SURAU.CO. Istilah santri terasa begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kita mendengarnya di pesantren, di media, bahkan dalam percakapan politik. Namun, di balik keakraban itu, makna santri ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Dulu, santri dikenal sebagai pelajar yang hidup sederhana di pesantren, tekun menuntut ilmu agama, dan menjadikan kiai sebagai panutan spiritual. Kini, kata “santri” justru sering diseret ke ranah politik, dipakai untuk menegaskan identitas, bahkan dijadikan label kebanggaan tanpa ruh kesalehan yang seharusnya melekat di dalamnya.
Pergeseran Makna Santri
Dalam catatan sejarah Islam Nusantara, santri bukan sekadar murid pesantren, melainkan sosok pencari ilmu sejati. Ia rela berkelana dari satu kiai ke kiai lain, dari satu desa ke desa lain, demi menimba pengetahuan dan membentuk adab. Istilah lelana (pengelana) dalam budaya Jawa masa lampau menggambarkan santri sebagai sosok spiritual yang haus akan ilmu dan kebijaksanaan.
Dalam naskah-naskah Jawa klasik, tokoh-tokoh seperti Among Raga atau Aji Saka digambarkan sebagai figur yang berkelana mencari kebenaran dan pengetahuan batin. Mereka bukan hanya belajar agama, tapi juga berusaha memahami makna hidup dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Inilah ruh kesantrian, dimana semangat menuntut ilmu yang disertai pencarian makna spiritual dan moral.
Namun, memasuki abad ke-21, makna itu bergeser. Santri tidak lagi hanya dipahami sebagai murid pesantren, tapi juga identitas sosial dan bahkan simbol politik. Banyak yang mengaku “santri” karena afiliasi terhadap tokoh atau kelompok tertentu, bukan karena hidup dalam nilai-nilai kesantrian. Akibatnya, istilah santri menjadi label, bukan laku hidup.
Santri dan Pesantren Sebagai Benteng Moral Bangsa
Pesantren sesungguhnya merupakan subkultur yang unik dalam peradaban Indonesia. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga tempat pembentukan karakter dan moral. Di dalamnya, para santri belajar disiplin, tawadhu’, dan tanggung jawab. Mereka bukan hanya mengejar ilmu, tetapi juga membangun jiwa.
Budaya pesantren mencerminkan harmoni antara Islam dan tradisi Nusantara. Nilai-nilai seperti gotong royong, sopan santun, dan cinta tanah air berpadu dengan pengamalan ajaran Islam. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menegaskan bahwa santri sejati adalah mereka yang memadukan ilmu, akhlak, dan cinta tanah air. Baginya, membela negara adalah bagian dari membela agama (hubbul wathan minal iman).
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Maka, inti dari kesantrian adalah akhlak. Santri bukan hanya orang yang menguasai kitab, tetapi yang meneladani Nabi dalam tutur, perilaku, dan kepedulian sosialnya. Bila kesalehan hanya berhenti pada simbol, tanpa akhlak dan kepedulian, maka yang tersisa hanyalah kulit tanpa isi.
Santri di Era Politik Identitas
Di era modern, politik identitas menjadi fenomena global. Agama, suku, bahkan istilah “santri”, sering dijadikan alat legitimasi untuk mendapatkan dukungan sosial dan politik. Fenomena ini terjadi pula di Indonesia. “Hari Santri” yang awalnya menjadi momentum penghormatan terhadap peran santri dalam sejarah bangsa, kini kadang terjebak dalam romantisme simbolik dan kepentingan politis.
Padahal, jika kita lihat dan kembali kepada dasarnya, santri bukanlah alat politik, melainkan penjaga moral publik. Mereka adalah benteng terakhir yang memelihara nilai kejujuran dan kesederhanaan. Jika santri terlibat dalam politik, seharusnya bukan sebagai pengikut buta, tetapi sebagai penuntun moral, yang berani berkata benar di hadapan siapa pun.
Al-Qur’an berfirman, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Ayat ini mengingatkan bahwa nilai takwa tidak bisa dipisahkan dari keadilan dan selalu menegakkan kebenaran. Santri sejati harus menjadi teladan keadilan dan kebenaran, bukan bagian dari polarisasi sosial.
Saat Santri Jadi Tren
Fenomena “sekali santri, tetap santri” sering digaungkan sebagai simbol kebanggaan. Namun, kalimat ini bisa berbahaya jika hanya dijadikan slogan tanpa refleksi makna. Santri bukanlah identitas yang melekat otomatis, melainkan proses panjang pembentukan diri.
Menjadi santri bukan sekadar mengenakan sarung dan peci, tetapi menghidupkan nilai kesederhanaan, kejujuran, dan keikhlasan. Santri sejati bukan yang banyak bicara tentang agama, tetapi yang menjaga lisannya dan menebarkan kebaikan.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak akan lurus iman seseorang sampai lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya sampai lurus lisannya.” (HR. Ahmad)
Hari ini, banyak orang mengaku santri di media sosial, tetapi justru menebar ujaran kebencian dan caci maki. Padahal, santri seharusnya menjadi teladan kedamaian dan kesantunan, bukan sumber perpecahan. Inilah krisis ruh kesalehan yang tengah kita hadapi.
Menemukan Kembali Jiwa Santri
Di tengah arus globalisasi dan politik identitas, kita perlu mengembalikan makna santri pada akar aslinya: pencinta ilmu, penjaga adab, dan pelaku amal. Santri bukan hanya murid kiai, tetapi juga pewaris nilai-nilai profetik yang universal sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Santri masa kini perlu memahami bahwa menjadi santri tidak berarti menutup diri dari dunia luar. Justru, mereka harus menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara nilai Islam dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Pesantren kini banyak yang beradaptasi dengan zaman. Mereka membuka akses terhadap teknologi, ekonomi kreatif, dan kewirausahaan tanpa meninggalkan kitab kuning. Ini membuktikan bahwa kesantrian tidak identik dengan keterbelakangan, tetapi justru menjadi basis lahirnya generasi yang berilmu dan berakhlak.
Firman Allah SWT, “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11). Ayat ini menegaskan bahwa ilmu dan iman harus berjalan beriringan. Santri yang berilmu tapi kehilangan iman akan kehilangan arah. Sebaliknya, iman tanpa ilmu akan kehilangan pijakan.
Santri dan Masa Depan Indonesia
Santri memiliki peran penting dalam membangun masa depan bangsa. Mereka membawa nilai-nilai Islam yang damai, toleran, dan berkeadilan. Di saat dunia dilanda krisis moral, santri bisa menjadi oase penyejuk yang menawarkan teladan dan keseimbangan.
Namun, untuk mewujudkan itu, santri harus terus memperkaya diri dengan pengetahuan luas, memperkuat literasi digital, dan memperdalam komitmen spiritual. Santri bukan musuh kemajuan, melainkan bagian dari solusi peradaban.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berkata, “Santri itu tidak hanya belajar mengaji, tapi belajar menjadi manusia.” Kalimat ini sederhana, tapi mendalam, bahwa inti dari kesantrian adalah kemanusiaan, yang mengasah hati, bukan hanya pikiran.
Kini saatnya kita memaknai kembali istilah “santri” bukan sebagai simbol politik, melainkan sebagai panggilan moral dan spiritual. Santri sejati bukanlah mereka yang paling keras bersuara tentang agama, tapi yang paling lembut hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling luas kasihnya.
Ketika kesalehan berubah jadi gaya, dan identitas menjadi komoditas, maka tugas santri sejati adalah mengembalikan ruh keikhlasan dalam beragama. Karena sejatinya, menjadi santri adalah menjadi hamba Allah yang terus belajar, berbuat baik, dan menjaga cahaya Islam di tengah dunia yang kian gelap oleh kepentingan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
