Mode & Gaya
Beranda » Berita » Horor, Tubuh, dan Perlawanan: Membaca Malam Seribu Jahanam oleh Intan Paramaditha

Horor, Tubuh, dan Perlawanan: Membaca Malam Seribu Jahanam oleh Intan Paramaditha

Sumber: https://intanparamaditha.com/malam-seribu-jahanam

Revolusi selalu dimulai oleh saudara tiri buruk rupa. Entah apa yang mengendap di kepala adik kita, yang tak buruk rupa maupun revolusioner, saat ia melilitkan bom di pinggang dan meledakkan tubuhnya. Ini dongeng tiga dara. Bukankah selalu saja tentang mereka, sebab siapa yang tak kenal cerita rumah, keluarga, kita. Tapi ini juga dongeng yang tak kau minta, tentang yang tak terlihat, tak terdengar, terlupa.”

Tubuh perempuan sering menjadi objek kekerasan. Namun, ia juga bisa menjadi ruang perlawanan. Intan Paramaditha menjelajahi ide ini dalam Malam Seribu Jahanam. Ia tidak sekadar menulis kisah horor. Ia menciptakan peta politik tubuh perempuan. Peta ini penuh luka, tetapi juga sarat strategi bertahan. Horor menjadi bahasa untuk menarasikan trauma dan represi sosial.

 

Politik Tubuh Perempuan: Kritik Ketimpangan Gender dalam Novel Intan Paramaditha

Tubuh dalam karya Intan bukan medium biologis semata. Tubuh menjadi saksi sejarah. Ia merekam pengalaman kolonialisme dan moralitas patriarkal. Di dalamnya juga ada jejak kekuasaan negara. Para perempuan di novel ini mengalami kekerasan tak kasatmata. Kekerasan itu hadir melalui regulasi sosial, agama, dan keluarga. Kritik Paramaditha sangat tajam. Ia menunjukkan bahwa sistem ikut mengontrol tubuh. Bukan hanya pelaku individu. Novel ini mendekonstruksi aturan masyarakat.

 

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Dari Trauma ke Perlawanan: Novel Horor sebagai Suara Perempuan

Dalam Malam Seribu Jahanam, horor tidak berasal dari makhluk gaib atau kekuatan supranatural yang jauh. Sebaliknya, kengerian muncul dari lingkaran terdekat perempuan itu sendiri—dari keluarga, komunitas, bahkan sesama perempuan. Inilah yang membuat narasi Intan Paramaditha terasa begitu menggugah dan relevan.

Namun, alih-alih terjebak dalam penderitaan, Intan justru menarasikan proses penyadaran kolektif. Tokoh-tokohnya tidak selalu berhasil “selamat” dalam pengertian konvensional, tetapi mereka menemukan agensi—kemampuan untuk memahami, merespons, dan mengambil sikap atas kondisi mereka. Di sinilah letak kekuatan novel ini: horor bukan sekadar genre, melainkan bahasa perlawanan. Terutama dalam masyarakat yang cenderung membungkam suara-suara perempuan, genre ini mampu menjadi kanal ekspresi yang subversif.

Dengan demikian, rumah tua, lorong gelap, dan suasana mencekam bukan hanya berfungsi sebagai latar cerita. Semua itu merupakan metafora dari sejarah yang belum selesai—sejarah kekerasan terhadap perempuan yang belum sepenuhnya diakui atau direspons secara adil oleh masyarakat.

Novel Gotik Feminis: Ruang Aman untuk Identitas Terpinggirkan

Lebih jauh lagi, Malam Seribu Jahanam menunjukkan dirinya sebagai karya gotik feminis yang secara aktif membuka ruang bagi identitas-identitas yang selama ini masyarakat pinggirkan. Intan menggambarkan karakter secara kompleks dan manusiawi. Ia tidak memperlakukan mereka sebagai pelengkap naratif atau simbol eksotis belaka. Sebaliknya, ia menampilkan identitas gender dan seksualitas yang beragam sebagai kenyataan hidup yang sah dan layak kita pahami.

Melalui genre horor yang sering masyarakat asosiasikan dengan keterasingan, Intan secara sadar menciptakan ruang alternatif bagi tokoh-tokohnya. Dunia gelap yang ia hadirkan tidak menindas mereka, tetapi justru memberi tempat yang aman dan ekspresif bagi sosok-sosok yang narasi utama sering abaikan. Di ruang ini, para tokoh secara aktif menyuarakan luka, keresahan, dan harapan mereka.

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

Dengan kata lain, Intan menjadikan sastra sebagai alat yang mampu mengangkat pengalaman hidup yang narasi dominan tidak wakili. Ia mengambil posisi sebagai penulis yang secara sadar memfasilitasi pengalaman-pengalaman tersebut agar terdengar dan bermakna.

Proyek Kritik Sastra Intan Paramaditha: Menggugat Lewat Sastra Gotik

Oleh karena itu, Malam Seribu Jahanam secara eksplisit memperlihatkan dirinya sebagai bagian dari proyek naratif yang lebih besar. Intan menggunakan proyek ini untuk menggugat kekuasaan simbolik melalui medium sastra. Dengan pendekatan gotik yang khas, ia secara aktif memosisikan diri sebagai pemikir politik budaya yang berani dan kritis terhadap struktur dominasi.

Ia tidak hanya menciptakan dunia fiktif, tetapi juga secara sengaja menjungkirbalikkan logika dominan yang selama ini menundukkan perempuan. Dalam dunia yang ia bangun, perempuan tidak lagi berperan sebagai korban pasif. Sebaliknya, ia memberi mereka kebebasan untuk memilih: melawan, bertahan, atau bahkan menciptakan dunianya sendiri. Dengan langkah itu, Intan mengubah sastra gotik feminis menjadi ruang renegosiasi atas relasi kuasa, identitas, dan ketubuhan.

Mengapa Malam Seribu Jahanam Penting: Cermin Ketimpangan Gender di Indonesia

Novel ini sangat relevan dibaca hari ini. Kekerasan berbasis gender, termasuk perempuan, masih marak terjadi. Ruang aman bagi identitas minoritas semakin sempit. Dalam situasi represi, bertahan hidup adalah sebuah perlawanan. Intan tidak hanya mengisahkan perempuan sebagai korban. Ia menampilkan mereka sebagai subjek yang mampu menggugat dan mencipta.

Intan Paramaditha sengaja menolak narasi yang netral. Ia menulis dari pinggir dengan bahasa yang tajam. Saat hukum dan keluarga gagal melindungi, sastra menjadi ruang terakhir. Novel ini adalah bukti bahwa sastra bisa bersifat politis. Ia menolak membiarkan luka-luka itu terlupakan.

Frugal Living: Seni Hidup Sederhana dan Secukupnya


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement