CM Corner
Beranda » Berita » Keterwakilan Perempuan: Demokrasi yang Lebih Adil

Keterwakilan Perempuan: Demokrasi yang Lebih Adil

Gambar Ilustrasi Keterwakilan Perempuan
Gambar Ilustrasi Keterwakilan Perempuan

SURAU.CO – Dalam setiap lembar sejarah demokrasi Indonesia, perjuangan perempuan selalu hadir—kadang di tepi panggung, kadang di tengah sorotan. Namun hingga kini, keterwakilan perempuan di lembaga politik baru mencapai 22,5%, masih jauh dari target 30% yang telah lama diidamkan. Angka ini tidak sekadar statistik; ia mencerminkan jarak antara cita-cita kesetaraan dan realitas politik yang masih bias gender. Demokrasi yang adil bukan hanya tentang berapa banyak suara yang dihitung, tetapi juga siapa yang diberi ruang untuk berbicara dan memutuskan. Seperti pepatah lama, takkan adil jika hanya separuh dunia yang menentukan nasib seluruhnya.

Konteks ini menuntut refleksi lebih dalam: apakah demokrasi kita sudah benar-benar membuka ruang bagi separuh penduduk negeri—yakni perempuan—untuk menjadi bagian dari pengambilan keputusan? Pertanyaan itu bukan sekadar moral, melainkan juga politis. Sebab, kualitas demokrasi hanya sebaik sejauh mana ia menjamin keberagaman dalam representasi dan keadilan dalam kesempatan.

Cermin Representasi yang Retak

Pemilu 2024 mencatat peningkatan kecil dalam keterwakilan perempuan di parlemen, dari 20,5% menjadi 22,5%. Namun, angka itu masih jauh dari ambang afirmatif 30% yang telah diamanatkan oleh undang-undang dan diperjuangkan sejak awal era reformasi. Tantangan terbesar bukan lagi soal kuota, melainkan bagaimana memastikan bahwa kehadiran perempuan di ruang politik benar-benar bermakna.

Di banyak daerah, perempuan masih harus menghadapi hambatan struktural: dominasi budaya patriarkis, biaya politik yang tinggi, serta jaringan kekuasaan yang dikuasai oleh elite laki-laki. Tak jarang, calon perempuan hadir sekadar untuk memenuhi daftar administrasi, bukan sebagai aktor politik yang dipersiapkan untuk menang. Dalam situasi seperti itu, afirmasi menjadi sekadar formalitas, bukan transformasi.

Lebih jauh lagi, politik identitas dan logika elektoral yang berorientasi pada popularitas membuat perempuan kerap diposisikan sebagai vote getter—simbol citra, bukan pembuat kebijakan. Demokrasi kita, dengan demikian, masih berjalan pincang: di satu sisi membuka ruang, tapi di sisi lain masih menutup pintu bagi kesetaraan yang sejati.

Ilusi yang Menghambat Majunya Pendidikan Indonesia

Di Balik Angka: Budaya dan Struktur yang Menyandera

Akar persoalan keterwakilan perempuan tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam peran domestik. Politik sering dianggap sebagai arena keras, penuh intrik, yang tidak cocok bagi mereka yang diharapkan ‘lembut’ dan ‘penurut’. Stereotip semacam itu masih hidup dalam berbagai bentuk—mulai dari stigma terhadap perempuan ambisius, hingga prasangka bahwa keberhasilan mereka di politik selalu “berkat dukungan figur laki-laki”.

Struktur partai politik juga kerap memperkuat ketimpangan ini. Proses rekrutmen kandidat masih didominasi pertimbangan loyalitas dan kedekatan, bukan kompetensi dan keberagaman. Dukungan finansial untuk calon perempuan terbatas, dan jaringan mentorship politik masih lemah. Akibatnya, jalan menuju parlemen atau jabatan publik menjadi lebih terjal bagi perempuan.

Namun di sisi lain, kita juga menyaksikan munculnya generasi baru pemimpin perempuan yang lahir dari akar masyarakat—dari aktivis desa, akademisi, jurnalis, hingga pengusaha sosial. Mereka membawa pendekatan politik yang lebih partisipatif dan empatik. Fenomena ini memberi harapan bahwa demokrasi Indonesia sedang perlahan bergerak ke arah yang lebih inklusif, meski jalannya belum rata.

Demokrasi yang Mewakili Semua Suara

Demokrasi sejati tidak hanya diukur dari kebebasan memilih, tetapi juga dari siapa yang memiliki kesempatan untuk dipilih. Ketika perempuan hadir dalam proses politik bukan sekadar simbolik, kebijakan publik pun menjadi lebih responsif terhadap isu-isu keseharian masyarakat: kesehatan ibu dan anak, perlindungan sosial, pendidikan, hingga penghapusan kekerasan berbasis gender.

Penelitian global menunjukkan bahwa kehadiran perempuan di parlemen meningkatkan kualitas legislasi, terutama pada sektor kesejahteraan sosial dan transparansi anggaran. Di Indonesia, beberapa daerah dengan keterwakilan perempuan tinggi di DPRD menunjukkan peningkatan inisiatif kebijakan terkait pemberdayaan perempuan dan anak. Artinya, representasi bukan hanya soal keadilan, tetapi juga efektivitas pemerintahan.

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Namun, agar representasi ini benar-benar bermakna, diperlukan tiga langkah besar: pertama, memperkuat mekanisme afirmasi dengan pengawasan implementatif di tingkat partai; kedua, memastikan pendidikan politik dan literasi gender menjadi bagian dari kaderisasi politik; dan ketiga, memperluas dukungan sosial-ekonomi agar perempuan memiliki daya saing dalam arena politik yang kompetitif.

Dari Afirmasi ke Transformasi

Kebijakan afirmatif adalah pintu, bukan tujuan akhir. Kuota 30% adalah minimum, bukan puncak. Jika kita berhenti di angka itu, maka demokrasi kita akan mandek dalam simbol, bukan substansi. Yang dibutuhkan adalah transformasi kultural dan kelembagaan—perubahan cara pandang terhadap kepemimpinan perempuan, serta penataan sistem politik agar lebih adil dan transparan.

Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu dan partai politik memiliki tanggung jawab moral dan institusional. KPU, misalnya, tidak hanya memastikan keterwakilan secara administratif, tetapi juga dapat mendorong praktik inklusif melalui kampanye publik dan kolaborasi dengan masyarakat sipil. Partai politik perlu berani menempatkan perempuan di posisi strategis, bukan sekadar di daftar pelengkap.

Demokrasi yang adil menuntut kesetaraan yang nyata, bukan hanya tertulis di undang-undang. Ia memerlukan keberanian untuk mengubah budaya, membuka ruang, dan mengakui bahwa suara perempuan adalah bagian dari nalar publik bangsa.

Menyulam Keadilan dalam Demokrasi

Demokrasi tidak akan pernah utuh jika hanya separuh warga yang menentukan arah bangsa. Ibarat kain yang ditenun dengan satu tangan, hasilnya pasti rapuh dan mudah koyak. Keterwakilan perempuan bukan sekadar agenda gender; ia merupakan syarat dasar bagi keadilan sosial dan keberlanjutan politik.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Ketika perempuan diberi ruang untuk memimpin, mereka tidak hanya menghadirkan perspektif yang lebih luas, tetapi juga menumbuhkan empati, integritas, dan kepekaan dalam setiap keputusan publik. Demokrasi Indonesia akan mencapai kedewasaannya ketika perempuan tidak lagi dipandang sebagai pengecualian, melainkan menjadi bagian alami dan setara dalam kepemimpinan nasional.

Karena itu, perjuangan memperkuat keterwakilan perempuan bukanlah perjuangan perempuan saja. Ia adalah perjuangan seluruh bangsa untuk membangun demokrasi yang lebih adil, manusiawi, dan berimbang. Pada akhirnya, keadilan adalah napas yang menjaga demokrasi tetap hidup.

 

Oleh : Dewan Radaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.