Khazanah
Beranda » Berita » Belajar Bukan untuk Virality: Menyelamatkan Ilmu dari Sorotan Dunia

Belajar Bukan untuk Virality: Menyelamatkan Ilmu dari Sorotan Dunia

ilustrasi pemuda belajar tenang di ruangan sederhana dengan cahaya lembut, simbol belajar bukan untuk viral.
Ilustrasi realistik dan filosofis seorang pemuda duduk di ruangan sederhana dengan cahaya matahari masuk dari jendela. Ia membaca buku dengan tenang, sementara di luar jendela tampak keramaian orang yang berlomba dengan kamera dan mikrofon.

Surau.co. Kita hidup di era di mana kecepatan dan perhatian publik menjadi ukuran nilai. Semua berlomba untuk terlihat, bukan memahami. Dalam dunia yang serba digital, banyak orang menuntut ilmu bukan untuk memahami kebenaran, tetapi untuk menjadi viral. Unggahan tentang belajar, seminar, atau hasil pemikiran kini sering dikemas bukan demi kebaikan bersama, melainkan demi tepuk tangan dan likes.

Padahal, esensi belajar bukanlah menjadi tontonan, melainkan perjalanan menuju kebijaksanaan. Dalam Islam, ilmu selalu dipandang sebagai cahaya yang menuntun, bukan lampu sorot yang menyilaukan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Ṭāhā: 114)

Ayat ini bukan hanya permintaan untuk menambah ilmu, tetapi juga pengingat agar setiap penuntut ilmu memiliki niat yang lurus. Belajar adalah ibadah, bukan strategi untuk populer.

Ilmu yang Tulus, Bukan Ilmu yang Tampil

Ilmu sejati tumbuh dalam keheningan, bukan di tengah sorak-sorai. Ia berkembang dari kerendahan hati, bukan dari kebutuhan untuk dikenal. Dalam tradisi Islam klasik, para ulama belajar dengan kesabaran dan keikhlasan, bahkan sering menolak ketenaran karena khawatir niat mereka tercemar.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Imam Al-Māwardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn berkata:

العلمُ عبادةُ القلبِ، وصلاتُهُ، وزكاتُهُ
“Ilmu adalah ibadah hati, salatnya, dan zakatnya.”

Ungkapan ini menegaskan bahwa ilmu memiliki dimensi spiritual. Ia adalah bentuk ibadah yang hanya diterima bila niatnya bersih. Bila ilmu dijadikan alat mencari ketenaran, maka nilai ibadah itu sirna.

Dalam era virality, seseorang sering lebih fokus pada bagaimana tampil cerdas di depan kamera daripada bagaimana memahami isi kitab. Banyak yang belajar agar bisa “mengutip” dengan menarik, bukan agar bisa “mengamalkan” dengan tulus. Padahal, keindahan ilmu bukan pada seberapa viral ia terdengar, melainkan seberapa dalam ia mengubah diri.

Ketika Amal Ilmu Digantikan oleh Eksposur

Fenomena belajar demi virality melahirkan bentuk baru dari riya. Jika dulu seseorang mungkin beribadah agar dipuji, kini seseorang bisa belajar agar dipuji di dunia maya. Semangat menuntut ilmu berubah menjadi semangat mencari perhatian.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

من تعلم علما مما يبتغى به وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة
“Barangsiapa mempelajari ilmu yang seharusnya dipelajari untuk mencari ridha Allah, tetapi ia mempelajarinya hanya untuk memperoleh keuntungan dunia, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)

Hadits ini tidak hanya berbicara tentang keuntungan materi, tetapi juga tentang keuntungan sosial seperti popularitas dan pengakuan. Ilmu yang diniatkan bukan karena Allah akan kehilangan barakahnya. Ia mungkin menghasilkan sorotan, tetapi tidak menghasilkan ketenangan.

Belajar untuk viral ibarat menanam pohon di tanah pasir—mungkin tumbuh cepat, tapi tidak berakar kuat. Ketika sorotan hilang, semangat pun ikut padam.

Media Sosial dan Godaan Pengakuan

Media sosial memang memberi ruang luar biasa bagi penyebaran ilmu. Namun, ruang yang sama juga menjadi medan godaan besar bagi ego. Di sana, niat yang semula lurus bisa perlahan bengkok oleh komentar dan angka penonton.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam dunia yang dipenuhi konten, keheningan dianggap tidak produktif. Akibatnya, banyak yang merasa harus “berbicara sesuatu” meskipun belum memahami sepenuhnya. Banyak yang merasa perlu “mengajar”, padahal dirinya masih belajar. Akhirnya, kualitas ilmu dikorbankan demi kuantitas tayangan.

Padahal, Islam mengajarkan untuk berhati-hati sebelum berbicara. Nabi ﷺ bersabda:

كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Hadits ini seakan menggema di era digital: tidak semua yang kita tahu harus kita bagikan, dan tidak semua yang viral harus kita ikuti. Sebab, dalam kebijaksanaan, ada ruang untuk menahan diri.

Menata Niat: Belajar Sebagai Ibadah

Belajar adalah ibadah yang bernilai tinggi bila niatnya benar. Dalam Islam, niat menjadi fondasi setiap amal. Rasulullah ﷺ bersabda:

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Niat yang tulus menjadikan proses belajar bernilai meski tak seorang pun melihatnya. Orang yang belajar karena Allah akan tetap konsisten walau tak ada yang memuji. Sebaliknya, orang yang belajar karena ingin viral akan berhenti ketika tepuk tangan reda.

Menata niat bukan hal mudah. Ia memerlukan muhasabah — introspeksi yang jujur terhadap diri. Imam Al-Māwardi menasihati:

من أصلح سريرته أصلح الله علانيته
“Barangsiapa memperbaiki rahasianya (niat dan batinnya), maka Allah akan memperbaiki tampilan lahiriahnya.”

Pesan ini relevan bagi siapa pun yang belajar di tengah era media. Saat dunia menilai berdasarkan tampilan, Allah menilai berdasarkan ketulusan.

Ilmu yang Viral vs Ilmu yang Mengakar

Ilmu yang viral mungkin cepat tersebar, tetapi belum tentu membawa hikmah. Sedangkan ilmu yang mengakar lahir dari keikhlasan, keheningan, dan kesabaran. Ia tidak memerlukan panggung, karena ia tumbuh di dalam diri.

Seseorang yang benar-benar berilmu tidak sibuk mencari penonton, melainkan sibuk memperbaiki diri. Ia tahu bahwa ilmu sejati bukan untuk membuat dirinya lebih dikenal, tetapi agar ia lebih mengenal Allah.

Ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i bahkan dikenal menolak ketenaran. Beliau berkata:

وددت أن الخلق تعلموا هذا العلم ولا ينسب إليّ منه شيء
“Aku berharap semua orang mempelajari ilmu ini tanpa menisbatkan sedikit pun darinya kepadaku.”

Betapa indahnya kerendahan hati ini. Ilmu menjadi murni karena bebas dari ambisi pribadi. Sementara di zaman kini, banyak yang justru takut jika karyanya tak dikenali atau tak mendapat “engagement”. Padahal, nilai ilmu tidak diukur dari seberapa banyak orang melihat, tapi dari seberapa banyak orang berubah karenanya.

Belajar dalam Keheningan: Jalan Menuju Kedalaman

Keheningan sering disalahpahami sebagai ketertinggalan. Padahal, di balik sunyi itulah kedalaman ilmu dibangun. Orang yang banyak belajar diam-diam akan lebih kuat dalam memahami dan lebih tulus dalam mengamalkan.

Dalam dunia yang sibuk mengejar virality, keheningan adalah bentuk perlawanan yang lembut. Ia mengajarkan kita untuk fokus pada kualitas, bukan sorotan.

Seseorang yang belajar dalam keheningan akan menghasilkan buah ilmu yang meneduhkan, bukan memanaskan. Ia tidak sibuk mencari siapa yang melihat, tapi lebih sibuk memastikan apakah dirinya benar-benar memahami.

Kembali ke Esensi: Ilmu untuk Amal, Bukan Viral

Belajar seharusnya mengantar seseorang pada amal. Setiap pengetahuan yang tidak diiringi pengamalan akan kering dan kehilangan makna. Ilmu bukan untuk dikoleksi atau dipamerkan, tapi untuk diamalkan dalam kehidupan nyata.

Ilmu sejati menuntun kita untuk menjadi pribadi yang lebih sabar, lembut, dan penuh kasih. Ia membuat seseorang rendah hati, bukan merasa lebih tinggi dari orang lain. Bila ilmu membuat kita ingin tampil, mungkin yang kita cari bukan ilmu, tapi sorotan.

Penutup: Antara Cahaya dan Sorotan

Belajar bukan untuk virality, melainkan untuk menemukan cahaya. Cahaya yang menuntun, bukan sorotan yang menyilaukan. Di tengah dunia yang memuja tampilan, mari kita belajar kembali dalam keheningan—bukan karena ingin dilihat, tetapi karena ingin diterangi.

Biarlah ilmu menjadi perjalanan sunyi menuju Tuhan. Biarlah ia tumbuh pelan tapi pasti, tanpa perlu sorak penonton. Sebab, ilmu yang sejati akan bersinar dengan sendirinya—tanpa harus viral, tanpa harus terlihat.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement