Khazanah
Beranda » Berita » Etika Penuntut Hadis: Panduan Spiritual dari Ibn al-Ṣalāḥ untuk Santri Zaman Now

Etika Penuntut Hadis: Panduan Spiritual dari Ibn al-Ṣalāḥ untuk Santri Zaman Now

Santri dan guru belajar hadis dengan adab dan ketenangan dalam suasana pesantren klasik.
Seorang santri mencatat dengan penuh hormat di hadapan gurunya dalam suasana tradisional, menggambarkan adab dan kesungguhan belajar.

Surau.co. Menuntut hadis bukan hanya menghafal sanad dan matan, tapi juga menata hati dan adab. Ibn al-Ṣalāḥ, dalam karyanya yang legendaris Muqaddimah fī ʿUlūm al-Ḥadīth, menegaskan bahwa penuntut hadis (ṭālib al-ḥadīth) tidak boleh terjebak dalam logika akademik semata. Ia harus menapaki jalan spiritual — menggabungkan ilmu dan akhlak, hafalan dan ketulusan, pemahaman dan penghambaan.

Beliau menulis:

“يَنْبَغِي لِطَالِبِ الْحَدِيثِ أَنْ يَنْوِيَ بِطَلَبِهِ وَرُوَايَتِهِ وَسَمَاعِهِ وَكِتَابَتِهِ وَإِسْمَاعِهِ وَتَعْلِيمِهِ وَسَائِرِ أَنْوَاعِهِ التَّقَرُّبَ إِلَى اللَّهِ.”
“Seorang penuntut hadis hendaknya meniatkan dalam belajar, meriwayatkan, mendengar, menulis, mengajarkan, dan seluruh aktivitasnya untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab Ādāb Ṭālib al-Ḥadīth)

Di era digital, nasihat ini terasa semakin relevan. Banyak pelajar mencari ilmu untuk konten, status sosial, atau gengsi akademik. Ibn al-Ṣalāḥ mengingatkan: ilmu tanpa niat yang lurus hanyalah data, bukan cahaya.

Dari Sanad ke Sikap: Belajar Adab Sebelum Ilmu

Dalam pesan yang mendalam, Ibn al-Ṣalāḥ menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian diri) bagi pelajar hadis. Ia menulis:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“وَلْيُخَلِّصْ قَلْبَهُ مِنَ الْأَدْغَالِ وَالْحِقْدِ وَالْحَسَدِ، فَإِنَّهَا تَحْجُبُ الْقَلْبَ عَنْ نُورِ الْعِلْمِ.”
“Hendaklah ia membersihkan hatinya dari kotoran, dendam, dan iri, sebab hal-hal itu menutupi hati dari cahaya ilmu.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab Ādāb Ṭālib al-Ḥadīth)

Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, ilmu hadis bukan sekadar “ilmu riwayat,” melainkan “ilmu sirah spiritual.” Maka, santri yang belajar hadis tapi masih mudah marah, sombong, atau merendahkan orang lain, berarti ia baru menghafal lafaz, belum menyerap hikmah.

Dalam fenomena modern, kita sering menemui orang pintar tapi kasar di dunia maya — hafal hadis tapi tidak beradab dalam berdebat. Padahal, sanad tidak hanya tentang siapa meriwayatkan siapa, tetapi juga tentang siapa yang menghormati siapa.

Belajar Hadis dengan Hati yang Tenang

Ibn al-Ṣalāḥ juga menasihati agar penuntut hadis menjaga suasana hati saat belajar. Ia menulis:

“وَلْيُقَدِّمِ الِاسْتِغْفَارَ وَالدُّعَاءَ عِنْدَ سَمَاعِ الْحَدِيثِ، فَإِنَّهُ يُطَهِّرُ الْقَلْبَ وَيُبَارِكُ فِي الْعِلْمِ.”
“Sebaiknya ia mendahulukan istighfar dan doa sebelum mendengarkan hadis, karena hal itu menyucikan hati dan memberkahi ilmu.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab Ādāb Ṭālib al-Ḥadīth)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Nasihat ini tampak sederhana, tapi sesungguhnya mengandung kedalaman psikologis dan spiritual. Dalam suasana hati yang keruh, ilmu sulit menetap. Dalam hati yang sombong, pengetahuan hanya menambah jarak dengan kebenaran.

Maka, santri zaman sekarang perlu belajar mindfulness ala Ibn al-Ṣalāḥ: menyadari niat sebelum menyalakan laptop, menenangkan hati sebelum membuka kitab, dan berdoa agar ilmu tidak menjadi beban ego.

Ketika Menulis Hadis adalah Ibadah, Bukan Pekerjaan

Ibn al-Ṣalāḥ hidup di masa ketika penulisan hadis masih dilakukan dengan tangan. Tapi spirit yang ia tanamkan tetap hidup bahkan di zaman keyboard dan AI. Ia menulis:

“وَكِتَابَةُ الْحَدِيثِ عِبَادَةٌ، فَلَا يَكْتُبُ بِهَا مَا لَا يَصِحُّ، وَلَا يُدْخِلُ فِيهَا مَا لَيْسَ مِنْهَا.”
“Menulis hadis adalah ibadah; maka jangan menulis sesuatu yang tidak sahih, dan jangan mencampurkan sesuatu yang bukan darinya.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab Ādāb Ṭālib al-Ḥadīth)

Kalimat ini seakan berbicara langsung kepada generasi penulis konten Islam hari ini. Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, menyebarkan hadis tanpa verifikasi adalah bentuk pengkhianatan ilmiah.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Fenomena hadis viral di media sosial — yang sering kali tidak jelas sumbernya — mengingatkan kita akan pesan beliau: jangan jadikan hadis sebagai bahan quotes, jadikan ia sebagai amanah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Hadis ini, bagi Ibn al-Ṣalāḥ, adalah pengingat keras bahwa kejujuran dalam ilmu lebih penting daripada popularitas dalam dakwah.

Belajar Ilmu dengan Tawadhu dan Cinta

Salah satu poin paling indah dari Ibn al-Ṣalāḥ adalah tentang adab terhadap guru. Ia menulis dengan lembut:

“وَلْيُعَظِّمِ الطَّالِبُ شَيْخَهُ وَيُكْرِمْهُ، فَإِنَّهُ السَّبَبُ فِي وُصُولِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ.”
“Hendaklah penuntut ilmu memuliakan gurunya, karena melalui gurulah ia sampai kepada Rasulullah ﷺ.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab Ādāb Ṭālib al-Ḥadīth)

Di sinilah letak keindahan epistemologi Islam: ilmu bukan hanya tentang data, tapi juga tentang adab transmisi. Sanad bukan sekadar catatan akademik, melainkan rantai kasih sayang.

Menghormati guru berarti menghormati ilmu. Dan menghormati ilmu berarti menghormati Nabi ﷺ.

Relevansi untuk Santri Zaman Now

Di era teknologi, tantangan terbesar bagi pelajar hadis bukan lagi jauhnya perjalanan seperti di masa klasik, melainkan “jauhnya hati” dari sumber ilmu.

Kita bisa mengakses ribuan kitab hanya dengan satu klik, tapi kehilangan rasa hormat terhadap prosesnya. Ibn al-Ṣalāḥ seakan berpesan kepada generasi modern: ilmu itu bukan cepat-cepatan menguasai, tapi perlahan-lahan memahami.

Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:

﴿وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu.”
(QS. Ṭāhā [20]: 114)

Ayat ini menunjukkan bahwa belajar adalah perjalanan tanpa ujung, bukan lomba kecepatan. Maka, santri masa kini perlu meniru semangat Ibn al-Ṣalāḥ: belajar dengan hati, beradab dalam ilmu, dan jujur dalam menyampaikan.

Penutup: Ilmu yang Hidup dalam Jiwa, Bukan di Kepala

Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, ilmu hadis adalah jalan spiritual — menghubungkan manusia dengan Rasulullah ﷺ melalui sanad, niat, dan adab.

Etika penuntut hadis yang beliau ajarkan seakan menjadi “spiritual code of conduct” bagi setiap pencari ilmu: belajar dengan niat yang lurus, menulis dengan amanah, menyampaikan dengan kasih, dan menghormati dengan rendah hati.

Jika prinsip-prinsip ini diterapkan, maka ilmu akan menjadi cahaya yang menuntun, bukan sekadar informasi yang menumpuk. Dan mungkin, itulah rahasia mengapa ilmu hadis tidak pernah mati — karena ia hidup di dada orang-orang yang beradab.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement