Oleh: Masykurudin Hafidz, Penulis, Tinggal di Kulonprogo
SURAU.CO – Pemilu 2009 tinggal menghitung hari. Banyak wajah calon legislatif terpampang di jalanan, semua mengejar kekuasaan yang memesona. Namun, untuk berhasil, seorang kandidat tidak cukup hanya bermodal poster narsis. Mereka memerlukan pemahaman mendalam tentang filsafat politik calon penguasa. Tulisan ini menyajikan resep tersebut, sebuah panduan untuk meraih kekuasaan sekaligus mempertahankannya.
Setiap manusia mempunyai nafsu berkuasa karena ia adalah makhluk politik (zoon politikon). Ibarat rasa lapar, semakin lama kekuasaan dibiarkan, semakin besarlah ia. Kekuasaan terjadi saat seseorang tidak merasa cukup pada dirinya sendiri sehingga ia membutuhkan banyak penolong. Oleh karena itu, kekuasaan tidak mungkin tercapai hanya dengan melibatkan orang-orang yang sama. Semakin majemuk golongan yang ia raih, semakin terbuka lebar pintu kekuasaan.
Fondasi Filsafat Politik Calon Penguasa: Resep dari Para Filsuf
Menurut Thomas Hobbes (1651), kekuasaan terbagi dua: natural dan artifisial. Yang pertama adalah kekuasaan berdasarkan keistimewaan tubuh dan pikiran, seperti kekuatan fisik dan kecerdasan. Sementara yang kedua adalah sarana untuk meningkatkannya, seperti kekayaan dan relasi. Pertanyaan dasarnya adalah, bagaimana seorang calon bisa meyakinkan sebanyak mungkin warga bahwa kehendak mereka seakan-akan telah menyatu dalam dirinya? Muaranya adalah setiap orang lantas menganggap tindakan sang calon sebagai tindakan wakilnya juga.
Bagaimana caranya? Machiavelli (1532) menasihati, seorang calon penguasa sejak awal seharusnya mempunyai watak singa dan rubah sekaligus. Ia harus seperti singa yang menakut-nakuti serigala dan seperti rubah yang bisa mengenali jerat lawan. Dalam arti lain, sang calon harus mengampanyekan diri sebagai Leviathan, yaitu pihak yang mempunyai kekuatan maha dahsyat sehingga mampu melindungi masyarakatnya. Menjadi calon penguasa berarti mengupayakan diri untuk dicintai, sekaligus ditakuti.
Menerapkan Filsafat Politik dalam Praktik Sehari-hari
Dalam setiap tindakannya, sang calon harus mampu menunjukkan keutamaan-keutamaan (arete) diri kepada publik. Di antaranya adalah sifat jujur, rajin, berani, dan adil. Percayalah, perbuatan baik akan selalu berbekas baik. Oleh karena itu, ia harus selalu berupaya untuk terus dipandang baik dan berbelas kasih. Siap berkuasa berarti siap menjadi pelayan. Ini adalah inti dari filsafat politik calon penguasa yang berorientasi pada publik. Sang calon harus mampu meyakinkan publik bahwa kekuasaan yang ia pegang nanti akan sepenuhnya berorientasi kepada khalayak.
Di samping itu, pastikan sang calon selalu berada di jalan tengah (mesotes), tidak ke kiri dan tidak ke kanan. Pilihan ini merupakan strategi untuk menjaring sebanyak mungkin kawan dan mengurangi lawan. Pilihan jalan tengah juga menunjukkan janji kepada publik bahwa ia akan menjamin kesamaan semua warga di hadapan hukum. Berada di jalan tengah juga berarti sang calon berjanji mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan golongan atau pribadinya.
Dalam kesehariannya, seorang calon penguasa harus mampu membedakan mana ruang publik dan mana ruang privat. Belajar dari Hannah Arendt (1960), ruang publik adalah dunia milik kita bersama yang mengandaikan kesetaraan. Sang calon tidak membahas persoalan privat karena hal itu ada di luar wewenangnya. Sebaliknya, ia harus menekankan bahwa saat ia berkuasa nanti, pendidikan akan gratis dan kesehatan bisa dinikmati semua orang. Terakhir, ia harus menguasai komunikasi publik untuk menjembatani sekaligus memengaruhi publik tanpa gagap atau salah ucap.
Berpolitik adalah cara menguasai manusia. Karir politik seseorang bergantung pada berbagai teknik yang mereka kembangkan untuk merebut dan mempertahankannya. Selamat bertanding
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
