Ibrahim bin Adham, memberikan definisi yang lebih praktis. Menurutnya:
“Yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang subhat dan tidak pasti (tidak dikehendaki), yakni meninggalkan hal-hal yang tak berfaedah.”
Definisi ini memperluas makna wara’. Tidak hanya meninggalkan yang haram atau syubhat, tetapi juga meninggalkan segala sesuatu yang sia-sia dan tidak mendatangkan manfaat.
Puncak Ibadah Seorang Hamba
Kedudukan wara’ yang istimewa ini sejatinya berakar dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, Rasulullah
SAW memberikan sebuah nasihat emas. Nabi SAW bersabda:
“Jadilah orang yang wara’ maka engkau akan menjadi orang yang paling beribadah diantara manusia.”
Hadis ini secara jelas menempatkan wara’ sebagai standar tertinggi dalam beribadah. Seseorang bisa disebut sebagai ahli ibadah sejati bukan karena banyaknya rakaat shalat atau lamanya puasa. Namun, ia dinilai dari sejauh mana ia mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dilarang dan diragukan.
Pentingnya Wara’ dalam Menuntut Ilmu
Sikap wara’ menjadi semakin krusial dalam konteks menuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu yang tidak memiliki sifat wara’ akan kesulitan mendapatkan ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’). Imam az-Zarnuji dalam kitabnya yang fenomenal, Ta’limul Muta’allim, mengutip sebuah riwayat penting tentang hal ini.
مَنْ لَمْ يَتَوَرَّعْ فِي تَعَلُّمِهٖ اِبْتَلَاهُ اللّٰهُ تَعَالَى بِاَحَدِ ثَلاَثَةِ اَشْيَاءَ : اِمَّا اَنْ يُمِيْتَهُ فِي شَبَابِهٖ اَوْ يُوْقِعَهُ فِيْ الرَّسَاتِيْقِ اَوْ يَبْتَلِيْهُ بِخِدْمَةِ السُّلْطَانِ
“Barang siapa tidak bersikap wara’ dalam menuntut ilmu, maka Allah akan mengujinya dengan salah satu dari tiga perkara: meninggal saat muda, tinggal di desa yang dikelilingi orang-orang bodoh, atau sibuk melayani raja.”
Peringatan ini memiliki makna yang dalam. Pertama, meninggal pada usia muda bisa berarti ilmunya belum sempat mengamalkan atau mengagajarkannya. Kedua, tinggal di lingkungan orang bodoh membuat ilmunya tidak berkembang dan sia-sia. Ketiga, menjadi pelayan penguasa (yang zalim) berisiko menyalahgunakan ilmunya untuk kepentingan duniawi, bukan untuk membela kebenaran.
Inilah mengapa ulama-ulama besar seperti Imam asy-Syafi’i, Imam al-Haramain, hingga Imam al-Ghazali sangat memegang teguh prinsip wara’. Bagi mereka, menjaga kesucian diri dari perkara haram dan syubhat adalah syarat mutlak. Tujuannya hanya satu, yaitu agar mereka mendapat anugerah ilmu yang bermanfaat dan penuh berkah oleh Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.