Oleh : Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
SURAU.CO – Aparat membakar ribuan buku pelajaran sejarah. Tindakan ini berawal dari keputusan larangan edar Kejaksaan Agung RI. Terdapat 13 judul buku sejarah dari 10 penerbit yang mesti mereka musnahkan. Alasannya, buku tersebut tidak memuat pemberontakan Madiun 1948 dan G-30-S/PKI. Kejaksaan Negeri Bandung dan Walikota Depok termasuk yang melakukan pemusnahan buku sejarah ini.
Tradisi Kelam Pembakaran Buku
Sejarah pembakaran buku memang bukan cerita baru. Pada 213 SM, pendiri Dinasti Qin di Cina, Shi Huang-ti, membakar buku Konfusian. Ia ingin mencegah pemikiran tersebut berkembang. Demikian juga pada tahun 47 SM dalam Sejarah**
Sejarah pembakaran buku memang bukan cerita baru. Pada 213 SM, Shi Huang-ti dari Dinasti Qin membakar buku Konfusian. Tujuannya untuk mencegah pemikiran itu berkembang. Kemudian pada 47 SM, Julius Cesar membakar perpustakaan Iskandariah. Ratusan ribu manuskrip menjadi korban dalam peristiwa itu. Sebagai penguasa fasis, Hitler juga melakukan hal serupa. Pada Mei 1943, ia membakar buku-buku yang ia anggap subversif.
Di Indonesia, pembakaran buku seringkali berdasarkan fobia komunisme. Aliansi Anti Komunis (AAK) melakukannya pada April 2001. Ironisnya, mereka justru membakar buku yang mengkritik komunisme. Buku itu adalah “Pemikiran Karl Marx” karya Franz Magnis-Suseno. Selama Orde Baru, komunisme memang menjadi hantu musuh bersama. Akibatnya, fobia ini terus menurun dan melandasi sensor hingga kini.
Kriminalisasi Intelektual dan Matinya Nalar Kritis
Dari peristiwa pembakaran buku ini, ada tiga hal yang patut kita perhatikan.
Pertama, Sejarah Adalah Tafsir, Bukan Kebenaran Tunggal
Sejarah pada dasarnya adalah soal tafsir. Saat orang menulis sejarah, ia tidak bisa mencakup semuanya. Penulisan sejarah adalah sebuah reduksi atas peristiwa. Oleh karena itu, setiap penulisan sejarah menciptakan tafsir. Hal ini tentu membuka ruang bagi tafsir-tafsir lainnya. Sikap kritis penting karena tidak ada sejarah yang bebas dari kepentingan. Makin banyak tafsir, murid akan belajar makin kritis.
Kedua, Kekhawatiran Berlebihan Terhadap Komunisme
Ada kekhawatiran berlebihan terhadap ancaman komunisme. Padahal, ideologi ini sudah ambruk dan tidak lagi laku. Kegagalan intinya adalah ia terjebak pada cita-citanya sendiri. Saat komunisme menjadi kekuasaan, ia justru menjadi gerakan dehumanisasi.
Akan tetapi, mempelajari komunisme tidak sama dengan menjadi komunis. Kita bisa mengambil manfaat dari semangat kritisnya. Terutama kritik terhadap kapitalisme yang timpang. Kita boleh melawan komunisme. Namun, kita melawannya dengan pengetahuan, bukan dengan api. Membakar buku justru membuat orang semakin penasaran. Kita tidak bisa mengkritik suatu paham tanpa memahaminya.
Ketiga, Membakar Buku Adalah Tindakan Tak Beradab
Pemusnahan buku dengan api bukanlah contoh yang baik. Tentu ada cara lain yang jauh lebih manusiawi. Dalam suasana demokratis, cara-cara seperti ini sudah usang. Sebab, membakar buku berarti membakar kebebasan itu sendiri. Menghapus kebe, Julius Cesar membakar perpustakaan Iskandariah. Ratusan ribu manuskrip menjadi korban saat itu. Kemudian, sebagai penguasa fasis, Hitler membakar buku-buku subversif pada Mei 1943.
Di Indonesia, pembakaran buku sebagian besar berdasar pada fobia komunisme. Aliansi Anti Komunis (AAK) melakukannya pada April 2001. Ironisnya, mereka justru membakar buku yang mengkritik komunisme itu sendiri. Buku itu adalah “Pemikiran Karl Marx” karya Franz Magnis-Suseno. Selama Orde Baru, komunisme memang menjadi hantu musuh bersama. Paham ini mereka definisikan sebagai ideologi anti Tuhan. Fobia ini terus berlanjut hingga kini.
Kriminalisasi Intelektual dan Matinya Nalar Kritis
Dari peristiwa pembakaran buku ini, setidaknya ada tiga hal yang patut kita perhatikan.
1. Sejarah Adalah Tafsir, Bukan Kebenaran Tunggal
Pertama, sejarah adalah soal tafsir. Ketika seseorang menuliskan sejarah, ia tidak bisa mencakup seluruh dimensi peristiwa. Penulisan sejarah tidak lain adalah reduksi sejarah itu sendiri. Pada titik ini, setiap penulisan sejarah berarti menciptakan tafsir. Hal itu membuka ruang bagi tafsir yang lain. Oleh karenanya, kita harus kritis. Kita perlu paham bahwa tidak ada sejarah yang bebas dari kepentingan. Jika makin banyak tafsir di sekolah, murid akan belajar bersikap kritis.
2. Ketakutan Berlebihan yang Tidak Relevan
Kedua, ada kekhawatiran berlebihan terhadap ancaman komunisme. Kalau kita lihat lebih dalam, komunisme saat ini sudah ambruk. Ideologi ini ternyata berumur tidak lebih dari 70 tahun. Kegagalan inti dari komunisme adalah ia terjebak pada cita-citanya sendiri. Ketika komunisme menjadi kekuasaan, ia menjadi gerakan dehumanisasi.
Akan tetapi, mempelajari komunisme tidak sama dengan menjadi komunis. Kita bisa mengambil manfaat dari semangat kritisnya. Terutama kritik terhadap kapitalisme yang timpang. Seperti agama, komunisme mengajarkan dalam harta orang kaya ada hak si miskin. Tentu komunisme boleh saja kita lawan. Tetapi, kita melawannya dengan cara mengetahui dan mempelajarinya, bukan membakar bukunya. Justru, membakar buku akan membuat orang semakin penasaran.
3. Membakar Buku Adalah Tindakan Barbar
Ketiga, memusnahkan buku dengan cara dibakar bukanlah contoh yang baik. Ada cara lain yang lebih humanis daripada menyulutnya dengan api. Dalam suasana yang semakin demokratis, cara-cara ini sudah usang. Membakar buku berarti menghapus kebebasan. Menghapus kebebasan berarti menghilangkan dimensi kodrati manusia.
Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan berpendapat. Kebebasan mencari informasi adalah hak asasi. Hak ini juga menjadi syarat bagi pencerdasan kehidupan bangsa. Semoga kita tidak melawan komunisme dengan cara-cara yang komunis itu sendiri lakukan.basan berarti menghilangkan kodrat alami manusia.
Panggilan untuk Kebebasan Berpikir
Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan berpendapat. Kebebasan mencari informasi merupakan hak asasi manusia. Hak ini juga menjadi syarat utama pencerdasan bangsa. Semoga kita tidak melawan komunisme dengan cara-cara yang komunis itu sendiri lakukan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
