Mode & Gaya
Beranda » Berita » Demi Like dan Komen: Penyakit Hati di Era Post-Truth

Demi Like dan Komen: Penyakit Hati di Era Post-Truth

SURAU.CO. “Kebenaran kini ditentukan oleh siapa yang paling banyak like, bukan siapa yang paling jujur.” Kalimat itu mencerminkan zaman yang menukar nurani dengan validasi. Di tengah derasnya arus informasi, kejujuran justru makin langka.

Banyak orang lebih sibuk menjaga citra daripada mengakui salah. Dunia digital mengajarkan kepalsuan sebagai strategi, sementara kejujuran dianggap kelemahan. Pada akhirnya manusia menampilkan kebaikan bukan untuk menginspirasi, tapi agar disukai.

Media sosial pun penuh gemerlap citra namun miskin makna. Di balik senyum yang terpancar di medsos, banyak hati yang lelah. Di balik kata “ikhlas”, terselip keinginan dipuji. Inilah krisis kejujuran zaman ini—bukan karena tak tahu kebenaran, tapi karena takut kehilangan like saat berkata jujur.

Era Post-Truth: Haus Pengakuan Digital

Kita hidup di zaman paradoks—masa ketika segalanya tampak terbuka, tetapi kejujuran justru makin tersembunyi. Setiap orang bisa bersuara, namun tak semua berani berkata jujur. Dunia digital menjanjikan kebebasan, tapi perlahan menjerat manusia dalam perbudakan baru: haus akan pengakuan. Nilai manusia kini bergeser, bukan lagi diukur dari amal dan makna, melainkan dari seberapa dikenal dan menarik tampilannya di layar.

Inilah wajah nyata era post-truth—masa ketika perasaan dan citra lebih valid daripada fakta. Like dan komen menjadi mata uang sosial baru. Remaja mengunggah foto, menulis status, dan membuat video bukan lagi untuk berbagi, melainkan agar ada validasi. Kehidupan di layar ponsel berubah menjadi panggung digital, tempat semua orang berlomba menampilkan versi terbaik dirinya, meski sering kali jauh dari kenyataan.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Penyakit Hati di Era Post-Truth: Haus Validasi

Di balik gemerlap dunia maya, tersimpan kesunyian yang dalam. Saat notifikasi berhenti, hati kembali sunyi. Ketika pujian tak lagi datang, muncul kehampaan yang tak mudah dijelaskan. Inilah penyakit hati di era post-truth: haus validasi. Demi pengakuan diri, manusia rela kehilangan jati diri. Banyak yang tampak bahagia di foto, namun rapuh di balik layar. Banyak yang menulis “Alhamdulillah”, tetapi hatinya gelisah menunggu pujian.

Kita hidup dalam ilusi kolektif—berpura-pura bahagia demi terlihat bahagia. Segalanya kini tentang citra, bukan makna. “Kita bukan lagi berlomba menjadi baik, melainkan berlomba terlihat baik.” Generasi digital mahir menata tampilan, tetapi lalai menata hati. Padahal, nilai sejati manusia tidak tergantung oleh sorotan publik, melainkan oleh kebersihan hati di hadapan Allah Swt.

Allah Swt. berfirman,

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Rasulullah Saw bersabda,

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dalam tubuh manusia ada segumpal daging; jika ia baik, baiklah seluruh tubuhnya, jika ia rusak, rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)

Di dunia yang sibuk berpura-pura, yang terpenting bukan bagaimana kita terlihat di mata manusia, tapi bagaimana hati kita terlihat di hadapan Allah Swt.

Hati yang Terkurung dalam Algoritma Media Sosial

Era digital melahirkan penyakit lama dalam rupa baru. Riya’ menjadi haus pujian, ujub menjelma kebanggaan virtual, dan hasad berganti bentuk menjadi iri atas unggahan orang lain. Amal yang dulu terjaga dalam sunyi kini berubah jadi konten publik: sedekah direkam, doa dipamerkan, nasihat dijadikan branding diri. Padahal, amal kehilangan maknanya ketika niatnya bukan lagi karena Allah.

Islam memberi jalan sederhana: luruskan niat. Sebelum menulis, memotret, atau mengunggah, tanyakan pada diri sendiri: “Untuk siapa aku melakukan ini?” Jika untuk manusia, ujungnya kecewa; jika untuk Allah, amal itu akan kekal bernilai. Sebab kebenaran tak perlu tepuk tangan—ia hanya butuh kejujuran hati.

Menata Hati di Tengah Kepalsuan Digital

Di tengah arus informasi dan budaya pencitraan, remaja perlu kembali belajar tentang makna keikhlasan. Media sosial hanyalah alat; masalah muncul ketika alat itu mengambil alih nurani. Jika menggunakannya dengan niat yang benar, ia bisa menjadi ladang pahala—tempat berbagi ilmu, menebar inspirasi, dan menanam kebaikan.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Namun, era post-truth menggoda manusia dengan ilusi: kebohongan tampak indah, sementara kebenaran terasa membosankan. Padahal, Islam telah mengingatkan, “Kebenaran tidak akan tergantikan oleh kebatilan, meski kebatilan tampak indah di mata manusia.”

Tugas kita bukan mengejar viralitas, melainkan menjaga kejujuran. Bukan mencari like, tetapi mengharap ridha Allah Swt. Di dunia yang sibuk berpura-pura, keikhlasan adalah bentuk keberanian tertinggi. Sebab pada akhirnya, yang Allah Swt timbang bukan seberapa banyak  manusia melihat kita, tetapi seberapa tulus niat yang tersimpan di hati. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement