Sebuah kebijakan kontroversial Israel terungkap ke publik. Pemerintah Israel dituduh mempersenjatai sebuah klan Palestina di Gaza. Secara spesifik, tujuan awalnya adalah untuk mengamankan distribusi bantuan kemanusiaan. Namun, program ini justru memicu masalah baru. Klan tersebut kini dituduh merampas bantuan yang seharusnya mereka jaga. Terlebih lagi, krisis ini semakin dalam setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membela kebijakan tersebut.
Laporan pertama muncul pada 5 Juni 2025. Sumber dari pejabat Palestina dan klan lokal memberikan informasi mengejutkan. Mereka menyebut militer Israel menjalankan sebuah program percontohan. Program ini melibatkan COGAT, badan militer Israel untuk urusan sipil Palestina. Lebih lanjut, Israel memberikan senjata kepada sebuah geng atau klan di Kota Gaza. Klan ini dipimpin oleh seorang tokoh bernama Mumtaz Dughmush.
Tugas klan Dughmush terdengar sederhana. Mereka harus mengawal konvoi truk bantuan kemanusiaan. Pengawalan ini penting untuk memastikan bantuan sampai ke warga sipil. Israel berharap ini menjadi solusi untuk distribusi bantuan. Mereka ingin mencari alternatif selain Hamas atau badan PBB. Namun, rencana tersebut gagal total di lapangan.
Bukannya mengamankan, klan bersenjata itu diduga menjarah bantuan. Dengan demikian, mereka mengambil alih pasokan untuk kepentingan mereka sendiri. Situasi di lapangan menjadi semakin kacau. Warga sipil yang sangat membutuhkan bantuan justru tidak mendapatkannya. Kegagalan ini memicu kemarahan di kalangan warga Palestina dan pekerja kemanusiaan. Mereka melihat Israel menciptakan masalah keamanan baru.
Pembelaan Netanyahu dan Latar Belakang Klan
Menanggapi tuduhan tersebut, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu angkat bicara. Pada 6 Juni 2025, ia secara terbuka membela kebijakan tersebut. Netanyahu menyebutnya sebagai “program percontohan yang diperlukan.” Ia berargumen bahwa Israel harus mencari cara agar bantuan tidak jatuh ke tangan Hamas. Menurutnya, bekerja sama dengan klan lokal adalah salah satu eksperimen.
Pembelaan Netanyahu ini menuai kritik tajam. Banyak pihak mempertanyakan logika di balik keputusan tersebut. Klan yang dipimpin Mumtaz Dughmush memiliki rekam jejak yang kelam. Banyak orang mengenal kelompok ini sebagai “Jaysh al-Islam” atau Tentara Islam.. Di masa lalu, mereka memiliki kaitan dengan kelompok jihadis global. Mereka juga terlibat dalam berbagai aksi kekerasan dan kriminalitas di Gaza.
Memberikan senjata kepada kelompok dengan latar belakang seperti itu dianggap sangat berisiko. Seorang pejabat Palestina yang tidak mau disebutkan namanya berkomentar. Ia menyatakan, “Israel mencoba menyelesaikan satu masalah dengan menciptakan kekacauan yang lebih besar. Mereka memberdayakan geng, bukan masyarakat sipil.” Pernyataan ini mencerminkan keputusasaan atas strategi Israel.
Dilema Strategis dan Dampak Kemanusiaan di Gaza
Langkah Israel ini menyoroti dilema besar yang mereka hadapi di Gaza. Di satu sisi, ada tekanan internasional yang kuat. Dunia menuntut Israel memastikan bantuan kemanusiaan menjangkau warga sipil. Kegagalan dalam hal ini bisa memicu sanksi atau kecaman lebih lanjut. Israel terus berdalih bahwa Hamas sering menyita bantuan untuk kepentingannya.
Di sisi lain, mencari mitra lokal yang kredibel di Gaza sangat sulit. Otoritas Palestina memiliki pengaruh terbatas di sana. Sementara itu, kelompok masyarakat sipil tidak memiliki kekuatan untuk melawan faksi bersenjata. Pilihan Israel jatuh pada klan bersenjata. Mereka berharap kekuatan klan bisa menandingi Hamas di level lokal.
Namun, hasilnya justru memperburuk krisis kemanusiaan. Program percontohan ini menunjukkan betapa rumitnya situasi di Gaza. Upaya untuk melemahkan Hamas malah memberdayakan kelompok lain yang tidak kalah bermasalah. Akibatnya, pasokan makanan, air, dan obat-obatan menjadi semakin sulit diakses oleh mereka yang paling rentan.
Kini, masa depan distribusi bantuan di Gaza menjadi tidak menentu. Insiden ini merusak kepercayaan antara komunitas internasional dan Israel. Para pekerja kemanusiaan juga menghadapi risiko yang lebih tinggi. Mereka harus bekerja di tengah perebutan kekuasaan antara berbagai kelompok bersenjata. Kegagalan program senjata Israel di Gaza menjadi pelajaran pahit. Pada akhirnya, solusi untuk Gaza membutuhkan pendekatan yang lebih bijaksana.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
