Haji dan Umroh Opinion
Beranda » Berita » Fenomena Haji Selfie

Fenomena Haji Selfie

Zaman now, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook sudah jadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Siapa pun bisa berbagi momen—bahkan momen-momen paling sakral, seperti sedang ibadah di Tanah Suci. Memang, konten haji dan umrah banyak dicari; berkesan, mendidik, sekaligus menginspirasi. Namun, ketika konten tersebut bermotifkan riya’ (pamer), khawatirnya justru dapat memudarkan nilai ibadah.

Repotnya, fenomena “Haji Selfie” makin marak: jamaah mengambil foto atau video di dekat Kabah, Arafah, atau Madinah—lalu disebar di media sosial. Betul, mereka ingin berbagi kebahagiaan. Tapi jika tanpa disertai kesadaran akhlak, ibadah bisa tertodai dan pahala pun bisa berkurang, bahkan “hangus”. Gambar awal postingan ini memperingatkan: “Hati-hati, tanpa sadar dijangkiti penyakit riya’, pahala amalan bisa hangus sia‑sia..!” Lalu meneruskan, “Seseorang hendaknya menyembunyikan amalnya sebisa mungkin dan menjadikannya hanya antara dirinya dengan Allah.” (Syaikh Shalih bin Fauzan al‑Fauzan hafizhahullah).

1. Apa Itu Riya’ dan Mengapa Berbahaya?

Riya’ merupakan menampakkan amal ibadah dengan niat ingin dilihat dan dipuji manusia, bukan semata mencari ridha Allah. Syaikh Ibn Utsaimin menjelaskan bahwa riya’ masuk dalam kategori syirik kecil, yaitu menyembunyikan niat kepada manusia. Sedangkan menurut Syaikh Al‑Fawzan, riya’ merusak keikhlasan amal—apapun bentuknya, termasuk haji dan umrah.

Dampak serius riya’:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

🔻 Menghapus pahala amal: jika amalan diniatkan untuk mendapat pujian, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut, bahkan pahala bisa hangus.

🔻 Membawa dosa sifah syirik: suka memperagakan ibadah bisa menyerupai musyrik kecil—ibadah disampaikan kepada manusia, bukan Allah.

😊 Merosotkan keimanan: lama‑lama jiwa jadi terbiasa mencari pengakuan dan validasi manusia daripada Allah.

🧬 Membentuk kebiasaan buruk: once terbiasa pamer amal, susah kembali ke pola ibadah yang “tulus tanpa sorotan”.

2. Fenomena “Haji Selfie”: Konten atau Riya’?

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Memotret diri saat berziarah ke Makam Nabi, thowaf di sekitar Kabah, atau Arafah memang menarik; latar belakangnya visualnya sangat kuat. Namun, jika niatnya sekadar berbagi inspirasi, dakwah, atau kenangan keluarga, boleh. Jika niatnya ingin menunjuk‑nunjukkan status “saya sedang ibadah di sana”, barulah masuk ranah riya’.

Ciri‑ciri “Haji Selfie” yang bisa jadi riya’:

1. Caption pamer: seperti “Bareng influencer/haji plus!”, “Kalian mau juga?”, “Cocok sama saya kan?”

2. Sudah niat selfie sejak awal: ketika jamaah baru berangkat, sudah fokus bikin konten.

3. Lokasi strategis hanya untuk selfie: bukan untuk ibadah, tapi agar backgroundnya kelihatan.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

4. Lebih menonjolkan diri daripada tempat ibadah: wajahnya tampak dominan, bukan keadaan spiritual.

5. Susunan postingan terlalu terencana: seakan ini “produksi konten”, bukan dokumentasi ibadah biasa.

Konten semacam ini sering mengundang like dan komentar: “Subhanallah… pengen banget,” atau “Keren abis!” Namun tetap, meski mendapat pujian, pahala bisa tergerus bila niatnya salah.

3. Menyelisik Niat: Pentingnya Introspeksi

Niat adalah pondasi amal dalam Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya segala amal itu tergantung niatnya.” (Hadits riwayat Bukhari & Muslim).

Artinya: niatlah ibadah murni karena Allah, biar tercapai keberkahan dan diterima Nassau.

Tips introspeksi niat sebelum posting:

Tanyakan, kenapa saya ingin memposting foto ini?

Apakah untuk motivasi orang lain, dakwah, atau ingatkan keluarga?

Atau hanya untuk pujian dan status sosial?

Apakah saya punya jalan lain untuk menyampaikan manfaat foto ini? Misalnya via cerita pribadi tanpa ekspos wajah?
Kalau terasa niatnya campur aduk, lebih baik menahan. Lebih baik menyimpan diploma haji di hati daripada mengejar like dunia.

4. Likuidasi Riya’: Solusi Islami

Jika merasa pernah terpancing riya’, bukan berarti terjerumus selamanya. Ada beberapa jalan memperbaiki niat:

1. Taubat nasuhah
Menyesali diri, memohon ampunan, dan bertekad meninggalkan sikap riya’.

2. Mintalah tulus karena Allah
Doa sederhana, “Ya Allah, jadikan niatku benar‑benar karena-Mu, bukan karena manusia.”

3. Perbanyak amal sunah dan pahala sosial
Donasi dari haji atau umrah, menolong orang lain di tanah suci (misalnya bantu yang kehabisan air zamzam).
4. Kurangi konten ibadah menunjukkan wajah
Saat posting, tampilkan qiblah, Ka’bah, atau suasana umum, tanpa menampilkan penuh wajah.
5. Gunakan Instagram Story atau WhatsApp privat
Ceritakan pengalaman untuk keluarga dan kerabat dekat, bukan di feed publik.

6. Visualisasi untuk diri sendiri
Simpan dalam galeri hati: album batin, bukan galeri online.

Dengan demikian eksposur bisa diminimalisir, sementara efek spiritual tetap terjaga.

5. Konten “Dakwah Halal”: Tetap Berbagi Tanpa Riya’

Jika niatnya benar-benar untuk mengajak, memberi manfaat, dan mengedukasi, ada beberapa cara agar konten tetap efektif tapi ikhlas:

📷 Foto detail fisik dan ritual
Foto Ka’bah, talbiyyah para jamaah, atau proses tawaf tanpa menampilkan wajah.

🎥 Video edukatif singkat (60–90 detik)
Seperti “5 adab masuk Masjidil Haram”, “Makna doa saat sa’i”, diselingi narasi.

⭐ Inspirasi dari kisah jamaah lain
Ambil kisah salah satu santri atau keluarga dalam rangka positif.

❓ Ajakan diskusi
“Bagaimana persiapan mental sebelum haji?” – memancing interaksi komunitas demi kebaikan.

🤲 Kampanye kebaikan
Undang follower berdonasi, hadiri kajian, atau kirim doa untuk Palestina.

Konten tetap menarik, punya nilai, tapi niat di dalamnya bersih dan bebas riya’.

6. Studi Kasus dan Pendapat Ulama

Studi kasus:

Seorang influencer travel muslimah membagikan video sa’i tanpa wajah. Captionnya:
“Bismillah, semoga sajian video ini memberi manfaat untuk sahabat yang ingin umrah tapi belum berkesempatan. Semoga lekas diberi rezeki.”
Ini termasuk konten dakwah halal: niat jelas, tidak mempromosikan dirinya.

Sebaliknya, seorang jamaah “ngevlog” dari bandara sampai 🔛 Madinah, banyak punchline gaya selebgram, logo brand, dan musik yang catchy—kurang cocok jadi konten ibadah.

Pendapat ulama:

Syaikh Shalih Al‑Fawzan menekankan: “Orang yang melakukan selfie ketika haji di Arafah dan di dekat Ka’bah, dan menyebarkannya di sosial media, ini adalah riya’. Dia memperlihatkan kepada orang lain bahwa ia sedang melakukan ketaatan…” .

Syaikh Ibn Utsaimin: “Amalkan yang dilakukan karena riya’ tidak hanya tidak dikabulkan, tetapi juga menjadi beban dosa jika disertai kesengajaan untuk dipuji manusia.” Artinya, riya’ bisa menyulut kemarahan Allah.

7. Tips Praktis untuk Content Creator Muslim

1. Belajar ilmu dasar: tanyakan pada ustadz/ustadzah tentang etika membuat konten ibadah.

2. Susun skrip niat di awal konten dan baca di kepala sebelum rekam.

3. Ambil sudut pandang objek: fokus kepada ibadah, bukan ‘aku’.

4. Gunakan voice-over agar tidak harus tampil fisik.

5. Peringatan diri (disclaimer): misalnya, “Konten ini untuk dakwah dan edukasi; bukan pamer diri.”

6. Kurasi konten secara konsisten: konten keagamaan tanpa riya’ butuh lebih tinggi tingkat kesadaran.

8. Manfaat Konten “Halal” vs Kerugian Kontennya Riya’

Aspek    Memeberi Konten yang Ikhlas & Edukatif    Berakibat Riya’ atau Cenderung Pamer

🕋 Pahala ibadah    Diterima & berlipat — mendatangkan keberkahan    Bisa gugur atau berkurang drastis
🔄 Reputasi digital    Bangun trust dan cinta komunitas    Bisa dicap “menjual ibadah”
💡 Edukasi followers    Ajak refleksi dan tumbuh iman    Hanya dianggap formalitas
💸 Monetisasi    Bisa dapat support halal (donasi, iklan islami)    Sulit saat nilai konten dipertanyakan
🙏 Spiritual creator    Rasa damai, nyaman dengan niatnya    Sering merasa kosong batin

9. Mengakhiri dengan Refleksi

Fenomena “Haji Selfie” melompat di era media sosial: yang tadinya bagikan catatan harian, berubah jadi konten visual besar. Di satu sisi bisa menginspirasi, di sisi lain bisa jadi jebakan riya’ yang menggerogoti amal. Maka:

1. Tahan insting untuk pamer ibadah.

2. Perkuat niat dalam hati: benar karena Allah.

3. Perhatikan dampak konten: edukatif? inspiratif? atau malah konsumtif?

4. Ambil hikmah: posting hanya bila niat untuk memberi manfaat dan melahirkan kebaikan.

✨ Penutup

Fenomena “Haji Selfie” bukan monopoli generasi sekarang—setiap zaman punya tantangan masing-masing. Jadi, setiap muslim, terutama content creator dan generasi milenial, wajib mengedepankan keikhlasan. Ingatlah sabda Rasulullah ﷺ:

> “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa atau harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (Hadits riwayat Muslim).

Lebih baik menyimpan foto dan cerita dalam relung hati sebagai prasasti spiritual daripada mengejar like dan decak kagum orang lain. Bila niat sudah lurus, dunia pun akan mendukung, bonafid dan barakah—meski tanpa ribuan likes. Semoga kita diberikan taufik untuk menjaga agar setiap amalan diterima hanya karena Allah, bukan karena teman-teman followers kita. (T. Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement