SURAU.CO. Nama Abu Dzar al-Ghifari menempati posisi istimewa dalam sejarah panjang peradaban Islam. Umat mengenalnya bukan sekadar sebagai sahabat Nabi Muhammad Saw. Ia adalah simbol keteguhan hati dan penjaga nurani umat yang paling vokal. Sosoknya mengajarkan kita satu hal penting. Kekuatan seorang mukmin tidak terletak pada harta benda atau jabatan duniawi. Kekuatan sejati justru bersumber dari keberanian menyuarakan kebenaran, meskipun harus berdiri sendirian menentang arus zaman.
Cahaya Tauhid dari Suku Perampok
Latar belakang kehidupan Abu Dzar al-Ghifari sangatlah unik. Ia lahir dengan nama asli Jundub bin Junadah. Keluarganya berasal dari suku Ghifar yang memiliki reputasi cukup menyeramkan di Jazirah Arab. Orang-orang mengenal suku Ghifar sebagai kabilah yang keras karena sering terlibat dalam aksi perampokan kafilah dagang.
Namun, Jundub tumbuh menjadi antitesis dari lingkungannya. Allah Swt menjaga hatinya dari keburukan kaumnya. Ia tidak pernah sudi menyembah berhala dan keyakinannya sangat kuat bahwa Tuhan itu Esa. Jiwa tauhid ini sudah tumbuh subur dalam dadanya jauh sebelum cahaya Islam menyapanya. Ia meninggalkan perilaku brutal sukunya dan memilih menjadi pencari kebenaran sejati dengan mengikuti suara hati nuraninya yang bersih.
Perjalanan Abu Dzar Menjemput Hidayah
Suatu hari, kabar besar sampai ke telinganya. Berita itu menyebutkan kemunculan seorang Nabi di kota Makkah. Hatinya bergetar mendengar kabar tersebut. Abu Dzar tidak mau menelan informasi mentah-mentah. Ia memutuskan untuk membuktikannya sendiri dengan menempuh perjalanan jauh seorang diri menuju Makkah. Tekadnya bulat untuk menemui sosok pembawa risalah tersebut.
Takdir mempertemukannya dengan Ali bin Abi Thalib setibanya di Makkah. Ali kemudian membawanya ke hadapan Rasulullah Saw. Pertemuan itu menjadi momen paling bersejarah dalam hidupnya. Hatinya langsung luluh melihat keagungan akhlak Nabi hingga ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Keislaman Abu Dzar al-Ghifari membawa warna baru. Keberaniannya sangat luar biasa. Nabi sempat menyarankan agar ia menyembunyikan keislamannya demi keselamatan dengan memintanya kembali ke kampung halamannya sementara waktu. Namun, gejolak iman di dadanya tak bisa ia bendung.
Abu Dzar justru melakukan hal nekat. Ia pergi ke depan Ka’bah bahkan berteriak lantang mengumumkan keislamannya di hadapan pemuka Quraisy. Akibatnya orang-orang Quraisy memukulinya tanpa ampun dan hampir saja mati hari itu jika tidak ada yang menolong. Peristiwa ini menunjukkan karakter aslinya sebagai sosok yang tidak akan pernah menyembunyikan kebenaran, apapun risikonya.
Hidup Zuhud Abu Dzar dan Ramalan Rasulullah
Abu Dzar kemudian hijrah ke Madinah dan menjadi pengikut setia Nabi. Ia memilih gaya hidup yang sangat sederhana atau zuhud. Ia menolak menumpuk harta duniawi.
Rasulullah sangat memahami karakter unik sahabatnya ini. Beliau pernah menyampaikan sebuah nubuat tentang masa depan Abu Dzar. Rasulullah bersabda kepadanya: “Engkau hidup sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.”
Kalimat Nabi itu bukan kutukan, melainkan penegasan tentang kemurnian jalan hidup Abu Dzar, seorang yang memilih kejujuran meski harus berjalan sendirian. Zuhudnya bukan pelarian dari realitas, tetapi wujud kepedulian mendalam terhadap nasib orang kecil. Ia teguh memegang ayat-ayat Al-Qur’an yang mengecam penimbunan harta, sebab baginya kekayaan tidak boleh menjelma menjadi berhala baru yang menyesatkan umat.
Suara Kritis di Tengah Gelimang Harta
Zaman berganti setelah Rasulullah wafat. Wilayah Islam semakin luas dan kekayaan mulai melimpah. Abu Dzar melihat fenomena yang mengkhawatirkan. Sebagian orang mulai berlomba-lomba menumpuk kekayaan. Ia tampil sebagai pengingat yang tegas.
Suaranya lantang mengkritik penumpukan harta. Ia mengingatkan para pemimpin dan orang kaya. Harta harus berputar dan tidak boleh berhenti di tangan segelintir elit saja. Keadilan sosial adalah ruh ajaran Islam yang ia perjuangkan. Sikap kritis ini tentu membuat gerah banyak pihak. Kata-katanya tajam menembus jantung persoalan.
Situasi politik yang memanas membuatnya mengambil keputusan besar. Ia memilih menyingkir dari hiruk pikuk kota. Ia pindah ke Rabdzah, sebuah permukiman sunyi di sebelah timur Madinah. Di sana Ia mematangkan spiritualitasnya dan menjadi guru hikmah bagi para musafir yang lewat di padang pasir tersebut.
Akhir Hayat Abu Dzar dan Kebenaran Nabi
Hari-hari sepi menemaninya hingga ajal menjelang. Abu Dzar al-Ghifari wafat pada bulan Dzulhijjah. Sejarawan mencatat peristiwa ini terjadi pada tahun 31 atau 32 Hijriah. Ia mengembuskan napas terakhir di Rabdzah, sekitar 170 kilometer dari Madinah. Kematiannya benar-benar sunyi seperti prediksi Nabi. Hanya istri dan putrinya yang mendampingi saat sakaratul maut.
Abu Dzar pergi dengan kesederhanaan yang total. Namun, warisannya abadi hingga abad modern. Ia meninggalkan pelita moral yang tak pernah padam. Kisahnya mengajarkan kita tentang arti integritas dan spiritualitas sejati yang harus sejalan dengan pembelaan terhadap kaum lemah.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
