SURAU.CO – Di setiap pesta demokrasi, suara rakyat selalu diagungkan sebagai manifestasi kedaulatan tertinggi. Namun di balik gegap gempita pemungutan suara, ada sebagian warga negara yang masih tertinggal dalam perayaan tersebut. Mereka adalah para penyandang disabilitas. Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjamin hak politik mereka, praktik di lapangan sering kali berbicara lain.
Pemilu 2024 memperlihatkan betapa demokrasi kita belum sepenuhnya inklusif. Di beberapa TPS, pemilih tunanetra harus memegang tangan petugas untuk menemukan bilik suara. Sementara penyandang disabilitas fisik masih kesulitan mengakses tempat pemungutan karena desain lokasi yang tidak ramah kursi roda.
Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) berulang kali menegaskan pentingnya standardisasi aksesibilitas di setiap TPS. Namun komitmen itu belum menjadi kesadaran menyeluruh.
Peran PPDI dan Akses yang Masih Tersendat
PPDI, sebagai organisasi payung bagi penyandang disabilitas di Indonesia, memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak pilih kelompok ini. Pada Pemilu 2024, PPDI melaporkan berbagai kendala struktural. Hal ini mulai dari data pemilih disabilitas yang tidak akurat hingga keterbatasan pelatihan petugas KPPS dalam melayani pemilih berkebutuhan khusus.
Berdasarkan laporan Universitas Andalas (2024), banyak daerah yang belum memenuhi fasilitas aksesibilitas minimal. Kondisi ini misalnya seperti jalur landai, alat bantu surat suara braille, atau bilik khusus yang mudah dijangkau. Situasi ini menunjukkan adanya jurang antara regulasi dan implementasi. Kondisi tersebut memperlihatkan bagaimana partisipasi politik belum didesain untuk menampung seluruh spektrum warga negara.
PPDI tak hanya menyoroti aspek fisik, tetapi juga dimensi sosial dan kultural dari inklusivitas. Sebagian besar masyarakat dan petugas masih memandang pemilih disabilitas sebagai ‘penerima bantuan’, bukan subjek politik yang memiliki hak setara. Paradigma ini memperkuat eksklusi simbolik—ketika demokrasi tampak terbuka, namun dalam praktiknya masih menyisakan pintu yang berat untuk didorong.
Hambatan Struktural dan Citra KPU
KPU sebagai penyelenggara pemilu tentu memegang peranan utama dalam memastikan inklusivitas. Namun, laporan Evaluasi Kinerja KPU 2024 menunjukkan masih banyak hambatan struktural yang belum teratasi. Misalnya, koordinasi antara KPU pusat dan daerah yang belum seragam dalam pendataan pemilih disabilitas. Di beberapa daerah, data pemilih disabilitas bahkan tidak terintegrasi dengan data kependudukan nasional (BPS). Sehingga banyak yang terlewat dari daftar pemilih tetap (DPT). Padahal, asas “umum” dalam prinsip LUBER JURDIL menegaskan bahwa setiap warga negara yang memenuhi syarat memiliki hak yang sama untuk memilih.
Masalah lain muncul dari minimnya pelatihan petugas ad hoc (KPPS) terkait pelayanan pemilih disabilitas. Banyak petugas yang tidak memahami cara memandu pemilih tunanetra tanpa melanggar prinsip kerahasiaan suara. Lebih jauh lagi, bagaimana membantu penyandang disabilitas intelektual dalam menyalurkan hak pilih tanpa intervensi. Dalam kacamata teori equal political participation, ketidaksiapan ini menciptakan structural inequality—ketimpangan yang bukan berasal dari niat buruk, tetapi dari sistem yang belum dirancang secara adil.
Survei CSIS (2024) juga menunjukkan kepercayaan pemilih muda terhadap KPU hanya berada di angka 75,1%. Jika kelompok yang paling adaptif terhadap teknologi saja menunjukkan kepercayaan yang menurun. Dengan demikian, maka kelompok disabilitas yang menghadapi hambatan fisik dan sosial tentu lebih rentan kehilangan keyakinan terhadap institusi penyelenggara pemilu.
Inclusive Democracy dan Makna Kesetaraan Partisipasi
Dalam literatur inclusive democracy yang diperkenalkan oleh Takis Fotopoulos, demokrasi sejati tidak berhenti pada jaminan formal untuk memilih, tetapi pada kemampuan substantif setiap individu untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Prinsip ini berkelindan dengan konsep equal political participation yang menekankan kesetaraan hasil, bukan sekadar kesetaraan kesempatan. Dalam konteks pemilu Indonesia, penerjemahan prinsip ini masih terhambat oleh dua hal: pertama, orientasi kebijakan yang masih bersifat seremonial; kedua, lemahnya akuntabilitas dalam pelaksanaan teknis.
KPU memang telah menyediakan beberapa instrumen seperti template braille dan sosialisasi pemilu inklusif, namun langkah ini belum diimbangi dengan evaluasi berbasis pengalaman pemilih disabilitas. Alih-alih menilai keberhasilan dari jumlah fasilitas yang disediakan, seharusnya KPU mengukur kualitas pengalaman memilih—apakah pemilih disabilitas merasa aman, mandiri, dan dihormati dalam prosesnya. Di sinilah esensi inclusive democracy: menciptakan ruang partisipasi yang tidak hanya terbuka, tetapi juga memberdayakan.
Jalan Menuju Demokrasi Inklusif: Dari Regulasi ke Realitas
Untuk mewujudkan demokrasi inklusif memerlukan reformasi di tiga level: kebijakan, kelembagaan, dan kultural.
Pertama, dari sisi kebijakan, perlu dilakukan standardisasi nasional tentang fasilitas aksesibilitas di setiap TPS. Regulasi sebaiknya tidak berhenti pada instruksi umum, tetapi disertai indikator kuantitatif—misalnya, setiap TPS wajib memiliki jalur landai dengan kemiringan tertentu, atau menyediakan surat suara braille minimal sesuai jumlah pemilih tunanetra di wilayah tersebut. KPU juga dapat mengadopsi model accessibility audit seperti yang dilakukan di Kanada dan Australia, di mana lembaga independen menilai kesiapan lokasi pemungutan suara sebelum hari H.
Kedua, dari aspek kelembagaan, KPU perlu mengembangkan unit khusus yang fokus pada inklusi pemilih rentan, termasuk penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok minoritas lainnya. Unit ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi strategis—mengkaji data, melatih petugas, serta melakukan monitoring di lapangan. Dalam jangka panjang, KPU harus bertransformasi dari lembaga administratif menjadi lembaga pembelajar (learning institution) yang menjadikan pengalaman pemilih disabilitas sebagai dasar perbaikan sistemik.
Ketiga, dari dimensi kultural, perlu diubah cara pandang masyarakat terhadap pemilih disabilitas. Edukasi politik inklusif harus menjadi bagian dari kurikulum kewarganegaraan di sekolah dan kampus. Melalui pendekatan civic empowerment, masyarakat diajak memahami bahwa menghormati hak pilih penyandang disabilitas bukanlah belas kasihan, melainkan pengakuan atas kesetaraan martabat warga negara.
Demokrasi yang Berdaya, Bukan Sekadar Berbilang
Kualitas demokrasi tidak diukur dari seberapa banyak suara dihitung, melainkan seberapa banyak yang didengarkan. Selama sebagian warga masih harus berjuang keras hanya untuk bisa memilih, demokrasi kita belum selesai menunaikan janjinya. Dalam konteks ini, perjuangan PPDI dan kelompok masyarakat sipil bukanlah tuntutan sektoral, melainkan panggilan moral bagi bangsa yang mengaku demokratis.
KPU memiliki peluang besar untuk menjadikan Pemilu 2029 sebagai momentum transformasi menuju demokrasi yang benar-benar inklusif. Dengan memperkuat data, memperbaiki pelatihan, dan menegakkan standardisasi aksesibilitas, Indonesia bisa beranjak dari demokrasi prosedural menuju demokrasi yang berkeadilan. Karena sejatinya, hak untuk memilih bukanlah hadiah dari negara, melainkan bukti bahwa setiap warga—tanpa kecuali—adalah pemilik sah dari republik ini.
Oleh: Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
