SURAU.CO – Pandangan keliru seringkali menempatkan Islam sebagai agama yang membatasi ruang gerak perempuan. Padahal, jika menilik lebih dalam ke sejarah awalnya, Islam justru hadir sebagai pendobrak tradisi jahiliah yang merendahkan wanita. Salah satu bukti paling kuat adalah penegasan hak perempuan dalam menentukan pasangan hidupnya, sebuah konsep revolusioner pada masanya yang berakar kuat pada ajaran Rasulullah SAW.
Sebuah kisah riwayat dari zaman Nabi Muhammad SAW menjadi cerminan jelas tentang posisi perempuan dalam pernikahan. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana Islam memberikan otonomi dan menghargai suara perempuan, bahkan ketika berhadapan dengan otoritas seorang ayah. Kisah ini bukan sekadar cerita, melainkan sebuah penegasan prinsip hukum yang fundamental.
Seorang ayah dari seorang gadis bermaksud menikahkan anak gadisnya. Tetapi ia tidak menanyai terlebih dahulu anak gadisnya itu. Lalu si gadis pergi menemui Rasulullah dan nada protes melaporkan perbuatan ayahnya karena sang ayah tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan dirinya. Rasulullah membatalkan pernikahan itu dan mengizinkan si gadis untuk menentukan pilihannya sendiri.
Mendengar hal itu, si gadis berpaling ke arah Nabi dan ayahnya sembari berkata, “Sebenarnya aku tidak menolak perkawinan ini, tetapi aku ingin agar para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak mempunyai hak mutlak atas putri-putri mereka.”
Sebuah Pernyataan Profetik tentang Otonomi Wanita
Kisah di atas, yang tercatat dalam beberapa riwayat hadis, menggambarkan sebuah interaksi yang sangat mendalam. Tindakan gadis tersebut bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan sebuah langkah strategis untuk mencari keadilan dan edukasi. Ia tidak sekadar memperjuangkan nasibnya sendiri. Lebih dari itu, ia ingin menciptakan preseden hukum bagi seluruh kaum perempuan. Ia menggunakan momen tersebut untuk mengedukasi masyarakat.
Tindakan Rasulullah yang membatalkan pernikahan secara sepihak oleh sang ayah adalah validasi tertinggi atas hak perempuan. Keputusan Nabi menunjukkan bahwa persetujuan dari calon mempelai wanita adalah rukun yang tidak bisa ditawar dalam sebuah akad nikah. Tanpa adanya keridaan, ikatan tersebut menjadi tidak sah. Ini secara langsung menentang praktik kawin paksa yang marak terjadi. Islam menolak dengan tegas pemaksaan kehendak dalam ikatan suci pernikahan. Oleh karena itu, wali tidak berhak memaksa seorang wanita untuk menikah dengan orang yang tidak ia cintai.
Pernyataan penutup dari sang gadis adalah puncak dari peristiwa ini. Ia menegaskan bahwa tujuannya yang lebih besar adalah untuk “agar para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak mempunyai hak mutlak atas putri-putri mereka.” Kalimat ini menjadi sebuah deklarasi penting tentang batas-batas kekuasaan wali. Sang ayah memang memiliki peran, namun perannya adalah sebagai pelindung, bukan pemaksa.
Prinsip Persetujuan dalam Hadis Lainnya
Sikap Rasulullah dalam kisah ini bukanlah anomali. Banyak hadis memperkuat prinsip ini yang menjadi landasan hukum pernikahan dalam Islam. Salah satu hadis yang paling sering dikutip adalah riwayat dari Abu Hurairah, di mana Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah menikahkan seorang janda sebelum meminta persetujuannya, dan janganlah menikahkan anak gadis sebelum meminta izin darinya.”Hadis ini dengan jelas membedakan antara meminta “persetujuan” (perintah) untuk janda dan “izin” untuk gadis, yang menunjukkan pengakuan atas kondisi psikologis keduanya namun tetap menjadikan suara mereka sebagai syarat utama.
Para ulama menjelaskan bahwa izin seorang gadis bisa jadi hanya dengan diam karena rasa malunya. Namun, diam tersebut harus berartikan sebagai tanda persetujuan, bukan ketidakberdayaan. Jika ia secara eksplisit menolak, maka pernikahan tidak boleh lanjutkan. Pada intinya, Islam mewajibkan adanya konsultasi dan keridaan dari pihak perempuan. Islam datang untuk mereformasi banyak praktik perkawinan di masa jahiliah yang seringkali merugikan dan menelantarkan hak-hak istri serta anak-anak.
Kisah-kisah seperti yang dialami Khansa binti Khidzam yang juga menolak perjodohan oleh ayahnya dan Nabi membelanya, semakin memperkuat fondasi ini. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa Islam, sejak kelahirannya, telah membawa semangat pembebasan dan pemberdayaan, memastikan bahwa pernikahan dibangun di atas fondasi cinta, kasih sayang, dan yang terpenting, pilihan sadar dari kedua belah pihak.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
