Khazanah
Beranda » Berita » Dari Utsman ke Ali: Dinamika Politik dan Etika Kekuasaan di Era Khulafaur Rasyidin

Dari Utsman ke Ali: Dinamika Politik dan Etika Kekuasaan di Era Khulafaur Rasyidin

Ilustrasi realistik transisi kepemimpinan dari Utsman ke Ali di masa Khulafaur Rasyidin.

Surau.co. Transisi kepemimpinan dari Utsman bin Affan menuju Ali bin Abi Thalib menjadi salah satu fase paling menentukan dalam sejarah politik Islam. Periode ini menampilkan dinamika kekuasaan yang tajam: mulai dari gejolak sosial, ketegangan politik, hingga konflik internal yang mengguncang fondasi masyarakat Muslim. Namun, di balik turbulensi itu, tersimpan pelajaran abadi tentang etika kepemimpinan, keteguhan moral, dan keberanian mengambil keputusan yang sulit. Pembahasan tentang dari Utsman ke Ali bukan sekadar kajian sejarah politik, tetapi refleksi tentang bagaimana nilai-nilai Qur’ani dan teladan Nabi tetap dijaga dalam pusaran krisis.

Allah ﷻ berfirman:

﴿ الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ﴾
Orang-orang yang apabila diberi kekuasaan di muka bumi, mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemunkaran.” (QS. Al-Hajj: 41)

Ayat ini menjadi landasan teologis yang tampak nyata dalam kepemimpinan dua sosok besar ini: Utsman dengan sifat lembutnya dan Ali dengan ketegasan ilmunya. Keduanya menghadirkan etika kekuasaan yang patut diteladani lintas generasi.

Kepemimpinan Utsman bin Affan: Musyawarah, Kelembutan, dan Ujian Politik

Pada masa Utsman, Dinasti Muslim berada dalam fase ekspansi dan konsolidasi. Sebagai khalifah ketiga, Utsman tampil dengan karakter lembut, tenang, dan penuh kasih. Sifat ini tak terlepas dari pujian langsung Nabi Muhammad ﷺ. Nabi bersabda:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

« أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي عُثْمَانُ »
Sosok paling penyayang terhadap umat ini adalah Utsman.” (HR. Tirmidzi)

Kelembutan tersebut memengaruhi gaya kepemimpinan Utsman, terutama dalam mengutamakan dialog, konsultasi, serta keberanian untuk menahan diri dari kekerasan, meski situasi politik memanas. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa kekuasaan bukan sekadar otoritas, tetapi amanah moral yang menuntut kesabaran panjang.

Syekh Umar Abdul Jabbar dalam Khulashoh Nurul Yaqin menjelaskan:
« وَكَانَ عُثْمَانُ يُفَضِّلُ الصُّلْحَ وَيَكْرَهُ سَفْكَ الدِّمَاءِ فِي الْفِتَنِ »
Utsman lebih mengutamakan perdamaian dan membenci pertumpahan darah dalam fitnah yang terjadi.

Penjelasan tersebut menegaskan bahwa pilihan politik Utsman bukan kelemahan, melainkan keteguhan moral yang berdiri di atas kehati-hatian syar’i.

Namun, lembutnya kebijakan ini justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang menuntut perubahan radikal. Muncul gelombang agitasi dari Mesir, Bashrah, dan Kufah, yang meluas menjadi krisis politik. Utsman memilih tetap bertahan dalam prinsip untuk tidak melawan kaum Muslim dengan pedang, bahkan ketika rumahnya dikepung. Keputusan ini menunjukkan ketinggian akhlak seorang pemimpin yang lebih rela berkorban dibanding menimbulkan perang saudara.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kematian Utsman bukan hanya tragedi politik, tetapi juga titik balik sejarah yang menguji ketangguhan struktur masyarakat Islam. Inilah masa ketika nilai-nilai moral diuji oleh kepentingan politik, dan umat Islam memasuki fase ketegangan yang tidak pernah dihadapi sebelumnya.

Transisi Kepemimpinan: Beratnya Amanah Setelah Gugurnya Utsman

Setelah wafatnya Utsman, masyarakat Madinah diliputi kegelisahan. Banyak tokoh sahabat menyadari bahwa situasi tidak lagi sama. Dalam kondisi itu, Ali bin Abi Thalib diminta memegang amanah kepemimpinan. Ulama menuturkan bahwa Ali awalnya enggan menerima jabatan, bukan karena kurang mampu, tetapi karena paham bahwa kondisi sosial sedang berada di titik paling rapuh.

Dalam syarah klasik disebutkan:

« دَخَلَ عَلَيَّ أَمْرٌ عَظِيمٌ لَا يَقُومُ بِهِ إِلَّا ذُو قُوَّةٍ وَصَبْرٍ »
Telah datang kepadaku urusan besar yang tidak dapat berdiri kecuali oleh orang yang kuat dan sabar.

Ungkapan tersebut menggambarkan betapa besar tekanan politik yang tengah menyelimuti umat saat itu. Ali menerima amanah bukan untuk mencari kuasa, tetapi untuk menyelamatkan stabilitas masyarakat. Penerimaan ini mencerminkan etika kekuasaan berbasis tanggung jawab moral, bukan ambisi.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Proses baiat terhadap Ali menunjukkan bagaimana masyarakat berharap pada figur yang tegas, alim, dan dikenal memiliki kedalaman spiritual. Ali menghadapi kekuasaan bukan sebagai “hak” tetapi sebagai “beban”. Pandangan ini selaras dengan peringatan Nabi:

« إِنَّهَا أَمَانَةٌ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ »
Sesungguhnya kekuasaan itu amanah dan pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan.” (HR. Muslim)

Dengan membawa spirit hadits tersebut, Ali mulai mengatur kembali arah politik negara yang sudah goyah.

Ali bin Abi Thalib: Ketegasan Ilmu dan Tantangan Fitnah Kubra

Kepemimpinan Ali dipenuhi tantangan besar. Dua konflik utama—Perang Jamal dan Perang Shiffin—mewarnai masa pemerintahannya. Namun, di tengah turbulensi ini, Ali menampilkan etika kepemimpinan yang sarat ketegasan, kejujuran, dan keberanian mengambil keputusan sulit demi menjaga keutuhan umat.

Ali berpegang teguh pada prinsip bahwa kebenaran mesti ditegakkan tanpa memihak, meskipun harus berhadap-hadapan dengan sesama sahabat utama. Sikap ini tercermin dalam nasihat terkenal:

« لَا تَنْظُرْ إِلَى مَنْ قَالَ، وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى مَا قِيلَ »
Jangan melihat siapa yang berkata, tetapi lihatlah apa yang dikatakan.

Dalam krisis politik, nasihat itu berfungsi sebagai kompas moral. Ali konsisten mempertahankan objektivitas hukum, meski tekanan dari berbagai arah terus memuncak. Sikap ini menunjukkan kualitas etika kekuasaan yang berpegang pada kebenaran, bukan pada relasi politik.

Syekh Umar Abdul Jabbar menegaskan posisi Ali:

« وَعَلِيٌّ قَامَ بِالْحَقِّ وَلَمْ يُرَاعِ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ »
Ali berdiri teguh di atas kebenaran dan tidak menghiraukan celaan dalam memperjuangkan ketetapan Allah.

Konflik-konflik besar pada masa Ali bukan cermin kelemahan kepemimpinan, melainkan konsekuensi dari struktur masyarakat yang sudah terbelah sejak akhir masa Utsman. Ali berjuang menyatukan kembali umat dengan pendekatan yang penuh keberanian dan ketulusan.

Meski begitu, pertentangan politik yang mengeras melahirkan kelompok ekstrem seperti Khawarij. Kelompok ini menolak keputusan arbitrase dengan Muawiyah dan kemudian melakukan pembunuhan terhadap Ali. Peristiwa tersebut menutup masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dengan duka yang dalam.

Etika Kekuasaan: Pelajaran Besar dari Utsman dan Ali

Dari Utsman ke Ali, umat Islam menyaksikan dua model kepemimpinan yang sama-sama dibangun di atas nilai-nilai Qur’ani, tetapi berbeda dalam karakter. Utsman menghadirkan kelembutan dan kesabaran dalam menghadapi fitnah, sementara Ali memperlihatkan ketegasan dan kecermatan hukum. Keduanya mengajarkan bahwa etika kekuasaan tidak tunggal; ia dapat tampil dalam bentuk kebaikan yang berbeda.

Firman Allah ﷻ menegaskan prinsip universal:

﴿ فَاعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى ﴾
Berlaku adillah, karena adil lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)

Ayat ini menjadi benang merah yang menjahit kepemimpinan dua khalifah tersebut. Keduanya berusaha menjaga keadilan dalam kondisi sosial yang sangat berbeda.

Pelajaran penting dari dinamika politik ini adalah bahwa kekuasaan bukan jaminan ketenangan. Stabilitas hanya hadir ketika pemimpin memegang prinsip moral yang kuat, sementara masyarakat menjaga adab dalam berpolitik. Krisis yang terjadi juga menunjukkan betapa mudah fitnah memecah belah umat ketika nilai kebenaran tidak ditempatkan sebagai prioritas.

Penutup

Sejarah dari Utsman ke Ali mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah perjalanan spiritual yang penuh ujian. Pada masa damai maupun konflik, kedua khalifah memperlihatkan keteladanan dengan nilai-nilai luhur yang melampaui zamannya. Dari kelembutan Utsman hingga ketegasan Ali, umat Islam memperoleh cermin tentang bagaimana menjalani kekuasaan tanpa kehilangan nurani.

Ketika kita memandang kembali jejak mereka, tampak jelas bahwa sejarah bukan sekadar rangkaian peristiwa. Sejarah adalah cahaya yang menuntun arah, agar umat selalu kembali pada kebenaran. Dalam riuh politik modern, teladan Khulafaur Rasyidin tetap menjadi suluh. Dari Utsman ke Ali, dari ujian menuju keteguhan, dari fitnah menuju kebijaksanaan—umat Islam diingatkan untuk menjaga persatuan, keadilan, dan akhlak yang mengangkat derajat kemanusiaan.

Semoga kisah ini menjadi benih kebaikan bagi hati yang ingin belajar, menguatkan bagi jiwa yang berharap, dan penerang bagi siapa saja yang mencari hikmah dalam perjalanan kepemimpinan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement