SURAU.CO. Pada Jumat, 6 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto mengundang Timnas Indonesia ke kediamannya di Jalan Kertanegara IV, Jakarta. Kemenangan atas China 1-0 dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026 jadi latar euforia. Namun bukan hanya hasil pertandingan yang menyita perhatian, melainkan hadiah eksklusif, berupa jam tangan Rolex Timnas, yang dibagikan.
Sebanyak 36 orang dari tim nasional—terdiri atas 23 pemain dan 13 staf pelatih—menerima jam tangan mewah Rolex GMT-Master II. Para pengamat memperkirakan harga satu unit jam mencapai Rp255 juta. Total nilai hadiah pun menyentuh Rp9,18 miliar. Model ini dikenal di kalangan elite karena fitur zona waktu ganda dan material premium seperti Oystersteel dan keramik Cerachrom.
Apresiasi ?
Respons publik terhadap langkah Prabowo langsung terbagi. Banyak yang menyambutnya sebagai bentuk nyata penghargaan kepada prestasi nasional. Sepak bola memang memiliki daya tarik dan pengaruh kuat di masyarakat. Banyak yang menganggap, kemenangan atas tim kuat seperti China layak mendapat perhatian khusus dari pemimpin negara.
Namun di sisi lain, kritik mulai bermunculan. Banyak pihak menganggap pemberian jam mewah itu menunjukkan ketimpangan perhatian pemerintah terhadap atlet dari cabang lain. Salah satu suara keras datang dari mantan atlet wushu nasional, Lindswell Kwok.
Dalam unggahannya di media sosial, Lindswell menyayangkan sikap negara yang hanya menghargai cabang olahraga populer. Padahal, atlet-atlet dari cabang seperti wushu, panjat tebing, dan angkat besi seringkali membawa pulang medali dari ajang internasional. Mereka berjuang dalam senyap, tanpa jaminan fasilitas atau penghargaan setara.
Ketimpangan yang Terulang
Fenomena ini bukan hal baru. Beberapa atlet nasional mengaku harus latihan dalam kondisi minim peralatan, akomodasi seadanya, bahkan ada yang pulang kampung tanpa sambutan setelah berlaga di luar negeri. Ketika menang, mereka nyaris tak terdengar. Ketika kalah, tak jarang mereka menerima keputusan pemutusan pelatnas hanya lewat Zoom.
Pertanyaannya mengemuka: apakah sistem penghargaan atlet di Indonesia masih terpaku pada popularitas dan sorotan media? Apakah nilai seorang atlet ditentukan oleh jumlah penonton dan sponsor, bukan medali dan perjuangan?
Penghargaan bukan perkara salah atau benar. Mengapresiasi Timnas Indonesia dengan Rolex bukan tindakan keliru. Namun, ketika hadiah fantastis itu kontras dengan kenyataan pahit yang dialami atlet dari cabang lain, maka keadilan patut dipertanyakan.
Negara perlu meninjau ulang sistem penghargaan bagi atlet. Setiap cabang olahraga yang mengharumkan nama bangsa layak mendapat perlakuan yang adil. Bukan berdasarkan tren, tapi berdasar kontribusi dan perjuangan.
Saatnya Merancang Ulang Sistem Apresiasi
Kita bisa mengenang Jam Rolex Timnas sebagai simbol nasionalisme. Tapi juga bisa mengenang dan mengingat tentang ketidakmerataan penghargaan. Jika ingin membangun ekosistem olahraga yang sehat dan berkelanjutan, Indonesia harus menata ulang prinsip apresiasinya.
Karena sejatinya, setiap peluh yang jatuh untuk Merah Putih—di lapangan sepak bola, di matras bela diri, atau di dinding panjat tebing—memiliki harga yang sama: harga sebuah pengorbanan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
