CM Corner
Beranda » Berita » Gambaran Demokrasi Kotak Kosong

Gambaran Demokrasi Kotak Kosong

Gambaran Demokrasi Kotak Kosong

Oleh: Masykurudin Hafidz, Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)

SURAU.CO Meraih kemenangan dengan mudah kala mengusung calon tunggal ternyata tidak berjalan mulus. Fenomena ini justru memberikan gambaran demokrasi kotak kosong yang tak terduga, di mana keterwakilan terbatas menumbuhkan sikap untuk tidak memilih pasangan calon yang partai politik sediakan. Partisipasi pemilih justru terasa lebih kuat di daerah dengan tingkat kompetisi yang rendah.

Calon tunggal adalah Goliath, raksasa yang tidak tertandingi, apalagi ia hanya melawan David, pihak lemah yang berwujud kolom kosong di surat suara. Ini adalah kekuatan yang tidak imbang. Goliath sudah hampir finis, sementara David bahkan belum bersiaga di garis start. Tapi Goliath bukan tanpa kekurangan. Proses menjadi pasangan calon seringkali tidak sepenuhnya mempertimbangkan aspirasi rakyat setempat. Penentuan calon kepala daerah berlangsung secara elitis, mengandalkan pihak yang memiliki finansial kuat, dan berjalan secara klientilistik. Dalam situasi ini, kolom kosong menjadi titik kumpul perlawanan.

Data di Balik Perlawanan Kotak Kosong

Partisipasi pemilih di daerah calon tunggal rata-rata hanya 66 persen. Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata nasional yaitu 71 persen. Angkanya lebih rendah lagi jika kita bandingkan dengan daerah yang memiliki lima pasangan calon atau lebih, di mana rata-rata partisipasinya mencapai 77 persen. Jika kita periksa lebih dalam, dari 37 daerah dengan calon tunggal, hanya 14 daerah yang partisipasinya di atas 70 persen. Sementara itu, 10 daerah memiliki partisipasi di bawah 60 persen.

Dari sisi surat suara tidak sah, daerah dengan calon tunggal juga lebih tinggi. Di daerah calon tunggal, surat suara tidak sah mencapai 4 persen. Sementara di daerah dengan lima pasangan calon atau lebih, angkanya hanya 2 persen. Perolehan suara pasangan calon tunggal ketika melawan kolom kosong juga bervariasi, dengan kemenangan rata-rata 76 persen. Namun, terdapat 13 daerah di mana kolom kosong memperoleh suara lebih dari 30 persen. Bahkan, ada dua daerah di mana kolom kosong menang, yaitu Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka.

Kompleksitas Penyelenggara(an) Pemilu

Jika kita hubungkan partisipasi dengan perolehan suara, dapat kita simpulkan bahwa semakin tinggi perolehan suara kolom kosong, partisipasi pemilihnya cenderung rendah. Contohnya, Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka yang dimenangkan oleh kolom kosong, partisipasinya hanya 53 dan 52 persen.

Empat Penjelasan di Balik Fenomena Kotak Kosong

Dengan kedudukan yang timpang, perolehan suara kolom kosong wajib menjadi perhatian serius. Tindakan politik pemilih ini menjadi koreksi, terutama bagi partai politik dalam memenuhi kewajiban mewujudkan perwakilan yang representatif. Berdasarkan pengalaman, setidaknya terdapat empat penjelasan atas gambaran demokrasi kotak kosong ini.

Pertama, evaluasi terhadap kinerja petahana. Mayoritas pasangan calon di daerah calon tunggal adalah petahana. Kebijakan kepala daerah yang tidak berpihak kepada rakyat jelas memengaruhi tingginya suara untuk kolom kosong. Dengan kata lain, pemilih menghukum petahana dengan tidak memilihnya kembali.

Kedua, kurangnya soliditas partai koalisi. Dengan dukungan mayoritas partai politik, seharusnya menyatukan kekuatan tidaklah sulit. Namun, yang lebih banyak terjadi, partai politik membebaskan pasangan calon untuk berkampanye dengan sumber dayanya sendiri. Pemilu sebelumnya telah menguras energi, sehingga pasangan calon seringkali berjibaku sendiri mendekati pemilih.

Ketiga, kesenjangan antara partai politik dengan konstituen. Partai politik tidak sepenuhnya memahami atau mewakili kepentingan dan kebutuhan konstituen mereka. Kelompok elite lokal yang berada di luar barisan pasangan calon kemudian memanfaatkan kondisi ini. Mereka mengorganisir simpul-simpul di masyarakat untuk memilih kolom kosong.

Partisipasi Bermakna dalam Pesta Demokrasi

Keempat, dampak kekosongan hukum. Meskipun banyak pihak menilai kedudukan kolom kosong lemah karena tidak memiliki subjek hukum, kenyataannya kondisi ini tidak berlaku di semua daerah. Tidak adanya pihak yang mewakili kolom kosong justru memberi kebebasan bagi siapa saja untuk memenangkannya. Di satu sisi, ini dapat menguatkan pendukung kolom kosong. Namun di sisi lain, kita memerlukan aturan untuk memastikan pendekatan kepada pemilih tidak melanggar ketentuan.

Pada akhirnya, gambaran Pilkada di daerah calon tunggal memberikan pesan kuat kepada kita semua untuk tidak main-main terhadap suara rakyat. Jika salah melangkah, pemimpin demokratis pun akan pemilihnya tinggalkan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement