Sejarah
Beranda » Berita » Harkitnas: Dari Semangat Sejarah, Nyalakan Aksi Nyata untuk Bangsa

Harkitnas: Dari Semangat Sejarah, Nyalakan Aksi Nyata untuk Bangsa

Harkitnas Dari Semangat Sejarah Menuju Aksi Nyata untuk Bangsa
Harkitnas Dari Semangat Sejarah Menuju Aksi Nyata untuk Bangsa

SURAU.CO Setiap 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) kembali diperingati, menjadi momen penting untuk merenungkan semangat persatuan dan perjuangan para pendahulu bangsa dalam merintis jalan menuju kemajuan. Lebih dari sekadar perayaan tanggal bersejarah, Harkitnas adalah panggilan bagi setiap generasi, termasuk kita saat ini, untuk terus menjaga optimisme dan menerjemahkan rasa cinta tanah air ke dalam kontribusi nyata. Dengan berakar pada spirit Boedi Oetomo (Budi Utomo) yang lahir pada tahun 1908, momen ini menjadi kesempatan untuk merefleksikan potensi bangsa dan mengidentifikasi beragam peran yang bisa kita ambil demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Akar Sejarah Kebangkitan: Dari Penindasan Kolonial Menuju Fajar Kesadaran Nasional

Memasuki gerbang abad ke-20, Nusantara masih terjerat dalam cengkeraman kolonialisme Belanda. Eksploitasi tanpa henti terhadap sumber daya alam dan tenaga manusia telah melahirkan kemiskinan struktural dan keterbelakangan yang meluas. Akses terhadap pendidikan dan kesejahteraan sangat terbatas, sementara kebijakan kolonial seringkali diskriminatif. Menghadapi kritik dari kaum humanis di Belanda (seperti C.Th. van Deventer dengan “Een Eereschuld” atau “Hutang Kehormatan”) dan kebutuhan akan tenaga administrasi pribumi, Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1901 meluncurkan Politik Etis. (Ricklefs, M.C., 2008). Tiga program utamanya – Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi – meski pada praktiknya lebih melayani kepentingan kolonial, program Edukasi secara tak terduga membuka jendela dunia Barat. Ia memperkenalkan ide-ide baru tentang kemajuan dan nasionalisme, yang melahirkan elite intelektual pribumi pertama dengan kesadaran kritis.

Di tengah suasana itulah, muncullah sosok dr. Wahidin Soedirohoesodo, seorang dokter Jawa lulusan STOVIA yang berjiwa luhur. (Poeze, Harry A., 2008). Tak puas hanya mengobati penyakit fisik, dr. Wahidin merasa terpanggil untuk “mengobati penyakit” kebodohan bangsanya. Sejak sekitar tahun 1906, ia berkeliling Jawa, menyuarakan pentingnya pendidikan dan “kemajuan” untuk mengangkat martabat bangsa, serta menggagas “Studiefonds” (Dana Pelajar). Gema pemikirannya bersambut hangat di kalangan mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Batavia. Sekolah dokter ini, ironisnya didirikan Belanda, justru menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya kesadaran nasional. Mahasiswa seperti Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Soeraji Tirtonegoro, merasakan secara langsung denyut penderitaan rakyat dan mematangkan kesadaran akan perlunya organisasi modern.

Puncaknya terjadi pada hari Minggu, 20 Mei 1908. Di ruang kuliah Anatomi STOVIA, setelah serangkaian pertemuan yang juga melibatkan interaksi dengan dr. Wahidin, sembilan mahasiswa STOVIA dengan semangat membara sepakat mendirikan perkumpulan. Perkumpulan itu diberi nama Boedi Oetomo (Budi Utomo), usulan Soeradji, yang berarti “kebijaksanaan atau budi pekerti utama/luhur.” (Abdullah, Taufik, ed., 2009). Soetomo, yang kala itu berusia 20 tahun, ditunjuk sebagai ketua pertama. Awalnya, Budi Utomo memilih jalur kooperatif, memfokuskan gerakannya pada bidang pendidikan dan kebudayaan di Jawa dan Madura. (Nagazumi, Akira, 1989). Ini adalah strategi awal yang cermat untuk membangun fondasi sumber daya manusia dan menghindari represi kolonial.

Kelahiran Budi Utomo pada 20 Mei 1908 menjadi penanda zaman yang monumental. Ia melambangkan pergeseran fundamental dari perlawanan fisik sporadis menuju perjuangan terorganisir berbasis intelektualitas dan kesadaran nasional yang mulai tumbuh. (Kartodirdjo, Sartono, 1993). Kehadirannya segera menjadi inspirasi bagi lahirnya berbagai organisasi pergerakan lainnya. Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno, melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, secara resmi menetapkan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1959) bukan untuk mengkultuskan Budi Utomo, melainkan untuk mengambil dan terus menyalakan api semangatnya: kesadaran sebagai bangsa, keinginan luhur untuk maju, dan keberanian memulai perubahan.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Hari Kebangkitan Nasional: Menyalakan Semangat Baru dan Aksi Nyata untuk Indonesia Jaya

Di tengah dinamika kebangsaan saat ini, dengan berbagai tantangan dan peluangnya, Harkitnas hadir sebagai panggilan untuk bertransformasi dari sekadar mengenang menjadi bertindak nyata. Semangat cinta bangsa yang besar perlu menemukan saluran aktualisasi yang produktif dan konstruktif. Harkitnas adalah ladang optimisme, sebuah momentum untuk merefleksikan kontribusi apa yang bisa kita berikan, sekecil apapun, demi kemajuan bersama.

Pertama, mari terjemahkan semangat “usaha mulia” Budi Utomo dalam peran kita sehari-hari. Seorang pelajar yang tekun dan berprestasi, seorang guru yang mendidik dengan hati, seorang petani yang inovatif dan menjaga keberlanjutan, seorang pedagang yang jujur, seorang pengusaha yang menciptakan lapangan kerja, seorang seniman yang menginspirasi, hingga tenaga medis yang melayani tulus – semuanya adalah agen kebangkitan di sektor masing-masing. Temukan passion Anda, dan berikan yang terbaik untuk bangsa melalui bidang itu.

Kedua, kita harus melawan apatisme dengan keterlibatan yang cerdas dan solutif. Para pendiri Budi Utomo tidak memilih apatis; mereka memilih bergerak. Harkitnas mengajak kita untuk tidak sekadar mengeluh, tetapi terlibat aktif. Gunakan hak pilih dengan bijak, pelajari isu publik, sampaikan masukan konstruktif, awasi kebijakan, dan di era digital, ciptakan konten positif serta lawan disinformasi dengan literasi.

Ketiga, menyalakan integritas adalah fondasi kebangkitan moral. “Budi Pekerti Luhur” adalah antitesis dari korupsi. Hari Kebangkitan Nasional adalah panggilan untuk berani berkata tidak pada korupsi dalam segala bentuknya dan menjadi pribadi yang menjunjung tinggi kejujuran. Dukung upaya pemberantasan korupsi dan jadilah teladan. Keempat, penting untuk terus merajut persatuan dalam keberagaman. Sebagaimana Budi Utomo menjadi pemantik bagi organisasi lain, kita pun perlu berkolaborasi. Bangun dialog konstruktif, hargai perbedaan, dan terlibatlah dalam kegiatan sosial lintas kelompok. Kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya bersatu. Terakhir, inovasi dan kreativitas adalah kunci menghadapi tantangan global. Generasi muda memiliki potensi luar biasa di sini. Kembangkan ide-ide kreatif, manfaatkan teknologi untuk kemajuan, dan dukung riset dalam negeri. Keberanian mencoba hal baru adalah bahan bakar kemajuan.

Hari Kebangkitan Nasional bukanlah sekadar seremoni. Ia adalah energi kolektif yang bisa kita bangkitkan kapan saja. Setiap tindakan positif, setiap kontribusi tulus, adalah sumbu yang menyalakan api optimisme. Dengan mengambil inspirasi dari semangat para perintis, mari kita wujudkan kecintaan pada Indonesia melalui karya nyata, integritas, dan kolaborasi. Indonesia memiliki potensi luar biasa, dan setiap kita adalah bagian penting dari kebangkitan yang berkelanjutan menuju Indonesia yang jaya. (Khayun Ahmad Noer)

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement