Oleh: Masykurudin Hafidz, Inisiator Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)
SURAU.CO – Setiap kali Presiden Jokowi memanggil atau bertemu dengan para kandidat calon presiden atau wakil presiden, saat itu pula ujaran “cawe-cawe” menyeruak. Dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, terdapat 356 kata yang membahas apakah presiden boleh cawe-cawe atau tidak. Apa saja batasan tersebut?
Pemilihan umum bertujuan menjamin tercapainya cita-cita nasional sekaligus menjadi perwujudan kedaulatan rakyat. Pelaksanaannya wajib berlangsung Luber dan Jurdil dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, berkepastian hukum, serta efektif dan efisien.
Peran dalam Pembentukan Penyelenggara Pemilu
Cawe-cawe presiden yang diatur UU diawali dengan proses pembentukan penyelenggara pemilu. Presiden memulai dengan membentuk tim seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Tim seleksi ini kemudian melaksanakan serangkaian tes untuk menghasilkan 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu untuk diajukan ke DPR.
DPR selanjutnya melakukan uji kelayakan dan kepatutan, kemudian menetapkan 7 anggota KPU dan 5 Anggota Bawaslu. DPR lalu menyampaikan hasil pemilihan tersebut kembali kepada Presiden untuk ia tetapkan dengan Keputusan Presiden. Selain KPU dan Bawaslu, Presiden juga menetapkan anggota DKPP, berdasarkan usulan presiden sendiri sebanyak dua orang dan usulan DPR sebanyak tiga orang.
Meskipun peranan presiden signifikan, KPU dan Bawaslu mestinya tetap mandiri. Jaminan bahwa mereka akan menjalankan tahapan pemilu tanpa intervensi siapapun sudah diatur secara maksimal dalam undang-undang. Demikian juga sanksi bagi penyelenggara yang tidak mandiri, mulai dari peringatan hingga pemberhentian.
Izin Kampanye dan Potensi Penyalahgunaan
Cawe-cawe administratif lainnya adalah pemberian izin kepada kepala daerah yang maju sebagai capres atau cawapres. Presiden memberikan izin atas permintaan pejabat tersebut paling lama 15 hari setelah menerima surat permintaan. Presiden tidak bisa menggagalkan pencalonan dengan tidak memberikan izin. Apabila presiden tidak memberikan izin hingga batas waktu, maka UU menganggap izin tersebut sudah diberikan.
Area cawe-cawe yang patut publik perhatikan dan berpotensi disalahgunakan adalah saat presiden mengambil haknya untuk berkampanye. Keikutsertaan presiden dalam kampanye harus memenuhi syarat: tidak menggunakan fasilitas jabatan (kecuali pengamanan) dan harus menjalani cuti di luar tanggungan negara. Larangan penggunaan fasilitas negara ini meliputi kendaraan dinas, gedung kantor, rumah dinas, dan fasilitas lain yang anggaran negara biayai.
Sebagai pemimpin tertinggi, presiden perlu memberi contoh kepada pejabat negara dan ASN untuk tidak mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap peserta pemilu. Larangan tersebut mencakup pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada ASN di lingkungan kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Kewenangan dalam Situasi Darurat dan Kewajiban Dukungan
Presiden juga berwenang menetapkan pemilu susulan dan lanjutan. Ini berlaku jika sebagian atau seluruh wilayah Indonesia mengalami kerusuhan, bencana alam, atau gangguan lain yang membuat tahapan pemilu tidak dapat terlaksana. Jika pemilu tidak bisa terlaksana di 40% provinsi dan 50% pemilih terdaftar tidak bisa memilih, Presiden menetapkan Pemilu lanjutan atau susulan tersebut atas usul KPU.
Di sisi lain, ada cawe-cawe yang justru bersifat wajib. Presiden harus memberikan dukungan, bantuan, dan fasilitas untuk kelancaran tugas penyelenggara pemilu. Bantuan ini berupa penugasan personel, sosialisasi UU pemilu, pendidikan politik, kelancaran transportasi logistik, pemantauan, dan kegiatan lain sesuai kebutuhan.
Pada akhirnya, cawe-cawe presiden dalam pemilu memang ada yang wajib dan ada yang dilarang. Pelaksanaan kewajiban sambil menghindari larangan inilah yang menjadi kunci kesuksesan pemilu mendatang.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
