Oleh: Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
SURAU.CO – Pilkada serentak seringkali hanya dianggap sebagai puncak prosedur elektoral. Namun, proses yang sesungguhnya justru terjadi setelahnya, yaitu kebutuhan mendesak untuk membangun institusionalisasi demokrasi dan deliberasi politik. Tanpa proses ini, mayoritas kemenangan di Pilkada akan mengarah pada kekuasaan tunggal yang mengancam. Kesuksesan prosedural ini justru bisa melahirkan pemerintahan yang hanya dikelola oleh sekelompok orang, di mana potensi penumpukan kekuasaan bermula sejak koalisi ditetapkan. Akibatnya, kerakyatan sebagai ciri khas demokrasi tereduksi oleh sistem perwakilan yang sangat terbatas.
Demokrasi memang berhasil mentransfer pemimpin sebagai perwakilan rakyat. Akan tetapi, kita perlu mewujudkan bersama agar rakyat menjadi warga negara yang dapat menagih hak pilihnya. Partisipasi individu telah kita laksanakan pada hari pemungutan suara. Selanjutnya, kita harus beranjak ke partisipasi komunitarian sebagai wujud hak kolektif pasca Pilkada. Setelah aktualisasi prosedur berjalan, kita harus melanjutkannya dengan aktualisasi modalitas lokal (Faishal, 2007). Oleh karena itu, menjalankan demokrasi hanya melalui Pilkada itu sama sekali tidak cukup, karena partisipasi dalam pembuatan kebijakan justru terjadi setelah calon pemimpin terpilih.
Mewujudkan Deliberasi Politik sebagai Kontrol Kekuasaan
Agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan yang hegemonik, kita memerlukan pembuatan kebijakan di mana pemerintah tetap berada di bawah kendali warga negara. Perlu ada kondisi di mana kita mengembalikan kesadaran bahwa negara menjamin akselerasi rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Perbincangan bebas jauh lebih penting daripada sekadar menyajikan angka-angka statistik dalam pembuatan kebijakan. Jangan sampai kemenangan Pilkada melahirkan otoritas yang koersif. Kita harus menghadang potensi kekuasaan tunggal dan terpusat yang terbungkus dalam pola patronase ini sedini mungkin.
Demokrasi deliberatif tidak mengakui adanya penumpukan kekuasaan pada segelintir elite. Peran pemerintah wajib kita batasi sehingga publik mempunyai kuasa untuk menolak lalu mendukung kebijakan yang menguntungkan lebih banyak orang. Pemerintah harus mendasarkan kebijakannya pada kepentingan warga negara yang terdiri dari berbagai macam subjek dengan banyak latar belakang. Lynn Sanders (1997) menyatakan, kita membutuhkan kesempatan yang sama dalam politik untuk menawarkan notasi partisipatif. Di sini, kemampuan para aktor untuk mewakili agregasi kepentingan dapat menciptakan area publik dalam menyusun kebijakan. Dengan demikian, pengakuan pada argumentasi dan keterlibatan partisipan menjadi representasi dari optimalisasi peran individu dan institusi. Proses ini memiliki fungsi kontrol demokrasi yang substansial, bukan sekadar simbol (Dryzek, 2000).
Pilar-Pilar Institusionalisasi Demokrasi dan Deliberasi Politik
Setelah pemungutan suara, hasil pilihan individu menjadi pilihan kolektif. Hubungan antara pemilih dan calon terpilih adalah hubungan politik yang membutuhkan institusi. Inilah esensi dari institusionalisasi demokrasi dan deliberasi politik: sebuah proses penguatan nilai-nilai demokrasi ke dalam sistem politik, sosial, dan budaya. Pasca Pilkada adalah pembuktian bahwa kekuasaan negara bukanlah milik satu kelompok tertentu. Pemerintah terpilih harus menawarkan diri sebagai bagian dari proses di mana kekuasaan menjadi titik awal untuk berbagi sumber daya. Untuk itu, ada tiga pilar institusionalisasi yang harus kita perkuat.
Pilar Pertama: Memperkuat Institusi Partai Politik
Langkah pertama adalah penguatan partai politik dan elitenya. Para elite harus memperkuat fungsi partai dalam mengagregasi kepentingan, bahkan setelah Pilkada usai. Sudah bukan zamannya lagi partai politik hanya sibuk saat tahapan pencalonan saja. Mengaktifkan semua saluran perwakilan—mulai dari membuka kantor, berinteraksi di media sosial, hingga aktif bersua dengan warga—adalah cara-cara untuk meningkatkan hubungan dialogis dalam mengakomodasi kepentingan publik. Selain itu, tindakan ini juga penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap partai politik yang terus menurun.
Pilar Kedua: Mewujudkan Pemerintahan yang Melayani
Sembari partai politik berbenah, para calon terpilih harus mulai menyusun agenda tata kelola pemerintahan yang optimal. Cara pandang mengelola pemerintahan adalah pelayanan terhadap warga negara yang telah mewakilkan urusan publiknya. Institusi pemerintah adalah wajah konkret kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari. Budaya “minta dilayani” harus berubah menjadi “tradisi melayani” dengan mengedepankan orientasi pada hasil, bukan berputar-putar pada kerumitan birokrasi. Bagi mayoritas warga negara, kebutuhan standar hidup sesungguhnya tidak muluk-muluk. Mereka hanya butuh kemudahan mengurus dokumen, ketersediaan sandang, pangan, dan papan, serta sarana pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Pilar Ketiga: Menegakkan Institusi Hukum yang Adil
Jika partai politik memastikan pemerintah melayani dengan baik, maka institusionalisasi berikutnya adalah penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Sistem peradilan dan regulasi berperan dalam mengatur mekanisme keadilan. Ini bukan hanya tugas lembaga peradilan, tetapi wujud dari interkoneksi antar lembaga dan organisasi yang mempunyai daya ikat kuat. Lebih jauh lagi, mewujudkan keadilan hukum juga melibatkan organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil. Partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum dapat meningkatkan kepercayaan publik sekaligus menguatkan aspek pencegahan daripada harus mengobati pelanggaran.
Pada akhirnya, penguatan partai politik, pemerintah yang merakyat, dan penegak hukum yang adil adalah institusionalisasi demokratis yang menjadi harapan rakyat ke depan. Ruang publik sebagai wahana institusionalisasi demokrasi dan deliberasi politik berperan besar dalam mengakomodasi semua kelompok melalui institusi yang kolektif dan inklusif. Dengan begitu, kebanggaan kita sebagai negara demokratis kita tunjukkan dengan kualitas pemerintahan yang baik. Saatnya mengembalikan fungsi lembaga demokrasi untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemilik sesungguhnya: rakyat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
