Oleh: Masykurudin Hafidz, Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)
SURAU.CO – Presiden Prabowo Subianto mengatakan demokrasi yang kita jalankan perlu perbaikan, salah satunya dengan mengkaji sistem pemilihan langsung yang dinilai terlalu mahal. Wacana mengembalikan pemilihan daerah melalui DPRD pun muncul. Namun, sebelum menyalahkan sistemnya, kita perlu memahami terlebih dahulu apa sebab Pilkada menjadi mahal.
Pilkada adalah peristiwa kolosal yang memfasilitasi hak individu setiap orang. Tingginya biaya Pilkada disebabkan oleh proyeksi yang melibatkan semua pemilih. Berapapun biayanya, sesungguhnya tidak besar karena menjadi titik pijak untuk menentukan pemerintahan yang demokratis. Sepertiga lebih biaya Pilkada digunakan untuk honor panitia adhoc, yang tentu membantu dapur mereka tetap mengepul. Sepertiganya lagi untuk pengadaan logistik seperti surat suara. Jika Pilkada tidak diikuti oleh mayoritas pemilih, di situlah kerugiannya.
Sebab Pilkada Menjadi Mahal: Peran Partai Politik
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa “setelah Pilkada, wajah lesu terlihat dari pihak yang menang, apalagi yang kalah” sesungguhnya sekaligus menjadi jawaban mengapa Pilkada menjadi mahal. Partai politik, sebagai organisasi yang berwenang mengajukan calon, nyatanya tidak cukup baik dalam mewujudkan perwakilan. Buktinya, bahkan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan syarat pencalonan, jumlah pasangan calon di mayoritas daerah masih terbatas. Keinginan partai politik untuk menang mudah dengan cara mengumpulkan dukungan kursi sebanyak mungkin adalah praktik paling banal yang menurunkan keterwakilan.
Akibatnya, calon yang ingin maju sebagai kepala daerah perlu menyiapkan dana besar. Ia tidak hanya harus memberikan kontribusi kepada partai politik sebagai “sewa perahu,” tetapi juga bertanggung jawab atas pembiayaan kampanye. Biaya politik menjadi mahal karena partai politik sebagai penghubung memiliki kelemahan dasar: kurang memiliki kas organisasi. Mereka akhirnya mengandalkan kesediaan calon untuk menutupi kebutuhannya. Situasi ini menyebabkan calon yang diusung adalah mereka yang memiliki kekayaan, wewenang, atau relasi kuasa untuk mengakses dana.
Pendekatan Transaksional sebagai Biang Keladi
Faktor berikutnya yang menjadi sebab Pilkada menjadi mahal adalah pendekatan partai politik kepada pemilih. Partai politik hadir di masyarakat hanya pada saat momentum elektoral saja. Kantor dibuka dan media sosial diaktifkan sebagian besar hanya pada masa kampanye. Pendekatan yang terbatas inilah yang kemudian membuat partai politik mengambil jalan pintas, yaitu pendekatan transaksional. Tawaran agar calon dipilih oleh pemilih mereka jalankan dengan pemberian uang atau barang.
Partai politik dan calon tidak pernah sepakat untuk secara bersama-sama menolak politik transaksional. Karena sekuat-kuatnya permintaan pemilih, jika partai politik dan calon sepakat untuk tidak memberinya, maka politik transaksional tidak akan terjadi. Faktanya, mereka justru berlomba-lomba mendekati pemilih dengan cara transaksional karena dianggap efektif dalam waktu yang terbatas. Semakin kuat persaingan, semakin tinggi potensi politik transaksional, dan semakin besar pula biaya politik yang dikeluarkan.
Kondisi inilah yang sesungguhnya menjadi penyebab utama Pilkada mahal. Aktor utamanya adalah partai politik sendiri, yang mengelola proses pencalonan dan mendekati pemilih dengan cara yang transaksional. Oleh karena itu, jangan buru-buru mengganti sistem Pilkada langsung ke pemilihan melalui DPRD. Cari dulu penyebab utama Pilkada mahal dan akar persoalan yang melingkupinya. Sebab, mengembalikan Pilkada ke DPRD tidak menjamin bebas dari politik transaksional dan praktik korupsi yang sedang Presiden Prabowo sendiri lawan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.