Surau.co. Banyak orang mengira fiqh itu rumit — penuh hitungan, perbedaan pendapat, dan perdebatan hukum yang kaku. Padahal, bagi siapa pun yang menekuni dengan hati, fiqh bukanlah sekadar kumpulan pasal dan bab, melainkan peta menuju cinta Allah.
Fiqh sejati bukan membuat manusia takut berbuat salah, tapi membuatnya rindu untuk benar — bukan karena takut neraka, tapi karena cinta kepada Sang Pemberi Hidup.
Begitulah kira-kira cara Qāḍī Abū Shujā‘ al-Isfahānī menulis dalam Al-Ghāyah wa at-Taqrīb: ringkas, jelas, tapi menyentuh hati.
Ketika Fiqh Hanya Menjadi Hitungan
Di zaman sekarang, fiqh sering kehilangan rasa.
Ia dipelajari untuk mencari siapa yang salah, bukan untuk menemukan siapa yang lebih dekat kepada Allah.
Bahkan kadang, orang lebih sibuk memperdebatkan posisi jari telunjuk saat tasyahhud, daripada menghidupkan makna “Asyhadu an lā ilāha illā Allāh” di hati.
Padahal Abū Shujā‘ mengingatkan bahwa fiqh adalah ilmu yang mengatur kehidupan agar lebih manusiawi, bukan sekadar hukum yang memenjarakan.
Ia menulis dalam pendahuluan kitabnya:
“هذا كتاب في الفقه على مذهب الإمام الشافعي، رضي الله عنه، جمعت فيه جميع ما يحتاج إليه المبتدي إلى المنتهي.”
“Kitab ini adalah fiqh menurut mazhab Imam al-Syafi‘i, yang aku ringkas agar mencakup segala kebutuhan dari pemula hingga yang sudah mendalam.”
Lihatlah kerendahan hati seorang ulama besar. Ia tidak ingin fiqh menjadi beban, tapi menjadi jembatan kasih antara manusia dengan Tuhannya.
Karena yang dicari dari ilmu bukanlah kemenangan dalam debat, melainkan ketenangan dalam beribadah.
Hukum yang Tumbuh dari Cinta
Fiqh lahir bukan untuk membatasi, tapi untuk mendidik hati agar mencintai kebaikan.
Ibarat pagar di tepi jurang, hukum bukan untuk mengurung, tapi untuk melindungi agar manusia tak terjatuh.
Abū Shujā‘ menulis:
“الطهارة مفتاح الصلاة، والصلاة عماد الدين.”
“Bersuci adalah kunci shalat, dan shalat adalah tiang agama.”
Perhatikan: ia tidak sekadar menjelaskan hukum thaharah, tapi mengajarkan urutan spiritual — sebelum mendekat pada Allah, bersihkan dulu dirimu. Karena Allah tidak hanya menyukai orang yang berdoa, tapi orang yang bersih hati dan jiwanya.
Bukankah cinta juga begitu? Sebelum kita mencintai, kita membersihkan diri dari kesombongan, dari ingin menang sendiri, dari ingin memiliki sepenuhnya.
Fiqh mengajarkan hal yang sama: cinta yang suci tak lahir dari nafsu, tapi dari kesadaran.
Ketika Fiqh Menjadi Jalan Pulang
Setiap hukum dalam fiqh sejatinya adalah peta pulang ke Allah.
Dari wudhu hingga zakat, dari jual beli hingga waris — semua mengajarkan cara hidup yang bersih, adil, dan penuh kasih.
Abū Shujā‘ menulis:
“والزكاة تجب في مال بلغ النصاب، وحال عليه الحول.”
“Zakat wajib atas harta yang telah mencapai nisab dan genap satu tahun.”
Zakat bukan sekadar kewajiban ekonomi, tapi latihan hati untuk tidak diperbudak harta. Ia mengajarkan bahwa harta yang tidak dibersihkan akan menjadi beban.
Seorang kaya yang tak menunaikan zakat bukan sedang menimbun emas, tapi menimbun dosa yang diam-diam menyesakkan dadanya.
Cinta sejati kepada Allah membuat seseorang mudah memberi, sebab ia tahu — apa yang ia keluarkan tak pernah hilang, hanya berpindah ke tempat yang lebih suci.
Fiqh yang Membuat Manusia Lebih Lembut
Sering kali, kita bertemu orang yang sangat paham fiqh, tapi keras hatinya.
Padahal, semakin tinggi ilmu seseorang, seharusnya semakin lembut lisannya.
Abū Shujā‘ menulis tentang mu‘āmalah (hubungan antar manusia):
“ويستحب التسامح في البيع والشراء، وترك المراء والخصومة.”
“Disunnahkan bersikap lapang dalam jual beli, dan meninggalkan perdebatan serta perselisihan.”
Di sinilah cinta dalam fiqh itu tampak: keindahan bukan pada menang argumen, tapi pada memberi maaf. Fiqh yang sejati membuat orang tidak hanya tahu kapan harus bicara, tapi juga kapan harus diam dengan damai.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“الراحمون يرحمهم الرحمن.”
“Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Tuhan Yang Maha Penyayang.” (HR. Tirmidzi)
Fiqh adalah jalan menuju kasih sayang itu — bukan lewat hafalan hukum, tapi lewat pengamalan adab.
Fiqh yang Membuat Kita Mencintai Dunia dengan Benar
Bagi Abū Shujā‘, fiqh tidak membuat manusia menjauh dari dunia, tapi mengajari bagaimana hidup di dunia tanpa menjadi budaknya.
Ia menulis tentang adab makan:
“ويكره الإسراف في الأكل، ويستحب الاقتصاد فيه.”
“Makruh berlebihan dalam makan, dan dianjurkan bersikap sederhana.”
Fiqh tidak melarang menikmati dunia, tapi mengajarkan cara mencintainya tanpa melupakan Allah. Makan boleh, tapi jangan sampai rakus. Punya harta boleh, tapi jangan sampai sombong. Menikah boleh, tapi jangan sampai melupakan sabar.
Karena cinta yang sejati adalah cinta yang membuat kita tenang, bukan yang membuat kita lupa. Begitu pula fiqh: semakin dalam dipahami, semakin ringan hati dalam menjalani hidup.
Fiqh dan Cinta: Dua Sisi dari Jalan yang Sama
Fiqh yang diajarkan Abū Shujā‘ bukanlah alat untuk menghukum, tapi untuk menuntun.
Ia bukan bahasa ancaman, tapi bahasa kasih yang mengajarkan manusia bagaimana menyenangkan Allah.
Seseorang yang mengerti fiqh akan berhati-hati bukan karena takut dosa, tapi karena tak ingin menyakiti Kekasihnya.
Ia taat bukan karena terpaksa, tapi karena cinta.
Dan seperti kata para sufi, “Cinta yang sejati membuat ketaatan menjadi ringan, dan dosa terasa berat di hati.”
Maka fiqh yang benar bukan yang membuat kita sombong, tapi yang membuat kita tunduk — dan lembut.
Penutup: Cinta yang Membuat Fiqh Hidup
Fiqh tanpa cinta hanyalah teks. Tapi fiqh yang dibaca dengan cinta akan menjadi doa yang hidup di tengah dunia.
Seperti shalat yang tanpa hati hanya menjadi gerakan, fiqh tanpa rasa hanya menjadi hafalan.
Al-Ghāyah wa at-Taqrīb adalah kitab kecil yang membesarkan hati, bukan hanya karena isinya padat, tapi karena ditulis oleh seorang ulama yang hatinya luas.
Abū Shujā‘ mengajarkan bahwa taat bukan berarti kaku, dan hukum bukan berarti kering. Fiqh bukan jalan menuju takut — tapi jalan menuju cinta.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
