SURAU.CO – Di hadapan para penuntut ilmu yang duduk bersila di atas lantai beralas tikar, seorang ustadz dengan pakaian sederhana membuka kitab dan mulai berbicara. Suaranya tenang, tapi penuh wibawa. Setiap kalimatnya mengandung ilmu, disampaikan dengan hati yang lapang dan niat yang tulus.
Dialah Ustadz Wahyudi Arif, seorang da’i yang istiqamah meniti jalan dakwah salaf di tengah derasnya arus perubahan zaman.
Dakwah dari Masjid ke Masjid, dari Hati ke Hati
Dakwah salaf bukanlah sekadar label, tetapi sebuah jalan panjang yang menuntut keikhlasan dan kesabaran.
Ustadz Wahyudi Arif telah menapaki jalan itu sejak lama. Ia bukan tipe penceramah yang mengejar popularitas atau sorotan kamera, melainkan da’i yang tumbuh dari akar tradisi ilmu — mengajarkan tauhid, menghidupkan sunnah, dan meluruskan pemahaman umat.
Setiap langkah dakwahnya berpijak pada prinsip: mengajak, bukan mengejek; mendidik, bukan menghakimi.
Ia menyampaikan ajaran Rasulullah ﷺ dengan lembut, tapi tegas dalam prinsip. Baginya, dakwah adalah bentuk kasih sayang kepada umat—sebuah usaha untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan syirik, bid’ah, dan hawa nafsu menuju cahaya tauhid yang murni.
Tak jarang ia berkeliling dari satu kampung ke kampung lain, mengisi majelis ilmu tanpa pamrih. Di masjid-masjid sederhana, dengan pengeras suara seadanya, beliau menanamkan nilai-nilai keikhlasan, kesabaran, dan adab dalam menuntut ilmu.
Dari situ, banyak jiwa tersentuh, banyak keluarga berubah arah, dan banyak pemuda menemukan kembali makna iman.
Jalan Salaf: Meneladani Rasul dan Generasi Terbaik
“Menjadi Salafi bukan berarti merasa paling benar,” sering beliau sampaikan, “tapi berusaha mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.”
Inilah ruh dakwah Ustadz Wahyudi Arif: menghidupkan kembali manhaj salaf as-shalih — generasi yang paling mengetahui kebenaran karena mereka menerima langsung bimbingan wahyu.
Dalam setiap kajiannya, beliau menekankan pentingnya tazkiyatun nafs — pensucian jiwa. Bahwa dakwah bukan hanya mengoreksi orang lain, tapi terlebih dahulu memperbaiki diri.
Ia mengingatkan para penuntut ilmu agar tidak hanya bersemangat dalam membantah, tetapi juga berakhlak dalam berdakwah.
Karena, sebagaimana para ulama salaf menegaskan: “Kebenaran tanpa akhlak akan kehilangan keberkahan.”
Ilmu Sebagai Jalan Hidup
Ustadz Wahyudi Arif dikenal sebagai sosok yang mencintai ilmu.
Meski sibuk berdakwah, ia tetap mengutamakan belajar dan membaca. Di sela-sela kesibukannya, ia membuka kitab-kitab tafsir, hadits, dan aqidah klasik seperti Syarh as-Sunnah karya Imam al-Barbahari atau Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Ia bukan sekadar menyampaikan ilmu, tapi menghidupkannya dalam amal.
Sikap tawadhu’, sabar, dan wara’ terpancar dari kepribadiannya. Tak heran, para murid dan jamaahnya bukan hanya menghormati karena pengetahuannya, tapi juga karena keteladanannya.
Dalam pengajian, beliau selalu menekankan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya itu tidak akan masuk ke hati yang dipenuhi dosa dan kesombongan.
Karenanya, beliau mendidik umat untuk membersihkan hati dari riya’, ujub, dan fanatisme kelompok. “Ikhlaslah dalam menuntut ilmu,” pesannya, “karena ilmu yang tidak disertai ikhlas hanya akan menjadi hujjah yang memberatkan kita di hadapan Allah.”
Keteladanan dalam Kesederhanaan
Salah satu keistimewaan Ustadz Wahyudi Arif adalah kesederhanaannya.
Dalam berpakaian, berbicara, dan bersikap—semuanya menunjukkan ketenangan seorang alim yang tidak mencari dunia. Ia duduk di kursi lipat sederhana, mengenakan sarung dan kemeja, tanpa kesan formalitas yang kaku. Namun justru dari kesederhanaan itulah terpancar kewibawaan.
Beliau sering mengatakan bahwa kemuliaan da’i bukan pada penampilan, tetapi pada keikhlasannya.
Bahwa keberkahan dakwah tidak datang dari fasilitas, melainkan dari ketulusan niat.
Kesederhanaan ini pula yang membuat dakwahnya diterima lintas kalangan. Para jamaah merasa dekat, tidak canggung bertanya, dan tidak takut untuk belajar. Dakwahnya bukan sekadar monolog, tapi dialog — membimbing umat dengan hikmah dan kelembutan, sebagaimana firman Allah:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
(QS. An-Nahl: 125)
Menghidupkan Sunnah di Tengah Masyarakat
Di banyak tempat, Ustadz Wahyudi Arif dikenal sebagai penggerak dakwah sunnah. Ia mengajak masyarakat kembali kepada ajaran yang murni — mencontoh Rasulullah ﷺ dalam ibadah, akhlak, dan muamalah.
Ia mengingatkan pentingnya shalat berjamaah, dzikir sesuai tuntunan, menjauhi amalan-amalan yang tidak ada dalilnya, serta menjaga persaudaraan di atas aqidah.
Namun yang lebih penting, beliau menanamkan adab dalam beragama.
Bahwa dalam membela sunnah, tidak boleh menyalahi sunnah. Bahwa dalam memperjuangkan tauhid, tidak boleh melukai sesama Muslim.
Beliau menekankan bahwa dakwah salaf bukanlah proyek perpecahan, melainkan sarana untuk memurnikan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ujian dan Keteguhan
Tak ada dakwah tanpa ujian. Begitu pula dengan Ustadz Wahyudi Arif.
Ada masa di mana dakwah salaf sering disalahpahami — dianggap eksklusif, bahkan keras. Namun beliau menghadapi semua itu dengan sabar. Ia memilih diam dari fitnah, fokus pada tugas utamanya: mengajar, mendidik, dan menanamkan tauhid.
Ketika sebagian orang memilih jalan populis demi diterima masyarakat, beliau tetap di jalurnya.
Karena baginya, kebenaran bukan tentang siapa yang banyak pengikut, tetapi siapa yang berpegang pada dalil.
Dan dalam setiap majelis, beliau tak bosan mengingatkan:
“Yang kita cari bukan tepuk tangan manusia, tapi ridha Allah.”
Ujian justru semakin menguatkan semangat dakwahnya. Ia meyakini janji Allah dalam QS. Fushshilat: 30:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
Warisan Dakwah dan Generasi Penuntut Ilmu
Kiprah Ustadz Wahyudi Arif bukan hanya meninggalkan jejak ceramah, tetapi juga jejak ilmu.
Banyak pemuda dan jamaah yang kini tumbuh menjadi penuntut ilmu karena bimbingannya.
Ia mengajarkan bahwa menjadi penuntut ilmu adalah kemuliaan, bukan beban; bahwa menjadi pembela sunnah adalah amanah, bukan kebanggaan kosong.
Majelis-majelisnya tidak hanya menjadi tempat mendengar, tetapi tempat berubah — dari kebodohan menuju ilmu, dari lalai menuju taqwa, dari riuhnya dunia menuju ketenangan iman.
Penutup: Jalan Panjang Seorang Da’i
Di tengah zaman yang menilai keberhasilan dakwah dari jumlah penonton dan viralitas, Ustadz Wahyudi Arif memilih jalan sunyi: berdakwah dengan ilmu dan keteladanan.
Ia mungkin tidak selalu muncul di layar televisi, tapi cahaya ilmunya menerangi banyak hati yang haus akan kebenaran.
Dari kursi sederhana di ruang pengajian itu, beliau mengajarkan makna besar dari sabda Nabi ﷺ:
> “Sampaikan dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari)
Ustadz Wahyudi Arif terus menanam, mengajar, dan membimbing dengan sabar tanpa pamrih, sehingga satu ayat yang disampaikan dengan ikhlas bisa mengubah hidup seseorang.
Semoga Allah menjaga beliau, meneguhkan langkahnya dalam dakwah salaf yang lurus, dan menjadikannya teladan bagi para da’i muda yang ingin meniti jalan kebenaran dengan ilmu, adab, dan keikhlasan. (Oleh: Tengku Iskandar, M.Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
