CM Corner
Beranda » Berita » Desentralisasi Demokrasi: Mengapa Satu Desain Nasional Tidak Cukup

Desentralisasi Demokrasi: Mengapa Satu Desain Nasional Tidak Cukup

Ilustrasi Gambar Desentralisasi Demokrasi
Ilustrasi Gambar Desentralisasi Demokrasi

SURAU.CO – Indonesia sering berbangga diri dengan keberhasilannya menyelenggarakan pemilu serentak di ribuan pulau. Namun di balik kemegahan statistik partisipasi nasional, ada realitas yang lebih senyap: ketimpangan kinerja penyelenggara di berbagai daerah. Dari kota besar seperti Surabaya hingga pulau terpencil seperti Supiori di Papua, kualitas tata kelola pemilu menunjukkan disparitas yang tajam. Jika demokrasi diukur dari kesetaraan dalam penyelenggaraan, maka kita masih menghadapi demokrasi yang tidak merata.

Data Evaluasi Kinerja KPU Indonesia (2025) menunjukkan bahwa provinsi-provinsi di wilayah timur memiliki tingkat efisiensi anggaran dan ketepatan waktu pelaksanaan lebih rendah dibandingkan wilayah barat. Keterlambatan logistik, lemahnya kapasitas SDM, dan hambatan geografis menjadi penyebab utama. Namun, sistem manajemen pemilu kita masih berlandaskan desain nasional tunggal—yang memaksakan standar seragam untuk kondisi yang tidak seragam. Akibatnya, daerah dengan kesulitan geografis tinggi justru bekerja di bawah beban sistem yang kaku.

Ketika Sentralisasi Menjadi Penghambat

Sistem pemilu Indonesia dikelola secara sentralistik melalui pedoman teknis dan keputusan KPU pusat. Meskipun bertujuan menjaga konsistensi, sentralisasi ini sering kali mengabaikan konteks lokal. KPU daerah memiliki ruang terbatas untuk berinovasi atau menyesuaikan strategi dengan karakteristik wilayahnya. Di Papua, misalnya, model distribusi logistik yang bergantung pada pesawat dan jalur laut tidak dapat disamakan dengan Jawa atau Sumatra. Namun, mekanisme anggaran dan perencanaan tetap menggunakan format nasional yang baku.

Laporan Evaluasi Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 (DKPP dan Bawaslu, 2025) menyebutkan bahwa lebih dari 30% kendala lapangan berasal dari lemahnya fleksibilitas kebijakan teknis. Contohnya, pengiriman logistik di Supiori gagal tiba tepat waktu karena cuaca buruk, sementara regulasi tidak memberi ruang untuk skema cadangan lokal. Sebaliknya, Kutai Kartanegara berhasil menyelenggarakan pemilu secara efisien karena daerah tersebut menerapkan koordinasi yang adaptif dan menggunakan logistik mandiri.

Sentralisasi yang berlebihan membuat kebijakan pemilu tidak responsif terhadap kebutuhan daerah. Menurut teori polycentric governance Elinor Ostrom, tata kelola publik yang efektif memerlukan banyak pusat keputusan yang saling terhubung tetapi tetap otonom. Artinya, Indonesia tidak bisa mengelola demokrasi dengan satu komando tunggal, melainkan dengan jaringan koordinasi yang memungkinkan penyesuaian lokal tanpa meninggalkan arah nasional.

Ilusi yang Menghambat Majunya Pendidikan Indonesia

Demokrasi yang Menyesuaikan, Bukan Menyeragamkan

Pemilu Indonesia seharusnya mencerminkan karakter geografis bangsa: luas, beragam, dan adaptif. Dalam konteks ini, desentralisasi tidak berarti kehilangan kendali, tetapi mendorong daerah untuk mengambil keputusan sesuai konteks lokal. Sistem seperti ini memberi peluang bagi daerah untuk berinovasi dalam pendidikan pemilih, manajemen logistik, dan pemanfaatan teknologi informasi tanpa menunggu persetujuan bertingkat dari pusat.

Kita bisa belajar dari India. Election Commission of India menggunakan model adaptive regional management, di mana setiap negara bagian memiliki otonomi terbatas untuk menyesuaikan mekanisme pemilu berdasarkan kondisi setempat—mulai dari infrastruktur hingga keamanan. Namun, semua negara bagian tetap berpegang pada nilai yang sama: transparansi, partisipasi, dan integritas. Hasilnya, efisiensi meningkat tanpa mengorbankan prinsip nasional.

Indonesia dapat menerapkan pendekatan serupa melalui kebijakan electoral regionalization—yakni desentralisasi terbatas dalam kerangka nasional. KPU pusat memegang prinsip dan pengawasan, sementara KPU provinsi mendapatkan keleluasaan untuk menentukan skema operasional sesuai karakteristik daerah. Dalam praktiknya, kebijakan ini dapat berjalan melalui model anggaran berbasis kapasitas daerah dan indeks kesulitan geografis. Daerah dengan medan berat dan akses terbatas bisa memperoleh fleksibilitas lebih besar dalam alokasi dana, jadwal distribusi, dan penggunaan teknologi alternatif.

Anggaran yang Adil untuk Kondisi yang Tidak Sama

Salah satu tantangan terbesar desentralisasi demokrasi adalah memastikan keadilan dalam pembagian sumber daya. Selama ini, alokasi anggaran pemilu masih mengikuti formula linear yang tidak mempertimbangkan kompleksitas wilayah. Padahal, mengirim satu kotak suara ke pelosok Papua bisa menelan biaya sepuluh kali lipat dibandingkan distribusi di kota besar. Jika logika efisiensi menjadi dasar tunggal, maka daerah dengan kesulitan ekstrem akan selalu tertinggal.

Oleh karena itu, desain kebijakan ke depan harus mengadopsi context-sensitive budgeting—pendekatan yang menyesuaikan anggaran dengan variabel kapasitas, risiko, dan geografis. Dengan demikian, desentralisasi bukan hanya soal pembagian kewenangan, tetapi juga pemerataan kemampuan untuk menjamin kualitas demokrasi. Prinsip ini sejalan dengan konsep equity in electoral governance, yang menegaskan bahwa keadilan dalam pemilu tidak berarti perlakuan yang sama, tetapi perlakuan yang setara sesuai kebutuhan.

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Demokrasi dari Pusat ke Pinggiran

Desentralisasi demokrasi menuntut perubahan cara pandang: dari pusat yang mengatur ke daerah yang berdaya. Sebab demokrasi yang terlalu tersentralisasi hanya melahirkan keseragaman tanpa makna. Ketika daerah diberi ruang untuk menyesuaikan diri, mereka bukan sedang keluar dari sistem, melainkan memperkuatnya. Karena sejatinya, kekuatan demokrasi Indonesia bukan pada keseragaman pelaksanaannya, tetapi pada kemampuannya memelihara keadilan di tengah keberagaman.

Demokrasi yang baik bukan hanya mampu menyelenggarakan pemilu di semua wilayah, tetapi juga memastikan setiap warga—dari Kutai hingga Supiori—memiliki kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih dalam kondisi yang bermartabat. Satu desain nasional mungkin efisien di atas kertas, tapi tidak selalu adil di lapangan. Maka, tugas kita bukan lagi sekadar menjaga keseragaman prosedur, melainkan memastikan pemerataan makna: bahwa suara di pulau terluar sama berharganya dengan suara di ibu kota.

 

Oleh: Dewan Redaksi

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.