Khazanah
Beranda » Berita » Niat Baik Tapi Pamer: Apa Bedanya Ikhlas dengan Ingin Dikenal?

Niat Baik Tapi Pamer: Apa Bedanya Ikhlas dengan Ingin Dikenal?

tangan memberi sedekah dengan bayangan kamera di belakang, simbol ikhlas dan riya
Ilustrasi simbolik berupa tangan yang memberi sedekah, tetapi bayangannya di belakang menyerupai kamera yang merekam. Warna lembut dengan nuansa cahaya keemasan dan gelap di sisi lain, menggambarkan dualitas niat dan pamer.

Surau.co. Setiap kali seseorang menekan tombol “bagikan” setelah melakukan kebaikan, muncul bisikan halus di dalam hati: apakah ini karena Allah, atau karena ingin dikenal? Pertanyaan itu sederhana, tapi menohok. Dalam dunia yang kian terhubung koneksi, batas antara ikhlas dan ingin dikenal alias pamer kian tak terlihat. Kadang niat baik berubah menjadi ajang validasi sosial yang tak disadari.

Ikhlas adalah kata yang ringan diucap tapi berat dijaga. Sebab di dalamnya ada pergulatan antara keinginan untuk dikenal dan kebutuhan untuk diterima oleh Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjadi dasar bahwa setiap perbuatan memiliki ruh di dalamnya: niat. Tapi bagaimana jika ruh itu ternoda oleh keinginan untuk diperhatikan?

Makna Niat dan Ikhlas dalam Islam

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Niat bukan sekadar lintasan di hati. Ia adalah poros yang menentukan arah amal. Dalam setiap ibadah, niat menempati posisi paling awal dan paling penting. Ulama salaf menegaskan bahwa niat adalah “amal hati” yang tidak bisa dilihat, tetapi sangat menentukan nilai di sisi Allah.

Ikhlas berarti memurnikan niat hanya untuk Allah, tanpa campuran motif duniawi. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah: 5)

Ayat ini menegaskan bahwa segala amal yang tidak disertai keikhlasan, kehilangan makna. Amal bisa tampak besar di mata manusia, tapi kecil di sisi Allah jika niatnya tercampur.

Batas Tipis Antara Ikhlas dan Pamer

Riya’ (pamer) adalah penyakit hati yang halus, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قِيلَ: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
“Hal yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya: “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya’ (pamer).”
(HR. Ahmad)

Batas antara ikhlas dan pamer seringkali setipis kabut. Keduanya berawal dari niat baik, tapi arah hatinya berbeda. Orang yang ikhlas ingin Allah tahu, sementara orang yang pamer ingin manusia tahu.

Namun, bukan berarti orang yang terlihat berbuat baik otomatis pamer. Ikhlas bukan soal diam atau tampil, tetapi tentang untuk siapa ia melakukannya. Seorang muslim bisa aktif di publik, menulis, mengajar, atau bersedekah terbuka—selama hatinya hanya berharap ridha Allah, bukan pujian manusia.

Tanda-Tanda Hati yang Ingin Dikenal

Riya’ bisa hadir dalam bentuk yang sangat halus. Dalam kitab Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’, Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī menjelaskan:

الرِّيَاءُ أَنْ يَعْمَلَ لِلَّهِ تَعَالَى، وَيُرِيدَ أَنْ يُرَى عَمَلُهُ فَيُحْمَدَ عَلَيْهِ
“Riya’ ialah seseorang beramal karena Allah Ta‘ālā, tetapi ia ingin agar amalnya dilihat dan dipuji.”

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Pujian, dalam pandangan ulama, bisa menjadi ujian. Hati yang ingin dikenal biasanya:

  1. Merasa senang ketika disebut-sebut.
  2. Kecewa bila tak dihargai.
  3. Giat beramal saat dilihat, tapi lemah ketika sendirian.

Ciri-ciri ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk muhasabah diri. Sebab setiap manusia pernah tergoda oleh rasa ingin dikenal. Tapi yang membedakan adalah bagaimana ia mengembalikannya kepada Allah.

Pesan Ulama Klasik: Mengasah Ketulusan

Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī juga menulis bahwa obat riya’ adalah mengingat bahwa makhluk tak memiliki daya memberi manfaat atau mudarat tanpa izin Allah:

وَدَوَاؤُهُ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ الْمَخْلُوقَ لَا يَقْدِرُ عَلَى نَفْعٍ وَلَا ضَرَرٍ، فَيَخَافُ الرِّيَاءَ كَخَوْفِهِ مِنَ الْكُفْرِ
“Obat bagi riya’ ialah menyadari bahwa makhluk tidak memiliki kuasa memberi manfaat atau mudarat, maka ia pun takut kepada riya’ sebagaimana takutnya kepada kekufuran.”

Pesan ini relevan hingga hari ini. Riya’ tidak bisa dihapus dengan sekadar menahan diri dari tampil. Ia sembuh dengan kesadaran spiritual, bahwa hanya Allah yang menilai.

Ikhlas tumbuh dari keyakinan: Allah melihat yang tersembunyi, bahkan sebelum manusia memujinya.

Menjaga Kemurnian Niat di Zaman Digital

Di era media sosial, keikhlasan diuji secara terbuka. Saat seseorang menulis kebaikan atau berbagi inspirasi, niatnya bisa dengan mudah bergeser. Namun, bukan berarti kita harus berhenti menebar kebaikan secara publik.

Yang penting adalah introspeksi berulang. Sebelum membagikan sesuatu, tanya diri sendiri:

“Apakah ini akan menambah keikhlasan saya, atau hanya menambah pengikut saya?”

Jika jawabannya condong ke yang kedua, lebih baik tahan sejenak. Sebab amal yang tulus tidak membutuhkan sorotan, cukup rahmat dari Tuhan.

Ikhlas di zaman digital adalah kemampuan menahan diri untuk tidak mengubah niat karena perhatian manusia. Dan jika niat mulai goyah, jangan putus asa — karena setiap kali hati memperbarui niat, di situlah latihan spiritual sesungguhnya terjadi.

Penutup: Doa di Dalam Sunyi

Ikhlas bukan tentang menolak dikenal, tetapi tentang tetap rendah hati meski dikenal. Kadang Allah menampakkan amal seseorang agar menjadi teladan, bukan karena ia pamer.

Akhirnya, setiap manusia akan diuji dengan dua hal: niat baik dan keinginan untuk dipuji. Dua-duanya hidup dalam hati yang sama, tapi hanya yang tulus yang akan bertahan.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلَنَا كُلَّهُ صَالِحًا، وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا، وَلَا تَجْعَلْ فِيهِ لِأَحَدٍ غَيْرِكَ شَيْئًا
“Ya Allah, jadikanlah seluruh amal kami baik, jadikan ia hanya untuk wajah-Mu, dan jangan biarkan di dalamnya ada sedikit pun untuk selain-Mu.”

Ikhlas bukan akhir perjalanan, tapi latihan seumur hidup — di setiap niat, di setiap langkah, di setiap bisikan hati yang menimbang antara cahaya dan bayangan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement