CM Corner
Beranda » Berita » Tragedi Jamarat dan Relevansi Pemikiran Masdar F. Mas’udi

Tragedi Jamarat dan Relevansi Pemikiran Masdar F. Mas’udi

Tragedi Jamarat dan Relevansi Pemikiran Masdar

Oleh: Masykurudin Hafidz, Alumnus Pesantren Manba’ul Ma’arif, Denanyar Jombang

SURAU.CO Tragedi itu kembali terjadi. Sebanyak 362 jemaah haji menjadi korban saat berdesak-desakan ketika hendak melempar jumrah (detik.com 13/01/06). Dalam pelaksanaan lempar jumrah, penumpukan jemaah yang luar biasa banyak pada satu waktu dan tempat yang sama selalu saja menimbulkan musibah fatal. Tragedi ini bukanlah yang pertama kali. Pada tahun 1990, sebanyak 1.426 orang tewas di terowongan Mina. Pada tahun 2004, sebanyak 244 jemaah tewas terinjak-injak di lokasi yang sama. Musibah yang terus berulang ini menunjukkan betapa pentingnya membahas Tragedi Jamarat dan Relevansi Pemikiran Masdar.

Selama ini, pemerintah Arab Saudi telah mencoba berbagai cara, mulai dari membangun pagar khusus hingga membatasi kuota haji. Akan tetapi, cara seperti ini justru tidak menyelesaikan persoalan karena bertentangan dengan dambaan umat Islam yang ingin menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Gagasan Visioner Masdar F. Mas’udi

Adalah Masdar F. Mas’udi, Ketua PBNU sekaligus Direktur P3M, yang sudah memikirkan hal ini jauh-jauh hari. Pada awal tahun 1990-an, Masdar telah memberikan usulan agar kita meninjau ulang penjadwalan penyelenggaraan haji. Beliau berpendapat, pembatasan kuota haji tidak bisa kita terima begitu saja. Sebab, secara teknis, cara itu tidak mampu mengurangi jumlah jemaah dan dari sudut syar’i pun masih mengandung masalah.

Masdar mengusulkan agar penyelenggaraan haji tidak harus berlangsung hanya pada bulan Dzulhijjah yang terbatas pada lima hari (9-13 Dzulhijjah). Dengan merujuk pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 197, “al-hajj asyhurun ma’lûmât” (waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum), beliau menegaskan bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah beberapa bulan yang sudah ditentukan, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.

Haji dalam Fathul Qorib: Perjalanan Lahir dan Batin Menuju Keikhlasan

Menurutnya, waktu pelaksanaan haji bisa kita ibaratkan dengan waktu pelaksanaan salat. Ada waktu jawaz (waktu yang dibolehkan) dan waktu afdholiyyah (waktu utama). Seseorang mungkin hanya butuh sepuluh menit untuk salat, tetapi waktu yang tersedia bisa berjam-jam. Demikian pula haji. Waktu yang boleh kita gunakan untuk berhaji adalah sepanjang tiga bulan. Sementara itu, waktu utamanya adalah tanggal 9-13 Dzulhijjah, yaitu waktu di mana Nabi Muhammad SAW menjalankan ibadah haji.

Lantas, bagaimana dengan hadis yang berbunyi “al-hajj ‘arafah” (haji itu adalah wuquf di Arafah)? Menurut Masdar, hadis ini berarti bahwa inti dari haji adalah aktivitas wuquf di Padang Arafah, bukan soal waktu. Hadis tersebut tidak membatasi bahwa wuquf harus berlangsung pada hari Arafah saja.

Relevansi Pemikiran di Tengah Tragedi

Dengan terjadinya tragedi haji yang terus berlangsung, gagasan Masdar ini seakan menemukan momentumnya kembali. Gagasan ini paling tidak menyadarkan kita untuk memikirkan ulang pelaksanaan ibadah haji yang seakan-akan menjadi ladang “pembantaian”. Gagasan Tragedi Jamarat dan Relevansi Pemikiran Masdar juga mengajarkan kepada kita bahwa ada hal-hal yang tak bisa kita elakkan untuk berubah dalam praktik kehidupan beragama. Hal-hal yang menyangkut keselamatan jiwa manusia mau tidak mau harus lebih kita utamakan daripada sekadar mengikuti tradisi.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement