Opinion
Beranda » Berita » Jokowi dan Keluarga Dijadikan Tameng, Akar Masalah Bangsa

Jokowi dan Keluarga Dijadikan Tameng, Akar Masalah Bangsa

Jokowi dan Keluarga Dijadikan Tameng, Sementara Akar Masalah Bangsa Membusuk dalam Diam.

 

“The hottest places in hell are reserved for those who in times of great moral crisis maintain their neutrality.”
— Dante Alighieri

Di tengah kebisingan politik nasional pasca-pemilu 2024, publik seolah digiring untuk terus membicarakan sosok Presiden Joko Widodo dan keluarganya. Dari soal dugaan politik dinasti, peran anak-anaknya dalam pemerintahan,Ijazah Palsu, Skripsi, hingga urusan warisan kekuasaan, semua menjadi tontonan yang menyita ruang diskusi publik. Namun, benarkah ini isu paling genting bangsa hari ini? Ataukah ini adalah bentuk pengalihan yang rapi dari krisis struktural yang lebih dalam?

Pertanyaan ini menjadi penting, sebab narasi yang diulang terus menerus bisa menjadi alat pembius kesadaran kritis publik — seolah kita lupa bahwa di balik sorotan itu, korupsi terus meluas, Papua terus dijajah secara ekonomi dan militer, dan program pemerintahan yang baru justru menciptakan gelombang PHK alih-alih pekerjaan.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

1. Korupsi: Membusuknya Moral Elite di Tengah Panggung Demokrasi

Indonesia seperti kehilangan memori kolektif atas tragedi korupsi yang merampas hak hidup rakyat. Dalam beberapa tahun terakhir, indeks persepsi korupsi Indonesia terus memburuk menurut Transparency International. Lembaga yang seharusnya menjadi garda depan pemberantasan korupsi seperti KPK dipreteli secara sistematis. Namun alih-alih fokus ke pemulihan integritas lembaga, media dan elite politik ramai-ramai sibuk membahas “etika politik keluarga Jokowi” — yang memang layak dikritik, tetapi bukan satu-satunya krisis.

Fakta bahwa korupsi menggerogoti dana bansos, proyek infrastruktur, bahkan sektor kesehatan dan pendidikan, tidak lagi mengguncang publik seperti dulu. Ini pertanda bahwa perhatian kita sudah berhasil dialihkan dari substansi menuju sensasi.

2. Papua: Luka Bernama Penjajahan dalam Balutan Pembangunan

Tanah Papua, kaya akan sumber daya nikel, emas, dan kekayaan hayati, terus menjadi objek eksploitasi negara dan korporasi asing. Di saat kita sibuk menyoroti “politik keluarga”, operasi militer di Papua justru terus berlangsung diam-diam, memicu pengungsian, trauma sosial, dan pelanggaran HAM.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Perusahaan-perusahaan tambang beroperasi dengan penjagaan aparat bersenjata, masyarakat adat terusir dari tanah mereka sendiri, dan suara rakyat Papua dibungkam dalam sistem hukum yang bias kekuasaan. Sementara itu, proyek-proyek strategis nasional di sana justru dijadikan dalih untuk menjustifikasi eksploitasi. Apa arti pembangunan bila manusia yang hidup di atasnya dirampas haknya?

3. Pemerintahan Baru: Janji-Janjinya Tak Menyentuh Bumi

Prabowo Subianto telah resmi terpilih sebagai Presiden. Namun sampai hari ini, program-program prioritas yang dijanjikan belum menemukan bentuk yang jelas. Retorika tentang makan siang gratis, pertahanan negara, dan transformasi ekonomi belum dibarengi dengan peta jalan yang konkret dan transparan.

Alih-alih menciptakan lapangan kerja, masa transisi justru diwarnai gelombang PHK, khususnya di sektor manufaktur dan tekstil. Berdasarkan laporan Kementerian Ketenagakerjaan dan asosiasi industri, ribuan pekerja di-PHK akibat ketidakpastian arah kebijakan, lemahnya daya beli masyarakat, dan kurangnya keberpihakan terhadap sektor UMKM.

Dalam keadaan ini, publik seolah dibiarkan meraba di tengah kabut — digoda oleh isu-isu permukaan sambil kehilangan orientasi terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan nyata.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Pengalihan Publik: Strategi Kekuasaan yang Tak Baru

Jika kita meminjam pisau analisis dari Noam Chomsky, apa yang terjadi saat ini adalah “manufaktur persetujuan” (manufacturing consent). Di mana media dan kekuasaan menciptakan narasi besar untuk mengontrol opini publik, bukan dengan menyembunyikan kebenaran, tetapi dengan mendistorsi fokus.

Kita terlalu sibuk bertanya apakah anak Jokowi pantas menjadi pejabat, hingga lupa bertanya: ke mana arah bangsa ini dibawa? siapa yang mengeruk keuntungan dari kekacauan ini?

Refleksi Etis: Menolak Bungkam di Tengah Kezaliman

Sebagai anak bangsa, kita punya tanggung jawab moral untuk tidak diam. Tidak ada dosa yang lebih berat dalam politik selain netralitas di tengah ketidakadilan yang terang benderang.

“Keadilan tidak akan pernah hadir jika kebenaran terus ditunda dan suara rakyat diredam,” kata Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium.

Di saat seperti ini, suara rakyat harus melampaui fanatisme terhadap tokoh dan membongkar persoalan sistem. Indonesia butuh pemimpin yang tidak hanya hadir dalam baliho, tetapi dalam kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.

Penutup: Waspada Terhadap Narasi Palsu

Bangsa yang besar bukan bangsa yang ramai bicara soal garis keturunan presiden, tapi yang berani mengakui luka-luka struktural dan menyembuhkannya. Korupsi harus dihadapi, Papua harus dibebaskan dari penjajahan ekonomi, dan pemerintahan baru harus dimintai pertanggungjawaban bukan dirayakan dengan diam.

Ingatlah, bangsa yang tidak sadar sedang dikelabui, akan merayakan kekalahannya sendiri dengan tepuk tangan. Keterangan Foto (Vinsensius Jeradu / Rai Ati Racang Rak)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement