CM Corner
Beranda » Berita » Membangun Deliberasi Politik Pasca Pilkada

Membangun Deliberasi Politik Pasca Pilkada

Membangun Deliberasi Politik Pasca Pilkada

SURAU.CO Rendahnya partisipasi di Pilkada dan menjamurnya politik transaksional tidak cukup hanya menjadi landasan evaluasi prosedural. Keduanya membuktikan bahwa demokrasi tingkat lokal kita sedang tidak baik-baik saja. Ada hambatan substansial dari sistem perwakilan kita, yang kini bersifat elitis, klientilistik, dan menyerupai kartel. Jumlah pasangan calon yang terbatas, bahkan tunggal, menutup peluang kaderisasi sejak awal. Sentralisasi politik terwujud dengan latar belakang pasangan calon yang hidupnya lebih sering berlalu-lalang di ibu kota. Orang-orang yang bertanding di daerah adalah kalangan kelompok kecil yang kuat karena mendapat dukungan pusat.

Kehendak partai politik untuk mencapai tujuan mulianya seringkali terbatas pada kemampuan sumber daya. Hal ini akhirnya membuka ruang eksternal secara luas, terutama kepada para pemodal besar. Penguatan institusi partai akhirnya menitikberatkan pada kekuatan personal. Akibatnya, partai politik seringkali hanya menjadi sarana pencalonan dan tiket untuk maju memperebutkan jabatan publik. Selebihnya, kendali ada pada calon yang melakukan pendekatan klientilistik kepada pemilih. Ini adalah hubungan timbal balik yang terbentuk melalui pertukaran sumber daya material dan non-material. Pertukaran ini menggunakan kalkulasi untung-rugi. Praktik ini dilakukan oleh pihak yang memiliki kuasa untuk mengontrol birokrasi demi kepentingan elektoral. Dalam menjaga keuntungan kolektif, kelompok elite ini mempertahankannya dengan membentuk kartel.

Mengobati Luka, Bukan Membakar Rumah

Kondisi menurunnya kualitas demokrasi sesungguhnya tidak membuat kita harus balik arah. Jika ada penyakit yang diderita, maka penyakitnya yang harus kita obati, bahkan mungkin sampai kita amputasi. Gejala seperti menurunnya partisipasi, pejabat yang terlibat korupsi, serta pandangan bahwa pemerintah mementingkan diri sendiri adalah penyakit yang pastinya bisa kita sembuhkan. Memang kita mengalami defisit demokrasi. Ada ketidakselarasan antara kapasitas lembaga politik dengan tuntutan masyarakat. Namun, keunggulan demokrasi justru terletak pada kemampuannya untuk melakukan reformasi, daya tanggap, dan inovasi. Defisit demokrasi memang mengurangi kapasitas sistem politik, tetapi demokrasi juga dapat melakukan perbaikan (Norris, 1999).

Defisit demokrasi memang mempertanyakan kualitas pemerintahan yang berdampak pada legitimasi. Tapi sekeras-kerasnya kritik terhadap pemerintahan, para pejuang demokrasi tetap mempertahankan nasionalisme. Mereka ingin mengejar dan mengusir tikusnya, bukan membakar rumahnya. Oleh karena itu, kita harus menjawab defisit demokrasi dengan inovasi institusional untuk memfasilitasi partisipasi warga. Institusionalisasi menjadi pilihan untuk keterlibatan publik. Caranya beragam, mulai dari mendengarkan keluh kesah, dengar pendapat, musyawarah, hingga diskusi dengan berbagai kelompok kepentingan (Cain dkk, 2003). Jika Pilkada menghasilkan kepala daerah dengan legitimasi rendah, maka solusinya adalah menguatkan partisipasi setelah Pilkada.

Membangun Deliberasi Politik Pasca Pilkada secara Nyata

Menjalani demokrasi memang melelahkan. Tapi dalam sejarah, demokrasi masih menjadi cara terbaik untuk mencegah konflik, apalagi di negara yang beragam seperti Indonesia. Catatannya, demokrasi akan berjalan baik di negara plural jika kita laksanakan secara deliberatif. Demokrasi deliberatif menekankan peran penting ruang publik. Ruang ini menjadi tempat berlangsungnya komunikasi intersubjektif yang fundamental. Artinya, ada ruang komunikasi antar semua warga untuk memperbincangkan tata kelola pemerintahan secara setara tanpa dominasi. Demokrasi deliberatif tidak pandang waktu. Ia relevan sebelum, saat, bahkan setelah Pilkada. Perbincangannya tidak hanya soal siapa mendukung siapa, tetapi membuka ruang komunikasi yang panjang untuk membahas kepentingan bersama.

Kompleksitas Penyelenggara(an) Pemilu

Dalam kondisi ini, setiap orang dinilai sama. Kesamaan antar individu menghapuskan stratifikasi sosial dan struktural. Apapun substansi perbincangan yang warga sampaikan, selama tidak dilarang oleh undang-undang, wajib mendapat perhatian. Setelah antar pribadi terbentuk, proses dilanjutkan dengan perbincangan kelompok dan organisasi. Terjadilah komunikasi intensif antara kelompok kepentingan dengan para penanggung jawab pemerintahan. Kunci interaksi ini adalah menghasilkan konsensus untuk diterapkan menjadi kebijakan. Institusionalisasi proses perbincangan mendalam ini sama pentingnya dengan masukan dari para ahli dan teknokrat (Warren, 2008).

Pemodelan seperti ini juga menghindari musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang selama ini berjalan formal dan tidak setara. Deliberasi politik pasca Pilkada menjamin ruang publik yang lebih luas untuk bicara. Perdebatan berlangsung dengan penuh rasa hormat. Para anggota mengupayakan kebaikan publik, meskipun memiliki interpretasi yang berbeda (Ratner, 2008). Jika ini kita berlakukan secara maksimal, maka bukan hanya sumbatan demokrasi perwakilan yang bisa kita atasi, tetapi juga memastikan demokrasi langsung mendapatkan relevansinya. Karena setiap orang berhak bicara, tanpa dominasi dari siapapun, untuk menentukan nasib masa depan bersama.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement