Kisah
Beranda » Berita » Akhlak Mulia Hasan Al-Basri yang Mengetuk Pintu Hidayah

Akhlak Mulia Hasan Al-Basri yang Mengetuk Pintu Hidayah

SURAU.COAkhlak mulia adalah cerminan sejati iman seseorang. Ia bukan sekadar teori yang dihafalkan. Ia adalah tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kisah agung dari seorang ulama besar tabi’in, Hasan Al-Basri, menjadi bukti nyata akan hal ini. Beliau menunjukkan bagaimana kesabaran dan kebaikan hati mampu meluluhkan jiwa yang paling keras sekalipun. Kisah ini adalah tentang Hasan Al-Basri dan tetangga Nasraninya.

Kehidupan Bertetangga yang Diuji Kesabaran

Hasan Al-Basri adalah seorang ulama yang sangat dihormati. Beliau tinggal di sebuah rumah sederhana. Tepat di lantai atas rumahnya, tinggallah seorang tetangga beragama Nasrani. Kehidupan bertetangga mereka berjalan biasa saja pada awalnya. Namun, sebuah masalah mulai muncul dari kediaman sang tetangga. Kamar kecil di lantai atas ternyata mengalami kerusakan. Lantainya berlubang, akibatnya air kotor merembes ke bawah.

Air najis itu menetes terus-menerus dan tetesannya jatuh tepat ke dalam salah satu ruangan di rumah Hasan Al-Basri. Bagi kebanyakan orang, ini adalah masalah besar. Sebuah gangguan yang tak bisa ditoleransi. Wajar jika seseorang akan langsung mendatangi tetangganya. Mungkin dengan amarah, mungkin dengan keluhan keras. Namun, Hasan Al-Basri memilih jalan yang berbeda. Jalan kesabaran yang luar biasa.

Alih-alih mengeluh, beliau mengambil sebuah bejana. Ia meletakkan wadah itu tepat di bawah sumber tetesan. Setiap hari, air kotor dari kamar kecil tetangganya terkumpul di sana. Hasan Al-Basri dengan sabar menampungnya. Ketika hari mulai gelap dan malam tiba, beliau membawa bejana itu keluar. Ia membuang isinya diam-diam agar tidak ada seorang pun yang tahu, terutama tetangganya. Ia tidak ingin mempermalukan orang yang tinggal di atasnya.

Dua Puluh Tahun Menjaga Kehormatan Tetangga

Tindakan mulia ini tidak hanya terjadi sehari atau sebulan. Hasan Al-Basri melakukannya secara konsisten setiap hari. Pekan berganti pekan, bulan berganti bulan, dan tahun pun berganti tahun. Tanpa satu pun keluhan keluar dari lisannya. Tanpa sedikit pun raut muka kesal ia tunjukkan. Beliau menjaga rahasia ini dengan begitu rapat. Demikian yang terjadi selama dua puluh tahun. Sebuah rentang waktu yang sangat panjang untuk memendam sebuah “penderitaan” demi menjaga perasaan seorang tetangga.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Suatu hari, takdir Allah menentukan lain. Hasan Al-Basri jatuh sakit cukup parah. Kabar sakitnya sang ulama terdengar oleh tetangga Nasraninya. Merasa sebagai tetangga dekat, ia pun turun untuk menjenguk.

Saat masuk ke dalam rumah, sang tetangga melihat pemandangan aneh. Ada sebuah bejana besar di sudut ruangan. Di atasnya, terlihat jelas tetesan air kotor yang terus jatuh dari langit-langit. Ia memerhatikan dengan saksama dan ia sadar bahwa sumber rembesan itu berasal dari rumahnya. Akibat kamar kecil miliknya yang bocor. Hatinya mulai merasa tidak enak.

Sebuah Dialog yang Mengubah Segalanya

Dengan perasaan heran bercampur cemas, ia memberanikan diri bertanya kepada Hasan Al-Basri yang terbaring lemah.

“Wahai Tuan Hasan, untuk apa bejana itu?” tanyanya menunjuk ke arah wadah penampung.

Hasan Al-Basri tidak bisa lagi menyembunyikannya. Dengan suara yang lembut, ia menjelaskan bahwa bejana itu untuk menampung air yang menetes dari atas. Sang tetangga semakin terkejut dan merasa bersalah. Rasa penasarannya memuncak.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Ia bertanya, ”Sejak berapa lama anda mengalami penderitaan dariku ini?”

Hasan Al-Basri memberikan jawaban yang mengguncang jiwa tetangganya itu.

”Sejak dua puluh tahun yang lalu.”

Kata-kata itu seolah menjadi palu godam yang menghantam hati sang tetangga Nasrani. Ia terdiam seribu bahasa. Ia membayangkan betapa luar biasanya akhlak orang ini. Selama dua dekade, ia hidup dengan nyaman di atas. Sementara di bawah, tetangganya  dengan sabar menampung kotoran dari rumahnya tanpa pernah mengeluh. Kebaikan sebesar ini belum pernah ia saksikan sepanjang hidupnya.

Seketika, air matanya berlinang. Ia merasakan getaran iman yang kuat. Akhlak yang ditunjukkan Hasan Al-Basri adalah dakwah paling efektif yang pernah ia terima. Tanpa ceramah panjang, tanpa perdebatan teologis. Hanya dengan sebuah tindakan nyata yang menunjukkan keagungan ajaran Islam.

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Di hadapan Hasan Al-Basri, sang tetangga melakukan tindakan simbolis. Mendengar itu tetangga Nasrani ini melepas ikat Zunarya (pengikat di perut orang Nasrani) dan masuk Islam. Ia melepaskan identitas lamanya dan memeluk agama yang diajarkan melalui teladan kesabaran yang tak terhingga.

Kisah Hasan Al-Basri dan tetangga Nasrani ini menjadi pelajaran abadi. Bahwa dakwah terbaik sering kali bukan melalui lisan (dakwah bil lisan), melainkan melalui perbuatan (dakwah bil hal). Sebuah akhlak mulia mampu berbicara lebih keras daripada ribuan kata. (Tri)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement