Opinion
Beranda » Berita » Sibuk dengan Dosa, Bukan Pamer Ibadah

Sibuk dengan Dosa, Bukan Pamer Ibadah

Di era media sosial yang serba cepat dan terbuka, di mana segala sesuatu dapat dibagikan hanya dalam hitungan detik, kita menghadapi tantangan baru dalam menjalankan ibadah dan menjaga niat. Ketika amal kebaikan begitu mudah dipamerkan ke publik, apakah kita masih mampu menjaga keikhlasan?

Mengapa Kita Harus Sibuk Mengingat Dosa?

Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab Tariqhotu Hijratain menyampaikan sebuah pelajaran luar biasa: “Sesungguhnya jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia akan mencabut dari hatinya perasaan melihat amal baiknya, dan dari lisannya keinginan untuk menceritakannya, serta menyibukkannya dengan mengingat dosanya.”

Ucapan ini menunjukkan bahwa salah satu tanda kebaikan seseorang bukan terletak pada seberapa banyak amal yang ia lakukan, tetapi pada seberapa besar rasa takut dan sedihnya terhadap dosa yang pernah dilakukan. Mengingat dosa akan melahirkan sikap tawadhu (rendah hati), membuat seseorang merasa tidak pantas untuk merasa sombong atau merasa lebih baik dari orang lain. Sementara itu, sibuk menceritakan amal baik justru dapat membuka pintu riya (pamer), yang bisa merusak pahala ibadah itu sendiri.

Fenomena Pamer Ibadah di Zaman Digital

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Kini, tidak sedikit yang merasa terdorong untuk membagikan kegiatan keagamaannya di media sosial: mulai dari foto saat umrah, video sedekah, hingga catatan tadarus Al-Qur’an harian. Meskipun niat awalnya bisa jadi untuk menginspirasi, namun sangat tipis batas antara menginspirasi dan mencari validasi dari manusia. Jika tidak berhati-hati, ibadah yang seharusnya menjadi bentuk penghambaan kepada Allah bisa berubah menjadi sarana pencitraan.

Padahal, keikhlasan adalah ruh dari segala amal. Amal yang besar di mata manusia, tetapi dilakukan dengan niat ingin dilihat orang lain, akan menjadi sia-sia di sisi Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ dalam hadits riwayat Muslim, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya.”

Introspeksi: Mengingat Dosa Membentuk Jiwa yang Tunduk

Orang yang sibuk mengingat dosanya akan lebih mudah menjaga hatinya dari sifat sombong dan ujub (merasa diri hebat). Ia sadar bahwa dirinya tidak luput dari kesalahan dan selalu membutuhkan ampunan Allah. Ia lebih fokus memperbaiki diri, memperbanyak istighfar, dan menjauhi maksiat, ketimbang mengumpulkan pujian manusia atas amal-amalnya.

Bukan berarti kita tidak boleh bahagia atas kebaikan yang telah dilakukan, tetapi kebahagiaan itu seharusnya diiringi rasa takut kalau-kalau amal tersebut tidak diterima. Itulah ciri orang mukmin sejati—ia senantiasa berada di antara rasa harap dan takut.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Menjaga Rahasia Amal: Warisan Para Salaf

Para ulama salaf terdahulu sangat menjaga kerahasiaan amal mereka. Mereka rela menyembunyikan puasa sunnah dari keluarga terdekat, bahkan menyembunyikan shalat malam dari istri atau suami. Mereka lebih memilih amal tersembunyi karena sadar bahwa itulah bentuk amal yang paling ikhlas dan paling dicintai Allah.

Imam Az-Zuhri pernah berkata, “Sesungguhnya amal yang paling utama adalah amal yang tersembunyi dari manusia dan diketahui hanya oleh Allah.” Maka, jika hari ini kita begitu mudahnya mempublikasikan setiap bentuk ibadah, perlu ada evaluasi serius terhadap niat dan kondisi hati kita.

Bagaimana Menyikapi Era Digital?

Media sosial bukan sepenuhnya buruk, tetapi ia adalah alat yang bisa digunakan sesuai dengan niat dan tujuan kita. Jika seseorang benar-benar ingin berdakwah, maka harus memastikan bahwa apa yang dibagikannya bukan untuk meninggikan diri, tetapi murni untuk mengajak orang kepada kebaikan. Dan itu pun tidak harus dengan membagikan ibadah pribadi, melainkan cukup dengan membagikan ilmu, motivasi kebaikan, atau cerita inspiratif dari orang lain.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Satu hal yang juga perlu diingat adalah bahwa keikhlasan itu seringkali diuji justru setelah amal dilakukan. Jika setelah berbuat baik muncul dorongan kuat untuk menceritakannya kepada orang lain, maka berhati-hatilah—barangkali ada keinginan tersembunyi untuk mendapat pengakuan.

Penutup: Kembali ke Hati yang Lurus

Pada akhirnya, tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba bukanlah banyaknya amal yang ia lakukan di hadapan manusia, tetapi sejauh mana ia merasa dirinya penuh kekurangan dan bergantung pada ampunan Allah. Hati yang tulus akan lebih khusyuk saat sendirian dalam sujud malam daripada saat tampil di hadapan orang banyak. Lidah yang jujur akan lebih banyak menyebut istighfar ketimbang memuji diri atas amalnya.

Semoga kita termasuk hamba-hamba yang diberi kebaikan oleh Allah, yang disibukkan dengan memperbaiki diri dan mengingat dosa, bukan mencari pujian dari ibadah yang terlihat. Dan semoga amal-amal kita, sekecil apa pun, diterima oleh Allah karena dilakukan dengan hati yang ikhlas. (T. Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement