Oleh: Nur Fuad*
Catatan seorang warga NU biasa, petani, santri alumni pesantren di Jombang, dan Banser di masa Muktamar NU Cipasung
Sebuah Kegelisahan dari Petani dan Banser
Saya bukan orang pintar, bukan penggede, bukan ahli nulis. Saya cuma orang kampung. Bangun subuh, ngimami di musholla, lalu ke sawah sampai badan penuh lumpur. Tapi saya belajar adab dari kiai. Kalau bicara soal ulama dan NU, hati harus lurus dan kepala jangan panas duluan.
Belakangan ini NU lagi rame “ontran-ontran.” Ada yang minta Gus Yahya mundur, ada yang bilang NU diseret keluar jalur. Di media sosial ribut, di warung kopi debat, di grup whatsapp ada yang keras-keras sampai lupa salam.
Jujur saja, sebagai orang biasa saya cuma tanya, “NU ini mau jadi jam’iyah besar yang tertib atau tetap jadi kerumunan yang gampang digembosi kepentingan?”
Karena saya sudah lihat pola seperti ini dari dulu, mulai zaman PBNU masih di bawah Gus Dur, sampai Muktamar Cipasung, sampai sekarang. Dan maaf, saya harus bilang, baca tulisan yang beredar di medsos ini lebih kelihatan membela orang, bukan menjaga NU.
Saya baca tulisan medsos tadi. Banyak yang manis bahasanya, rapi kata-katanya. Tapi rasanya lebih kayak kampanye pembenaran langkah PBNU, bukan refleksi kritis untuk NU.
NU itu bukan milik satu ketua. NU milik jamaah, milik para kiai, milik tradisi yang jauh lebih tua dari kursi organisasi. Kalau kritik dianggap ancaman, kalau suara rakyat kecil dianggap “gangguan”, ya apa bedanya NU dengan partai politik atau kerajaan dinasti?
NU itu dibangun bukan oleh aturan saja, tapi oleh akhlak. Kalau aturan jadi tameng, sementara akhlak hilang, maka sistem sebesar apapun cuma akan menghasilkan organisasi rapi di permukaan, tapi kehilangan ruh.
Menghidupkan Gus Dur: Antara Retorika dan Realita
Gus Yahya mungkin sering mengatasnamakan Gus Dur tapi gaya memimpin Gus Yahya jauh dari Gus Dur. Kalimat “Menghidupkan Gus Dur” terdengar bagus. Tapi saya masih ingat, dulu Gus Dur diminta mundur dari jabatan presiden pun diam dan senyum, tidak memobilisasi kekuatan, tidak pasang barisan, tidak memanggil kiai untuk menunjukkan dukungan. Bahkan melarang kami bergerak dari Jawa Timur padahal sudah dekat Jakarta.
Gus Dur berkata, “Kalau Indonesia ribut, pecah karena saya, lebih baik saya pergi.”
Hari ini?
Yang terjadi malah kebalikannya. Ada kritik, ada evaluasi, tiba-tiba Rais Aam dianggap melawan organisasi.
Kalau benar mengikuti Gus Dur, harusnya bukan cuma jualan retorika, tapi juga ikuti cara beliau menghadapi perbedaan dan kritik. Gus Dur hadir saat warga Kedung Ombo dihajar tentara. Gus Dur bersama petani Batang ketika harga-harga pertanian jatuh. Gus Dur membela petani cengkeh ketika harga mereka diinjak-injak pengusaha besar yang di bekingi penguasa Gus Dur hadir bersama petani tebu di banyak daerah bukan hanya di Jawa bahkan sampai ke Sumatra. Saya bisa tunjukan satu-satu! Masih banyak yang bisa bersaksi!
Saya siap bersaksi. Gus Dur hadir bersama warga!
Sekarang, “Menghidupkan Gus Dur” itu apanya? Di mana Ketua Umum Tanfidziyah sewaktu para petani bentrok dengan aparat soal tanah? Di mana para pengurus Tanfidziyah NU dari pengurus besar sampai kabupaten ketika para nelayan ditembaki? Ke mana mereka ketika kami para petani singkong di cekik karena ongkos produksi lebih gede dari nilai jual? Modal habis. Petani hidup dari hutang!
Bukankah warga NU itu tahlil, qunut, yasinan, dan tawasulan? Warga yang dicekik kesulitan itu nahdliyyin yang taat mengamalkan amaliyah NU. Apa pembelaan Ketua Umum PBNU terhadap petani dan nelayan?
Katanya NU hebat ketumnya bisa melobby zionis israel? Kenapa tiarap, mbudeg ketika harus membela warga?
Struktur Kaku yang Mengancam Ruh Jam’iyah
Gembar-gembor 1 abad NU sedang dibawa ke struktur modern. Justru NU tidak seharusnya kaku. Hidupkanlah ruh jam’iyahnya yang makin hilang. saya tidak anti aturan. Tapi ketika aturan dipakai kayak palu godam membungkam suara warga NU, bukan penataan tapi penyingkiran warga NU oleh Ketua Umum
Cinta Indonesia, [27/11/2025 11:07] NU itu hidup karena tabarrukan kepada kiai, kelembutan tradisi pesantren, musyawarah tidak bicara satu arah, dan kebijaksanaan sepihak seolah-olah yang datang dari pengurus besar pasti benar.
Kalau sekarang semua dipatok seperti kantor kementerian, dimana ruang kultural digantikan rapat formal dan format elektronik, maka saya khawatir nanti NU akan lengkap secara struktur, tapi kosong secara ruhani.
Aset Termahal NU: Kepercayaan, Bukan Jabatan
Nah, yang dirusakkan bukan sekadar tata organisasi tapi rasa percaya jamaah. Hal paling mahal dalam NU bukan jabatan, bukan struktur, bukan gedung PBNU, tapi kepercayaan masyarakat kecil.
Orang kampung ikut NU bukan karena AD/ART. Mereka ikut NU karena percaya, di NU ada adab, ada keikhlasan, ada barokah. Sekarang yang mereka lihat, rebutan posisi, saling jatuhkan, klaim merasa paling benar, saling tuduh tidak sah.
Mau disembunyikan dengan kata-kata manis dan indah apapun, rakyat sudah baca ada sesuatu yang tidak beres.
Hampir sebagain besar hidup saya bersama NU. Bahkan sebelum dilahirkan. NU tidak butuh pemimpin yang ingin dikenang, NU butuh pelayan yang siap dilupakan.
Dalam masa saya aktif sebagai Banser kami diajari, “Jadilah benteng ahlusunnah wal jamaah, bukan penguasa. Jadilah pelayan umat, bukan menguasai jamaah.”
Kalau jabatan membuat orang keras mendengar kritik dan sibuk mengamankan kursi, maka petani seperti saya bisa bilang, NU tak sedang dibangun tapi sedang dipagari nafsu duniawi.
Seruan untuk Muhasabah, Bukan Saling Menang
Saya tidak membenci Gus Yahya. Sama sekali tidak. Saya tidak membenci siapapun di PBNU. Tapi saya ingin mengingatkan dengan cara rakyat biasa bahwa NU akan selamat bukan karena ketua kuat atau struktur ketat, tapi karena adab, ikhlas, dan doa para masyayikh yang menjaga NU sejak sebelum kita lahir.
Kalau hari ini NU berguncang, bukan karena orang ingin menjatuhkan NU, tapi karena orang takut NU sedang menjauh dari watak aslinya yang membumi bersama rakyat. Bersama petani dan nelayan. Membantu para masakin dan orang-orang kecil yang butuh pertolongan.
Dan kalau tulisan saya ini salah, saya siap ditegur. Tapi kalau benar… Ya semoga dibaca mereka yang duduk di kursi tinggi sebelum Allah yang tegur. Sebaiknya hentikan saling menyalahkan. Saatnya muhasabah, introspeksi, koreksi dan perbaiki diri.
Kalau mau asal menang menangan, tempatnya bukan di NU tapi ring tinju.
Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq.
*Nur Fuad, kader NU, petani singkong dan cokelat di Lampung, Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang, Banser NU “Pasukan Kobra” Jawa Timur dalam pengamanan khusus Muktamar NU di Cipasung.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
