CM Corner
Beranda » Berita » Pemilu dan Kesehatan Demokrasi: Dari Legitimasi ke Substansi

Pemilu dan Kesehatan Demokrasi: Dari Legitimasi ke Substansi

Ilustrasi Gambar CM Corner
Pemilu dan Kesehatan Demokrasi: Dari Legitimasi ke Substansi

SURAU.CO – Demokrasi, sebagaimana diungkapkan Alexis de Tocqueville, bukan sekadar soal siapa yang memerintah. Demokrasi juga menyangkut bagaimana kekuasaan dijalankan dengan legitimasi moral dan kepercayaan publik. Dalam konteks Indonesia, Pemilu 2024 kembali memperlihatkan dua sisi demokrasi kita. Secara prosedural tampak berjalan baik, tetapi secara substansial masih menunjukkan banyak kerentanan.

Demokrasi Elektoral: Barometer Kesehatan Bangsa

Pemilu bukan sekadar pesta lima tahunan yang memadati kalender politik; ia adalah indikator vital bagi kesehatan demokrasi. Laporan Buku Pintar Pemilu dan Demokrasi KPU (2025) menegaskan bahwa pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL). Hal ini merupakan syarat utama demokrasi yang sehat. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Indikator Politik Indonesia (2024), tingginya angka partisipasi dan kepuasan publik belum tentu mencerminkan kualitas substantif.

Survei Indikator menunjukkan 82% publik puas terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024. Namun, kepuasan ini ternyata sangat dipengaruhi oleh pilihan politik—91% pemilih pasangan Prabowo-Gibran menyatakan puas, sementara hanya 69% pemilih Anies-Muhaimin yang memiliki pandangan serupa. Angka ini memperlihatkan bahwa persepsi legitimasi sering kali dikaburkan oleh bias pemenang (winner’s bias). Alih-alih menjadi hasil evaluasi objektif atas kualitas kelembagaan atau prosedural. Demokrasi yang sehat tidak semestinya bergantung pada siapa yang menang, tetapi bagaimana semua pihak bisa percaya terhadap proses yang berjalan.

Dari Legitimasi ke Substansi

Samuel P. Huntington membedakan demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Demokrasi prosedural menekankan mekanisme pemilihan, sementara demokrasi substansial menuntut hadirnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, partisipasi yang bermakna, dan akuntabilitas kekuasaan. Indonesia tampaknya masih terjebak di persimpangan keduanya. Pemilu berjalan, tetapi substansi demokrasi belum selalu menyertai.

Kegagalan sistem teknologi Sirekap pada Pemilu 2024 menjadi contoh konkret. Sistem yang dirancang untuk meningkatkan transparansi justru menimbulkan krisis kepercayaan publik. Hal ini karena anomali pembacaan data (DPR RI, Data Anomali Sirekap, 2024). Di sinilah terlihat bahwa demokrasi digital tidak bisa hanya diukur dari inovasi teknologi, tetapi juga dari kesiapan kelembagaan dan etika pengelolaannya. Legitimasi elektoral yang sejati lahir bukan dari ketiadaan protes, melainkan dari kehadiran mekanisme koreksi yang terbuka, transparan, dan dipercaya.

Menata Ulang Arsitektur Regulasi: UU Pemilu dan Tantangan Adaptasi Teknologi

Demokrasi dalam Ketegangan: Formalitas vs Integritas

KPU sebagai Election Management Body memiliki peran yang melampaui sekadar administrasi. Ia adalah penjaga moral demokrasi, tempat kepercayaan rakyat bersandar. Namun, sebagaimana ditulis dalam Jurnal DPR RI (2021) dan laporan DKPP (2024), independensi dan imparsialitas penyelenggara masih menjadi pekerjaan rumah besar. Kasus pelanggaran etik yang hanya berujung pada “peringatan keras terakhir” menggambarkan betapa integritas sering kali direduksi menjadi formalitas.

Kelelahan institusional juga tampak dalam tragedi kemanusiaan di tubuh badan ad hoc penyelenggara. Pada Pemilu 2024, 181 petugas meninggal dunia dan 4.770 lainnya sakit atau mengalami kecelakaan kerja (DPR RI, Info Singkat Gugurnya Petugas, 2024). Angka ini memang menurun dari 2019, tetapi tetap menjadi noda dalam catatan demokrasi elektoral kita. Demokrasi yang memakan korban dari para pelaksananya menandakan sistem yang tidak berkelanjutan. Sebagaimana disinggung Komisi II DPR RI, perbaikan yang dibutuhkan bukan kosmetik administratif, melainkan restrukturisasi siklus kerja dan penyederhanaan desain pemilu.

Menguji Kedewasaan Sistem

Dalam teori democratic consolidation, Guillermo O’Donnell menekankan pentingnya lembaga yang mampu menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dalam perilaku kesehariannya, bukan hanya dalam peraturan formal. Pemilu 2024 memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia masih dalam fase electoralism—demokrasi yang berhenti pada bilik suara, tanpa memperluas makna partisipasi ke ranah deliberatif dan etis.

Sebagian besar survei memperlihatkan kepercayaan publik terhadap KPU di kalangan muda berada di angka 75,1% (CSIS, 2023). Angka ini patut diapresiasi, tetapi sekaligus menjadi alarm: generasi yang paling melek digital justru yang paling skeptis terhadap lembaga penyelenggara. Ini menunjukkan adanya jurang antara modernisasi prosedural dan substansi nilai demokrasi yang dirasakan publik.

Membangun Demokrasi yang Sehat: Dari Legitimasi ke Etika Publik

Untuk menyehatkan demokrasi, reformasi tidak cukup hanya mengutak-atik regulasi pemilu. Ia harus menyentuh tiga dimensi: hukum, etika, dan kelembagaan. Pertama, hukum pemilu harus direvisi untuk memperjelas kedudukan teknologi seperti Sirekap dan memperkuat sanksi bagi pelanggaran etik penyelenggara. Kedua, etika publik harus menjadi roh dalam setiap tahap pemilu, sebagaimana prinsip normative accountability yang menuntut kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab moral. Ketiga, kelembagaan harus dibangun dengan orientasi keberlanjutan—melalui pelatihan, desentralisasi adaptif, dan evaluasi lintas siklus pemilu.

Mengelola Pemilu Sebagai Sistem, Bukan Acara Lima Tahunan

Kualitas demokrasi diukur bukan hanya dari berapa banyak yang datang ke TPS, tetapi dari sejauh mana hasilnya dirasa adil dan dapat dipercaya. Demokrasi yang sehat tidak berhenti pada legitimasi elektoral, tetapi tumbuh melalui pembelajaran, koreksi, dan keinsafan bersama. Sebab, seperti kata Vaclav Havel, “Demokrasi bukanlah surga, tetapi kesempatan untuk memperbaiki diri.”

Demokrasi yang Belum Pulih

Indonesia hari ini sedang berada di titik rawan antara legitimasi dan substansi. Pemilu berjalan sukses di permukaan, tetapi di bawahnya, kepercayaan publik masih rapuh, integritas penyelenggara masih diuji, dan kelelahan institusional semakin terasa. Bila demokrasi diibaratkan tubuh, maka Pemilu 2024 menunjukkan bahwa denyut nadinya masih ada—namun tekanan darahnya tak stabil. Ia hidup, tapi belum sepenuhnya sehat.

Menjaga kesehatan demokrasi bukan tugas lima tahunan, melainkan tanggung jawab lintas generasi. Dari reformasi etik hingga desain kelembagaan, dari ruang TPS hingga ruang publik digital, tugas kita adalah memastikan demokrasi tidak sekadar hidup—tetapi tumbuh, berdaya, dan bermartabat.

 

Oleh : Dewan Redaksi

Menjaga Demokrasi dari Kelelahan Institusional


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement