Opinion
Beranda » Berita » Fenomena Kemunafikan Sosial di Akhir Zaman: Dekat di Luar, Bermusuhan di Dalam

Fenomena Kemunafikan Sosial di Akhir Zaman: Dekat di Luar, Bermusuhan di Dalam

Di zaman yang semakin maju secara teknologi dan informasi ini, ternyata tidak diiringi dengan kemajuan sosial akhlak dan keikhlasan hati. Justru, sebagaimana yang diungkapkan dalam kutipan bijak dari Fudhail bin Iyadh rahimahullah dalam kitab Siyarus Salaf, kita menyaksikan sebuah realita yang menyedihkan: manusia yang tampaknya bersaudara, namun hatinya saling bermusuhan.

> “Akan datang di akhir zaman sebuah kaum yang nampaknya bersaudara, tapi hati mereka bermusuhan.”
(Siyarus Salaf, hal. 1033)

1. Realita yang Terlihat: Senyum, Peluk, dan Sapaan Penuh Kepalsuan

Betapa sering kita melihat orang-orang yang terlihat akrab, saling menyapa hangat, bahkan memuji satu sama lain di depan publik. Namun, tak lama setelah berpisah, masing-masing membicarakan keburukan yang lain. Ini adalah bentuk kemunafikan sosial yang semakin membudaya: wajah tersenyum, hati membenci.

Senyum bukan lagi cerminan ketulusan, melainkan alat untuk menyamarkan niat dan emosi yang sebenarnya. Ucapan manis bukan lagi bentuk kasih sayang, tapi strategi untuk mendapatkan keuntungan atau citra. Pelukan pun tak selalu mencerminkan persaudaraan, tetapi bisa jadi sekadar ritual kosong tanpa makna.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

2. Media Sosial: Ladang Kemunafikan Modern

Era digital semakin memperparah fenomena ini. Di media sosial, banyak orang membangun citra baik, memamerkan kedekatan dengan orang lain, menunjukkan perhatian lewat komentar atau likes. Tapi di balik layar, iri hati, kebencian, dan persaingan tidak terlihat oleh mata awam.

Seseorang bisa terlihat sangat peduli di postingan, tapi di dunia nyata, bahkan tak sudi menyapa. Kita menjadi aktor di panggung virtual, bermain peran untuk mendapat pengakuan dan sanjungan, bukan untuk membangun hubungan yang tulus.

3. Akar Permasalahan: Lemahnya Keikhlasan dan Hilangnya Rasa Takut kepada Allah

Mengapa fenomena ini begitu merajalela? Salah satunya karena hati manusia telah dipenuhi oleh dunia: keinginan dipuji, rasa iri, hasad, cinta jabatan, cinta kekuasaan, dan takut kehilangan pengaruh. Semua itu menimbulkan hubungan sosial yang tidak sehat.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Manusia menjadi pandai menyembunyikan perasaan, berpura-pura demi kepentingan pribadi, dan melupakan bahwa Allah melihat apa yang tersembunyi di dalam hati. Ketika seseorang tidak lagi takut kepada Allah, maka ia akan lebih memilih menjaga citra di depan manusia, daripada menjaga kejujuran di hadapan Sang Pencipta.

4. Ujian Terbesar: Persaudaraan yang Rapuh

Islam sangat menjunjung tinggi nilai ukhuwah (persaudaraan). Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

> “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu…”
(QS. Al-Hujurat: 10)

Namun sayang, ukhuwah saat ini hanya menjadi slogan. Banyak orang yang menyebut diri sebagai saudara, tetapi enggan membantu saat dibutuhkan, bahkan merasa senang ketika saudaranya mendapat musibah. Ini adalah tanda hati yang sakit.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Ukhuwah sejati seharusnya dibangun atas dasar iman dan takwa, bukan kepentingan dan keuntungan sesaat. Jika dasar ukhuwah adalah dunia, maka begitu dunia itu hilang, persaudaraan pun sirna.

5. Tanda-Tanda Akhir Zaman yang Semakin Jelas

Fenomena seperti ini bukan sesuatu yang mengejutkan bagi mereka yang mempelajari hadits dan ucapan para ulama salaf. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan bahwa di akhir zaman akan banyak orang yang secara lahir tampak baik, namun batinnya penuh kebencian. Banyak orang yang berkata manis, tapi berhati keras. Banyak orang yang duduk bersama, namun saling menusuk dari belakang.

Ini semua adalah bagian dari ujian besar yang harus dihadapi oleh kaum Muslimin. Kita harus mawas diri agar tidak menjadi bagian dari kaum yang disebutkan oleh Fudhail bin Iyadh – yang tampak bersaudara tapi sebenarnya bermusuhan.

6. Apa yang Harus Kita Lakukan?

Untuk menyikapi kondisi ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan:

a. Jaga Keikhlasan Hati

Setiap hubungan, ucapan, dan tindakan harus didasari oleh keikhlasan karena Allah. Jangan menjalin hubungan hanya demi keuntungan dunia. Jujurlah pada diri sendiri dan jangan paksakan diri untuk dekat dengan orang yang kita benci hanya demi citra. Lebih baik diam dan menjaga hati daripada berpura-pura dan berdosa.

b. Perbaiki Hubungan dengan Allah

Jika kita dekat dengan Allah, kita akan jujur dalam bersikap. Kita akan takut berdusta, berpura-pura, dan membenci tanpa alasan. Hati yang bersih akan memancarkan ketulusan, dan hubungan yang dibangun pun akan kokoh karena didasari iman, bukan kepentingan.

c. Kurangi Ketergantungan pada Citra Sosial

Jangan terjebak dalam budaya pencitraan. Tidak perlu merasa harus disukai semua orang. Fokuslah pada membangun hubungan yang tulus, meski hanya dengan sedikit orang. Ketulusan lebih berharga daripada popularitas palsu.

d. Bersikap Tegas tapi Tidak Bermusuhan

Jika kita merasa tidak cocok dengan seseorang, tak perlu berpura-pura. Bersikap sopan, tapi jaga jarak. Tidak semua orang harus kita peluk dan akrabi. Namun jangan pula membenci atau menyebar keburukan mereka. Jaga lisan dan hati agar tetap bersih dari permusuhan.

7. Penutup: Renungan untuk Diri

Kita hidup di masa yang penuh fitnah dan kepalsuan. Maka sangat penting untuk terus menerus melakukan muhasabah (introspeksi diri). Tanyakan pada diri sendiri:

Apakah senyumku benar-benar tulus?

Apakah ucapanku mencerminkan isi hatiku?

Apakah aku benar-benar mencintai saudaraku karena Allah?

Apakah aku sedang bersandiwara di hadapan manusia?

Jika kita menjawab dengan jujur, maka kita akan tahu di mana posisi kita. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang disebut oleh Fudhail bin Iyadh: tampaknya bersaudara, namun hati saling bermusuhan.

Mari kita kembali kepada keikhlasan, ketulusan, dan ketakutan kepada Allah dalam setiap hubungan yang kita bangun. Karena pada akhirnya, Allah tidak melihat rupa atau status sosial kita, tetapi hati dan amal kita.

Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi diri penulis dan pembaca, agar kita tidak terjerumus dalam kemunafikan sosial yang kian hari kian merajalela. Semoga Allah menjaga hati-hati kita agar tetap bersih dan ikhlas, serta menjauhkan kita dari permusuhan yang tersembunyi di balik senyuman. Wallahu a’lam bish shawab. (T. Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement