SURAU.CO-Pengangkatan raja, amir, khalifah dalam Islam menegaskan bahwa kekuasaan bukan tujuan pribadi, melainkan amanah untuk menegakkan keadilan dan menjaga kemaslahatan umat. Pengangkatan raja, amir, khalifah dalam Islam selalu berangkat dari prinsip syura dan baiat yang mengikat pemimpin serta rakyat dalam perjanjian moral. Sejak awal, umat Islam memahami bahwa jabatan tidak diwariskan, tetapi diberikan kepada orang yang paling layak secara iman, ilmu, dan akhlak.
Kaum Muhajirin dan Anshar pernah bermusyawarah di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Mereka menimbang keutamaan dan keteguhan imannya sebelum membaiatnya. Peristiwa itu menunjukkan bahwa umat mengambil peran aktif dalam menentukan pemimpin, bukan menerima keputusan sepihak. Syura menjadikan umat sebagai pengawas moral, sementara baiat meneguhkan tanggung jawab bersama antara rakyat dan pemimpin.
Dalam konteks modern, umat bisa menerjemahkan nilai syura ke dalam sistem pemilihan yang jujur dan transparan. Masyarakat memilih pemimpin bukan karena popularitas, tetapi karena kemampuannya menjaga hukum Allah dan mengelola urusan umat dengan adil. Ulama seperti Al-Mawardi menegaskan bahwa pemimpin ideal harus memiliki kekuatan ilmu dan keadilan. Kedua sifat itu menjamin stabilitas dan keberkahan dalam pemerintahan.
Seorang pemimpin sejati tidak mengejar kekuasaan, melainkan menerima amanahnya dengan rasa takut kepada Allah. Rasulullah ﷺ pernah menolak permintaan sahabat yang ingin menjabat, karena beliau menilai kepemimpinan sebagai beban berat yang bisa membawa kehinaan jika disalahgunakan. Maka, dalam Islam, jabatan menjadi ujian spiritual, bukan kesempatan mencari keuntungan dunia.
Syura dan Baiat sebagai Dasar Pengangkatan Khalifah dan Amir
Umat Islam menegakkan sistem syura dan baiat dalam pengangkatan khalifah dan amir. Melalui syura, masyarakat berunding secara terbuka untuk memilih pemimpin terbaik. Melalui baiat, mereka menegaskan kesetiaan selama pemimpin menegakkan perintah Allah. Nilai-nilai itu menjadikan umat berpartisipasi aktif dalam menjaga arah pemerintahan agar tetap adil dan amanah.
Sejarah mencatat bagaimana Umar bin Khattab membentuk dewan enam orang untuk memilih penggantinya. Ia ingin memastikan proses pengangkatan tidak bergantung pada satu kehendak, tetapi pada musyawarah kolektif. Mekanisme ini melahirkan pemimpin yang transparan dan siap diawasi. Prinsip pengawasan publik inilah yang menjaga khilafah dari kesewenang-wenangan.
Sistem kepemimpinan Islam pernah melahirkan peradaban besar dari Andalusia hingga Baghdad. Umat yang membaiat pemimpin dengan benar merasakan kedamaian dan kemajuan ilmu pengetahuan. Namun ketika kekuasaan berubah menjadi warisan tanpa syura, kemunduran pun muncul. Hal ini membuktikan bahwa legitimasi spiritual lebih kokoh daripada sekadar legitimasi politik.
Hari ini, prinsip-prinsip itu tetap relevan. Pemilu yang adil bisa menjadi bentuk baru syura, sementara sumpah jabatan menggantikan makna baiat. Selama pemimpin memegang nilai amanah dan keadilan, Islam menerima inovasi sistem pemerintahan modern tanpa kehilangan esensi moralnya.
Pemimpin sebagai Amanah, Bukan Warisan
Islam menolak konsep kekuasaan absolut. Seorang raja, amir, atau khalifah harus tunduk pada hukum Allah dan menempatkan dirinya sebagai pelayan umat. Pemimpin sejati bekerja untuk rakyat, bukan menuntut rakyat untuk mengabdi kepadanya. Setiap keputusan harus berpijak pada keadilan dan tanggung jawab moral.
Utsman bin Affan pernah menegaskan, “Aku bukan yang terbaik di antara kalian, tetapi aku memikul amanah paling berat.” Kalimat itu menggambarkan kesadaran bahwa kekuasaan membawa konsekuensi dunia dan akhirat. Pemimpin yang memahami hal ini akan berhati-hati dalam setiap kebijakan dan mendahulukan kepentingan umat.
Jika umat melupakan nilai-nilai ini, pengangkatan pemimpin akan kehilangan makna spiritualnya. Namun, bila dijalankan dengan kesadaran iman, proses pengangkatan raja, amir, khalifah akan melahirkan pemimpin yang membawa rahmat dan ketertiban bagi masyarakat. Islam menempatkan kekuasaan sebagai amanah suci yang harus dijalankan dengan tanggung jawab dan ketulusan. (Hendri hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
