Oleh: Masykurudin Hafidz, Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta
SURAU.CO – Itulah kalimat andalan Tukul Arwana, presenter acara “Empat Mata” di sebuah stasiun televisi. Laptop yang tadinya hanya alat bantu justru menjadi brand dari Tukul dan acaranya yang sedang naik daun. Kini, berita laptop datang dari gedung wakil rakyat. DPR berencana membagikan laptop ke seluruh 550 anggotanya (Koran Sindo, 22/03). Frasa Kembali ke Laptop! seolah menjadi pembenaran.
Harganya tidak tanggung-tanggung, 21 juta per unit! Sehingga, total anggaran yang dibutuhkan adalah 11,5 miliar. Kenapa sedemikian mahal? Karena laptop tersebut konon dilengkapi perangkat multimedia canggih untuk meningkatkan kinerja anggota DPR. Apakah betul begitu? Lalu, apa hubungannya dengan Tukul?
Jika kita mengukur peningkatan kinerja anggota DPR dengan pembelian laptop, pertanyaannya adalah, apakah semua anggota DPR bisa mengoperasikannya? Kalaupun bisa, apakah fasilitas multimedia yang membuat laptop itu mahal lantas bisa membantu mereka secara fungsional untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan? Jawaban yang hampir tepat adalah, karena anggota DPR kena demam Tukul. Kenapa bisa begitu? Mari kita lihat tiga alasannya: para anggota DPR sudah difasilitasi staf khusus; pembelian laptop bukanlah sesuatu yang darurat; dan harga 21 juta untuk sebuah laptop sangatlah besar.
Tiga Kontradiksi di Balik Tukulisme DPR
Dari alasan-alasan di atas, tampak bahwa pembelian laptop bagi anggota DPR merupakan gejala dari fenomena “Tukulisme” saat ini. Tukulisme, yang mengacu pada sang presenter, adalah segala sesuatu yang berbau Tukul, terutama kalimat andalannya, Kembali ke Laptop!. Setidaknya ada tiga hal kontradiktif yang dilakukan oleh anggota DPR karena menganut paham ini.
1. Iklan vs. Kepentingan Rakyat
Laptop yang Tukul gunakan dalam acaranya adalah murni bisnis. Pengulangan kalimat “kembali ke laptop” secara implisit sebenarnya mengacu pada pabrik laptop yang menjadi sponsornya. Artinya, kalimat tersebut adalah iklan. Jika mengikuti alur ini, maka pembelian laptop DPR adalah karena alasan iklan, sementara alasan peningkatan kinerja hanyalah “rasionalisasi” dari Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR untuk menghambur-hamburkan dana.
Letak kontradiktifnya adalah, seharusnya para anggota DPR memberikan informasi yang baik kepada masyarakat. Akan tetapi, mereka justru terbuai oleh acara hiburan. Mereka pasti tahu bahwa negeri ini penuh dengan bencana dan kemiskinan. Seharusnya, anggaran pembelian laptop mereka gunakan untuk mengentaskan persoalan riil masyarakat. Justru, anggaran tersebut digunakan untuk membeli laptop yang tidak jelas manfaatnya.
2. Gaya Hidup vs. Uang Rakyat
Sebagai barang mewah, laptop juga menjadi gaya hidup (life style) bagi pemakainya. Meskipun Tukul selalu mengampanyekan citra ndeso dan kampungan, itu hanyalah “barang dagangan” dalam acaranya. Sementara itu, laptop tetaplah menjadi barang mewah. Semakin canggih dan mahal sebuah laptop, semakin kelihatan mapan orang yang membawanya. Jadi, jangan heran kalau anggaran sebuah laptop mencapai 21 juta.
Letak kontradiksinya adalah, kita bisa memaklumi jika seorang yang kaya dan mapan membawa laptop mewah ke mana-mana. Akan tetapi, ketika anggota DPR membawa laptop, bukankah laptop tersebut milik rakyat? Mereka membelinya dari uang anggaran yang notabene milik rakyat. Sangat tidak sopan jika seseorang menunjukkan gaya hidupnya dari sesuatu yang bukan miliknya.
3. Hiburan vs. Keseriusan Bernegara
Acara Tukul adalah murni acara hiburan. Dengan penuh canda tawa, ia mewawancarai para tamunya. Kadang-kadang, tema pembicaraan tidak tuntas, bahkan tidak penting. Laptop di sana hanyalah media untuk membantu melakukan lelucon. Lain halnya dengan laptop DPR. Persoalan bangsa yang luar biasa besar ini berada di pundak mereka. Mereka tidak boleh sembrono dalam bekerja. Keseriusan dalam menangani tugas mutlak mereka lakukan. Mereka tidak boleh seperti Tukul, yang menjadikan laptop hanya sebagai sarana hiburan. Kalimat Kembali ke Laptop! bagi anggota DPR seharusnya menjadi “kembali ke rakyat,” walau tanpa laptop.
Akhirnya menjadi jelas, bahwa pembelian laptop bagi anggota DPR hanyalah menghambur-hamburkan dana dan melupakan rakyat yang mereka wakili. Tidak ada korelasi sama sekali antara laptop dengan peningkatan kinerja. Kita harus cepat menolaknya. Jika anggota DPR terus-menerus menyakiti hati rakyat seperti ini, maka tak sungkan-sungkan rakyat akan mengatakan, “Puas! Puas!”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
