Kisah
Beranda » Berita » Kisah Keteguhan Iman Khubayb bin Adi, Sahabat Nabi yang Syahid

Kisah Keteguhan Iman Khubayb bin Adi, Sahabat Nabi yang Syahid

SURAU.CO – Kisah ini bergulir pada masa-masa awal penyebaran Islam. Saat itu, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya menghadapi perlawanan yang sangat keras. Bangsa Arab di sekitarnya kerap melakukan tindakan sewenang-wenang. Mereka tidak ragu bersikap kejam terhadap komunitas Muslim yang jumlahnya masih sedikit. Namun, di tengah tekanan tersebut, lahirlah para pahlawan dengan iman yang tak tergoyahkan. Salah satunya adalah Khubayb bin Adi, yang kisahnya menjadi teladan abadi tentang keberanian dan keyakinan.

Peristiwa tragis ini bermula dari sebuah tipu daya. Suatu ketika, seorang pemuka suku Arab mengirimkan sebuah delegasi untuk menemui Nabi. Utusan itu menyampaikan pesan yang terdengar tulus. Ia berkata, “Warga kabilah kami sangat ingin memeluk Islam, tetapi tidak ada dai yang kompeten di sini. Kirimkanlah kepada kami seseorang yang benar-benar menguasai masalah ini.” Rasulullah, dengan niat baik, segera memenuhi permintaan tersebut. Beliau lantas mengutus beberapa orang dai terbaiknya untuk menyebarkan ajaran Islam kepada mereka.

Pengkhianatan dan Penangkapan Para Dai

Rombongan dai itu kemudian memulai perjalanan mereka dengan penuh semangat. Akan tetapi, sebuah konspirasi jahat telah menanti di perbatasan wilayah kabilah tersebut. Begitu para utusan Rasulullah tiba, pemuka kabilah itu bersama orang-orangnya langsung mengepung mereka. Mereka mengeluarkan ultimatum yang kejam dan tidak memberikan pilihan. “Pilih salah satu, menyerah atau mati!” seru mereka dengan beringas. Menghadapi situasi yang tidak terduga ini, para dai terpecah.

Beberapa utusan mencium adanya niat jahat dan pengkhianatan. Oleh karena itu, mereka memilih untuk melawan dengan gagah berani hingga titik darah penghabisan. Sementara itu, dua sahabat lainnya, Khubayb bin Adi dan Zaid bin Asyna, memilih untuk menyerahkan diri. Mereka mungkin berharap dapat menghindari pertumpahan darah lebih lanjut. Namun, nasib mereka justru berujung pada penangkapan. Si pemuka suku yang licik itu segera membelenggu Khubayb dan Zaid. Selanjutnya, ia mengirim keduanya ke Mekah untuk dijual sebagai tawanan.

Iman yang Tak Tergoyahkan di Penjara Mekah

Di Mekah, kabar kedatangan tawanan Muslim menyebar dengan cepat. Peristiwa ini terjadi tidak lama setelah Perang Badar. Dalam perang itu, banyak pemuka suku Quraisy yang tewas di tangan kaum Muslim. Anak-anak dari para pemuka suku tersebut menyimpan dendam yang mendalam. Mereka melihat Khubayb sebagai kesempatan untuk membalas dendam. Akhirnya, mereka membeli Khubayb dengan harga yang sangat tinggi. Dengan sorak-sorai penuh kebencian, mereka menyeretnya ke rumah mereka.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Mereka bertekad untuk membunuh Khubayb di hadapan umum. Mereka juga merencanakan cara eksekusi yang paling kejam untuk memuaskan dendam mereka. Sambil menunggu hari eksekusi, Khubayb dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah. Kakinya dirantai dengan besi berat. Meskipun begitu, rintihan pilu Khubayb ternyata menyentuh perasaan salah seorang wanita di rumah itu. Dengan diam-diam, wanita itu menyelinap ke dalam penjara untuk menemuinya. “Wahai orang yang ditawan, ceritakan padaku jika engkau mempunyai suatu keinginan. Aku akan mencoba memenuhi keinginanmu,” katanya dengan iba.

Dengan mata berseri-seri, Khubayb menatap wanita itu. Ia lalu berkata, “Aku tidak mempunyai keinginan kecuali satu, katakan kapan aku akan dihukum mati dan jika engkau bersedia, pinjami aku pisau cukur guna mencukur rambutku.” Wanita itu pun pergi dan tak lama kemudian mengirimkan anaknya yang masih kecil. Anak itu datang membawa pisau cukur yang tajam. Khubayb kemudian memegang anak itu dan membelai rambutnya dengan lembut seraya berkata, “Alangkah bodohnya ibumu, anakku. Dia telah menyerahkan dirimu ke tangan pembunuh musuh bebuyutannya.” Sang ibu, yang mendengar ucapan itu, menyadari kecerobohannya. Ia berlari ke arah penjara dengan penuh kekhawatiran. Namun, Khubayb menyerahkan anak itu kembali kepadanya dan berkata, “Jangan takut ibu! Tidak ada pengkhianatan dalam Islam.”

Menjemput Syahid dengan Shalat dan Keyakinan

Pada hari eksekusi tiba, para penjaga menyeret Khubayb ke sebuah tempat terbuka. Orang-orang berkumpul untuk menyaksikan pembalasan dendam mereka. Sebelum eksekusi dimulai, Khubayb meminta satu izin terakhir. Ia ingin melaksanakan shalat dua rakaat. Permintaannya pun dikabulkan. Khubayb melaksanakan shalatnya dengan tenang, namun ia menyelesaikannya dengan agak cepat. Setelah selesai, ia menatap kerumunan itu dan berkata, “Dalam keadaan normal, seseorang biasanya cenderung lebih lama dalam mengerjakan shalat. Namun aku cepat-cepat menyelesaikan shalatku agar kalian tidak menganggapku takut menghadapi kematian.”

Sebelum diikat di tiang pancang, kaum Quraisy masih memberinya satu tawaran terakhir. “Masih ada kesempatan selamat bagimu, tinggalkan Islam dan nikmati hidup bahagia,” kata mereka, mencoba meruntuhkan imannya. Namun, tawaran itu dijawab dengan suara yang tenang dan pasti. Khubayb membalas, “Kematian dalam keadaan Islam lebih mulia daripada hidup tanpa Islam.” Jawaban tegas itu mengakhiri semua negosiasi. Di atas tiang pancang yang tinggi, di bawah hujan anak panah dan tombak, sang syahid yang pemberani itu menghembuskan napas terakhirnya, meninggalkan warisan keberanian yang tak lekang oleh waktu.

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement