CM Corner
Beranda » Berita » Mengukur Legitimasi Pilkada Calon Tunggal

Mengukur Legitimasi Pilkada Calon Tunggal

Mengukur Legitimasi Pilkada Calon Tunggal

Oleh: Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

SURAU.CO Sebanyak 1.556 pasangan calon akan memperebutkan kekuasaan di 545 daerah (KPU, 31/10). Namun, fenomena 37 daerah yang hanya memiliki calon tunggal memaksa kita untuk secara serius mengukur legitimasi Pilkada calon tunggal. Meskipun syarat pencalonan dipermudah, menambah jumlah pasangan calon untuk berkompetisi nyatanya cukup sulit.

Jika mendasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi, setiap daerah setidaknya dapat mewujudkan lima pasangan calon. Faktanya, lebih dari separuh daerah hanya dua dan tiga pasangan calon yang ikuti. Pertimbangan untuk memaksimalkan perwakilan dalam komposisi pencalonan ternyata terhadang oleh orientasi mengejar kemenangan. Dalam upaya memperoleh legitimasi, komposisi pasangan calon seringkali minus representasi. Perwakilan partai politik dan calon perseorangan yang ada adalah wujud dari kekuatan politik dan modalitas ekonomi.

Betapa tidak, Pemilu baru saja usai, Pilkada langsung dimulai. Hampir tidak ada kesempatan bagi partai untuk menyiapkan kader karena baru pulang dari medan tanding. Akhirnya, mereka lebih memilih orang yang masih memiliki daya tahan dan modalitas yang kuat. Koalisi partai politik yang memenangi pilpres 2024 kemudian melanjutkan koalisinya di tingkat Pilkada. Mereka lantas mengembangkan koalisi ke partai-partai lain. Terjadilah pembentukan koalisi besar untuk mengurangi risiko persaingan dan memastikan kemenangan.

Defisit Representasi sebagai Akar Masalah

Pilkada sesungguhnya menjadi sarana representasi bagi pemilih. Melalui Pilkada, partisipasi masyarakat juga seharusnya terwakili oleh jumlah pasangan calon yang akomodatif. Pencalonan, baik melalui jalur partai politik maupun perseorangan, adalah momentum untuk mewujudkan perwakilan pemilih. Semakin banyak jumlah pasangan calon, maka semakin terwujud aspek keterwakilan. Sebaliknya, Pilkada dengan jumlah pasangan calon yang sedikit menggambarkan kondisi yang semakin jauh dari demokratisasi.

Kompleksitas Penyelenggara(an) Pemilu

Kondisi Pilkada dengan calon minim menunjukkan bahwa segelintir kaum elite memegang kekuasaan (Nurhasim, 2003). Fenomena ini juga menandakan adanya local strong men (Leo Agustino, 2009), partai politik kartel (Sumadinata, 2016), dan kondisi yang penuh dengan klientilisme (Sukmajati, 2016). Seluruh gambaran tersebut menunjukkan ruang demokrasi di tingkat lokal semakin menyempit. Dalam kondisi calon tunggal, Pilkada menjadi tidak bermakna karena minimnya keterlibatan warga untuk mencalonkan diri. Sulitnya benteng yang harus para kandidat potensial tembus berakibat hanya orang-orang dengan kelebihan posisi, baik sebagai petahana atau keluarganya, maupun karena kemampuan finansial tinggi yang mampu menarik partai politik.

Tantangan dalam Mengukur Legitimasi Pilkada Calon Tunggal

Padahal, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam pemerintahan demokratis, pemilih menentukan sendiri siapa yang akan mewakili mereka. Jika partisipasi menurun, maka legitimasi pemimpin daerah akan lemah. Meskipun pasangan calon bisa menang dan menduduki jabatannya, mereka akan memiliki legitimasi yang rendah karena tidak melalui proses partisipasi yang tinggi. Inilah tantangan utama dalam mengukur legitimasi Pilkada calon tunggal.

Jika legitimasi runtuh, maka kepercayaan terhadap demokrasi juga akan ikut berkurang. Hal ini bisa berdampak pada kepercayaan pada sistem pemerintahan yang kita anut. Sebagaimana yang Max Weber (1920) kategorikan, menurunnya kepercayaan pada otoritas hukum bisa mengalihkan perhatian kepada otoritas lainnya, yaitu otoritas karismatik dan tradisional. Otoritas karismatik dan tradisional akan mengembalikan pemilih pada pengabdian individual dan kepercayaan pada tradisi yang seringkali bertabrakan dengan demokrasi. Jika ini terjadi, pemerintahan tidak lagi berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan siapa yang kuat yang akan berkuasa.

Sebagaimana yang Robert A. Dahl (1980) kemukakan, di samping untuk menghindari tirani, Pilkada juga bertujuan untuk mewujudkan hak-hak esensial individu dan menjadi sarana meraih kesejahteraan. Pilkada langsung memberi kesempatan kepada masyarakat pemilih untuk terlibat dalam proses politik yang lebih kuat. Kondisi daerah dengan calon tunggal hanya akan mempersempit pilihan pemilih dan pada akhirnya mengurangi tingkat legitimasi pemerintahan ke depan.

Partisipasi Bermakna dalam Pesta Demokrasi

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement