SURAU.CO. Beberapa waktu lalu, sebuah kabar yang mengguncang dunia pendidikan membuat publik terbelah. Seorang kepala sekolah menampar siswanya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Aksi spontan dalam menegakkan aturan itu kemudian berujung panjang. Orang tua siswa melapor ke polisi, sang kepala sekolah mendapatkan sanksi non aktif dari Dinas Pendidikan, dan masyarakat ramai memperdebatkan siapa yang benar. Ada yang menilai tindakan itu berlebihan dan melanggar hukum, tapi tidak sedikit yang justru memuji keberanian kepala sekolah tersebut dalam menegakkan disiplin di tengah merosotnya moral generasi muda.
Kasus ini lebih dari sekadar soal tamparan. Ia adalah cermin dari krisis yang jauh lebih dalam yaitu krisis karakter. Di tengah derasnya arus globalisasi, teknologi, dan media sosial, sekolah kini tidak hanya berperan mengajar, tapi juga berjuang keras untuk membentuk manusia yang beradab. Maka, pertanyaannya bukan lagi “mengapa kepala sekolah itu menampar?”, tetapi “mengapa pendidikan karakter kini begitu rapuh?”
Mengapa Pendidikan Karakter Menjadi Genting?
Pendidikan bukan hanya tentang rumus matematika atau teori sains. Lebih dari itu, pendidikan sejatinya adalah proses pembentukan manusia, bukan sekadar otaknya tapi juga hatinya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa inti dari pendidikan dalam Islam adalah akhlak. Ilmu tanpa akhlak hanya akan melahirkan manusia pandai tetapi tak memiliki nurani. Kita bisa lihat buktinya di sekitar kita. Pelajar yang cerdas secara akademis, namun kurang sopan. Atau mahasiswa yang fasih berdebat, namun lemah tanggung jawab. Demikian juga, pejabat berpendidikan tinggi, tapi korup dan tidak jujur. Semua itu berawal dari hilangnya keseimbangan antara intelektualitas dan moralitas.
Dalam konteks inilah pendidikan karakter menjadi sangat penting. Ia adalah upaya sadar dan berkelanjutan untuk menanamkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, disiplin, tanggung jawab, hormat kepada orang tua dan guru, serta kepedulian terhadap sesama. Pendidikan karakter bukan tambahan dalam kurikulum, tapi menjadi ruh dari seluruh proses pendidikan.
Zaman digital menghadirkan tantangan yang besar. Remaja kini tumbuh dalam dunia yang serba instan. Popularitas di media sosial lebih utama daripada reputasi di dunia nyata. Banyak yang lebih takut kehilangan followers daripada kehilangan harga diri. Dalam kondisi ini, guru dan sekolah berada di garis depan pertempuran moral yang nyaris tak terlihat.
Tanpa fondasi karakter yang kuat, peserta didik mudah terseret arus negatif. Sebut saja, budaya konsumtif, pergaulan bebas, perilaku agresif, bahkan ketidakpedulian sosial. Padahal, bangsa yang besar bukan hanya diukur dari kemajuan teknologinya, tetapi dari kualitas moral rakyatnya.
Soekarno pernah mengatakan, “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter, karena pembangunan fisik tanpa karakter hanya akan menjadikan bangsa ini kuli di negeri sendiri.” Maka, pendidikan karakter bukan sekadar pelajaran tambahan di sekolah. Akan tetapi menjadi kebutuhan mendesak bagi bangsa yang ingin tetap tegak di tengah badai zaman.
Sekolah Menjadi Ladang Pembentukan Akhlak
Bagaimana mewujudkan pendidikan karakter di sekolah? Tidak cukup hanya dengan ceramah moral atau pelajaran formal. Nilai-nilai karakter harus dihidupkan dalam seluruh aktivitas pendidikan dari ruang kelas, halaman sekolah, hingga interaksi harian antara guru dan siswa.
Pendidikan karakter membutuhkan keteladanan guru. Guru adalah “cermin hidup” bagi murid. Guru yang datang tepat waktu, berbicara santun, dan menegakkan aturan dengan adil, sedang mengajarkan karakter jauh lebih kuat daripada seribu kata nasihat.
Nabi ﷺ bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pendidikan karakter juga dapat dibangun dengan kebiasaan positif. Pembiasaan sederhana seperti memberi salam, menjaga kebersihan, menghormati guru, atau tidak membuang sampah sembarangan adalah bentuk nyata pendidikan karakter. Nilai-nilai ini, jika dibiasakan sejak dini, akan menjadi bagian dari kepribadian anak.
Kemudian, kegiatan sosial dan ekstrakurikuler juga dapat membangun pendidikan karakter. Melalui kegiatan bakti sosial, kerja bakti, atau gotong royong, siswa belajar makna tanggung jawab dan empati. Pendidikan karakter tidak hanya diajarkan, tetapi dialami.
Sekolah perlu melakukan penegakan disiplin yang Bijak. Di sinilah letak dilema seperti kasus tamparan kepala sekolah tadi. Penegakan disiplin memang penting, tapi harus dilakukan dengan bijaksana. Tidak dengan kekerasan, melainkan dengan ketegasan. Hukuman bukan untuk mempermalukan, tapi untuk mendidik. Karena disiplin tanpa kasih sayang bisa menimbulkan dendam, sedangkan kasih sayang tanpa ketegasan akan melahirkan generasi manja.
Peran Keluarga dan Masyarakat
Sekolah tidak bisa bekerja sendirian. Rumah dan lingkungan sosial adalah dua pilar utama yang menopang keberhasilan pendidikan karakter. Jika sekolah melatih disiplin anak, tapi di rumah orang tua membiarkan pelanggaran, maka pesan moral akan kehilangan maknanya.
Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak. Orang tua adalah guru pertama. Sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)
Ayat ini menegaskan tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak, bukan hanya secara fisik dan ekonomi, tapi juga moral dan spiritual. Maka, sinergi antara sekolah dan rumah adalah kunci utama keberhasilan pembentukan karakter.
Masyarakat pun berperan penting. Ketika lingkungan sosial membiasakan hal-hal negatif, seperti budaya pamer, ujaran kebencian, atau ketidakjujuran, maka pendidikan karakter akan kehilangan pengaruhnya. Tapi bila masyarakat menegakkan norma kebaikan, maka anak-anak tumbuh dalam atmosfer moral yang sehat.
Menemukan Jalan Tengah
Kisah kepala sekolah dan siswanya adalah pelajaran berharga bagi dunia pendidikan kita. Ia menunjukkan bahwa batas antara disiplin dan kekerasan sering kali sangat tipis. Namun di balik kontroversi itu, ada pesan moral yang tak boleh diabaikan. Bahwa masih ada pendidik yang berani menegakkan nilai, di saat banyak yang memilih diam demi kenyamanan.
Kita perlu merevitalisasi semangat pendidikan berbasis karakter dengan pendekatan yang manusiawi. Menanamkan nilai dengan kasih, menegakkan disiplin dengan akal sehat, dan menumbuhkan akhlak dengan keteladanan. Pendidikan bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan beradab.
Ketika dunia semakin canggih, tantangan moral justru semakin kompleks. Teknologi bisa menciptakan generasi cerdas, tetapi hanya karakterlah yang menjadikan mereka manusia seutuhnya. Tamparan seorang kepala sekolah mungkin telah menimbulkan polemik, tapi ia juga menjadi alarm bagi kita semua, bahwa bangsa ini sedang kehilangan arah jika pendidikan tak lagi menumbuhkan nilai-nilai kebaikan.
Mari jadikan sekolah bukan sekadar tempat menuntut ilmu, tapi ladang menumbuhkan budi. Karena di sanalah masa depan bangsa dibentuk. Bukan di layar gadget, bukan pula di ruang perdebatan publik, melainkan di hati anak-anak yang sedang belajar mengenal makna hidup dan kebaikan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
