Opinion
Beranda » Berita » Pukulan Guru yang Melahirkan Pemimpin (Ketika Ketegasan Menjadi Wujud Kasih Sayang dalam Pendidikan)

Pukulan Guru yang Melahirkan Pemimpin (Ketika Ketegasan Menjadi Wujud Kasih Sayang dalam Pendidikan)

Pukulan Guru yang Melahirkan Pemimpin (Ketika Ketegasan Menjadi Wujud Kasih Sayang dalam Pendidikan)
Pukulan Guru yang Melahirkan Pemimpin (Ketika Ketegasan Menjadi Wujud Kasih Sayang dalam Pendidikan)

 

SURAU.CO – Enam abad silam, lahirlah kisah nyata tentang bagaimana pendidikan sejati membentuk seorang pemimpin besar, Sultan Muhammad Al-Fatih, penakluk Konstantinopel.
Sejak kecil, Mehmed (nama kecilnya) tumbuh dalam kemewahan istana. Ia cerdas, tapi juga manja, keras kepala, dan sering mempermainkan guru-gurunya. Banyak pendidik menyerah karena tak mampu menundukkan egonya.

Hingga akhirnya, Sultan Murad II — ayahnya — memanggil dua ulama besar: Syeikh Ahmad bin Ismail Al-Qurani dan Syeikh Aq Syamsuddin. Keduanya diberi mandat tegas: didiklah anak ini dengan ketegasan, bahkan jika harus dengan pukulan — asal untuk mendidik, bukan melukai.

Dan benar. Ketika pertama kali tangannya merasakan pukulan sang guru, Mehmed kecil kaget — bukan karena sakit fisik, tapi karena hatinya tersentuh oleh wibawa dan ketegasan seorang pendidik sejati.
Dari situlah titik balik itu terjadi. Mehmed berubah. Ia menjadi murid yang taat, tekun, dan penuh hormat.

Dalam waktu singkat, ia menghafal Al-Qur’an di usia delapan tahun, menguasai tujuh bahasa, dan mendalami strategi politik, militer, serta pemerintahan. Ia tumbuh bukan hanya cerdas, tapi juga berkarakter.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Ketegasan yang Mendidik, Bukan Kekerasan yang Melukai

Dalam Islam, ketegasan bukanlah kekerasan. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Perintahkanlah anakmu shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah dia (jika meninggalkannya) pada usia sepuluh tahun.” > (HR. Abu Dawud no. 495)

Hadis ini bukan pembenaran untuk kekerasan, melainkan pedoman agar orang tua dan guru menanamkan tanggung jawab dengan cara yang tegas dan penuh kasih.
Pukulan dalam konteks ta’dib (pendidikan moral) berfungsi sebagai shock therapy — peringatan agar anak memahami konsekuensi dari perilaku, bukan sebagai alat untuk menakut-nakuti atau menyakiti.

Dalam tradisi Islam klasik, para ulama menegaskan syaratnya: pukulan harus terukur, tidak di wajah, tidak dalam kemarahan, dan tidak menyakiti. Tujuannya bukan menghukum, tapi menyadarkan.

Syeikh Aq Syamsuddin bahkan pernah memukul Al-Fatih tanpa kesalahan. Bertahun-tahun kemudian, setelah menjadi Sultan, Al-Fatih bertanya alasan di balik tindakan itu.
Sang guru menjawab dengan kalimat yang menjadi warisan moral sepanjang masa:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Pukulan itu agar engkau mengingat pahitnya kedzaliman. Karena kelak, ketika engkau berkuasa, jangan pernah mendzalimi rakyatmu. Sebab mereka takkan pernah lupa pahitnya kedzaliman.”

Ketegasan yang Melahirkan Keadilan

Dari kisah ini, ada pelajaran besar bagi dunia pendidikan modern:
bahwa ketegasan dan kedisiplinan adalah bagian dari kasih sayang.
Guru yang berani menegakkan nilai, meski tidak disukai murid, sesungguhnya sedang menanam benih karakter.

Pendidikan sejati tidak hanya menuntun anak untuk pandai, tetapi juga untuk paham batas, tanggung jawab, dan empati.
Karena tanpa disiplin, kecerdasan bisa melahirkan kesombongan.
Tanpa empati, kekuasaan bisa berubah menjadi kedzaliman.

Kisah Al-Fatih mengingatkan kita bahwa:

Guru yang tegas adalah anugerah, bukan ancaman.
Pukulan yang mendidik — bukan memukul — dapat menjadi momen pembentuk karakter.
Kedisiplinan yang disertai kasih sayang melahirkan pemimpin yang berwibawa dan berakhlak.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Sudah saatnya kita mengembalikan makna ta’dib dalam pendidikan — bukan untuk memukul fisik, tapi untuk menyentuh hati.
Seperti pesan Ki Hajar Dewantara:

“Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.”
Guru adalah teladan di depan, penggerak semangat di tengah, dan penuntun dari belakang.

Penutup

Pukulan guru sejati bukanlah luka, tetapi peringatan agar murid belajar menjadi manusia yang adil dan berempati.
Karena kadang, cinta yang mendidik memang datang dalam bentuk teguran — bukan belaian.

Dan dari teguran itulah lahir pemimpin-pemimpin yang mengerti:
kuasa tanpa adab adalah sumber kedzaliman, sedangkan ketegasan dengan kasih adalah dasar kepemimpinan. budiawan, cangkrukan. (Panca Wavy)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement