Opinion Sejarah
Beranda » Berita » Waris di Tanah Minangkabau

Waris di Tanah Minangkabau

Sistem waris di Minangkabau memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan sistem waris Islam yang bersifat patriarkal. Di Minangkabau, waris dilakukan berdasarkan sistem matrilineal, yaitu garis keturunan ibu. Artinya, harta pusaka diwariskan dari ibu kepada anak perempuan dan keponakan dari saudara perempuan, bukan kepada anak laki-laki atau kerabat dari garis ayah.

Berikut adalah penjelasan mengenai sistem warisan Minangkabau, baik dari perspektif adat maupun perbandingannya dengan hukum Islam:

1. Sistem Matrilineal dalam Adat Minangkabau

Minangkabau merupakan salah satu masyarakat di dunia yang menerapkan sistem matrilineal secara konsisten hingga kini. Dalam konteks warisan, ini berarti: Harta pusaka turun dari ibu ke anak perempuan.

Laki-laki tidak menjadi pewaris utama atas harta pusaka, meskipun mereka memiliki peran sebagai pengelola (penghulu).

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Peran mamak (paman dari pihak ibu) sangat penting, karena ia berwenang mengatur harta pusaka kemenakan (anak saudara perempuan).

2. Jenis-Jenis Harta dalam Adat Minangkabau

Dalam adat Minangkabau, harta warisan dibedakan menjadi dua kategori utama:

a. Harta Pusaka Tinggi

Harta warisan yang berasal dari nenek moyang secara turun-temurun.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Tidak boleh diperjualbelikan kecuali dalam kondisi mendesak (kaadaan terpaksa).

Diwariskan kepada kaum perempuan dalam suku, biasanya melalui garis ibu.

b. Harta Pusaka Rendah

Harta yang diperoleh sendiri oleh seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, seperti hasil usaha, gaji, atau bisnis pribadi.

Harta ini bisa diwariskan sesuai kehendak pewaris dan sering mengikuti hukum Islam atau hukum negara.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

3. Peran Laki-Laki dalam Warisan Minangkabau

Walaupun sistemnya matrilineal, laki-laki di Minangkabau tetap memiliki posisi penting, terutama sebagai:

Pengelola dan pelindung harta kaum perempuan.

Penghulu, yang memimpin suku dan menjaga aset bersama.

Laki-laki tidak menerima warisan berupa harta pusaka tinggi, tetapi bisa memperoleh bagian dari harta pusaka rendah jika pewaris menghendakinya.

4. Konflik antara Adat dan Syariat Islam

Sistem warisan adat Minangkabau kadang menimbulkan perdebatan dengan hukum Islam karena bertentangan dalam prinsip dasar:

Aspek    Hukum Islam    Adat Minangkabau

Sistem    Patrilineal    Matrilineal
Ahli waris utama    Anak laki-laki dan perempuan    Anak perempuan dan keponakan dari pihak ibu
Harta warisan Diatur rinci (faraid) Didasarkan pada hubungan kekerabatan ibu Hak atas warisan Bersifat individu  Bersifat kolektif (kaum).

Ulama dan tokoh adat di Minangkabau telah lama mencoba mencari titik temu antara syariat dan adat. Sebagai hasilnya, banyak keluarga saat ini memisahkan:

Harta adat mengikuti aturan adat (pusaka tinggi).

Harta pribadi dibagikan mengikuti hukum Islam (pusaka rendah).

5. Upaya Rekonsiliasi Adat dan Islam

Dalam praktiknya, masyarakat Minangkabau kini banyak yang menerapkan kompromi sebagai berikut:

Harta pusaka tinggi tetap dikelola berdasarkan adat.

Harta pencaharian pribadi dibagikan sesuai hukum Islam.

Wasiat atau hibah dilakukan semasa hidup untuk menghindari konflik setelah meninggal.

Musyawarah keluarga sering dilakukan untuk menyelesaikan masalah waris secara damai.

6. Penutup

Sistem warisan di Minangkabau mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan dan sosial yang khas dari budaya matrilineal. Walaupun tampak bertentangan dengan hukum waris Islam, masyarakat Minangkabau terus berupaya mengharmonisasikan keduanya melalui pemisahan jenis harta dan prinsip musyawarah.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam dan adat tidak selalu bertentangan, tetapi bisa saling melengkapi jika dikelola dengan bijak. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement