Kisah
Beranda » Berita » Kisah Khalifah Ali dan Hakim Kufah : Keadilan Tanpa Pandang Bulu

Kisah Khalifah Ali dan Hakim Kufah : Keadilan Tanpa Pandang Bulu

SURAU.CO – Kisah Khalifah Ali bin Abi Thalib, sosok penguasa tertinggi kerajaan Islam dan pejuang tak kenal takut yang telah melewati ratusan pertempuran, seringkali menjadi teladan. Namun, ada satu kisah yang menonjolkan prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum, bahkan bagi seorang pemimpin sekaliber dirinya. Khalifah Ali kehilangan baju zirah kesayangannya. Ia pun bertanya-tanya siapa gerangan yang berani mencurinya. Akhirnya, ia menemukan baju besi tersebut bersama seorang Yahudi. Dengan tenang, Ali meminta agar orang itu mengembalikan baju besi tersebut. Namun, si Yahudi menjawab lantang, ‘Ini milikku, dan akan tetap bersamaku.'”

Mendengar jawaban tersebut, para sahabat yang menyaksikan peristiwa itu  sangat jengkel. Mereka bergumam, “Heemh! Berani-beraninya makhluk bodoh itu mengusik kemarahan sang ‘Singa’?” Mengingat keberanian dan ketegasan Ali dalam medan perang, respons Yahudi tersebut memang terkesan kurang ajar. Namun, Ali bukanlah ‘Singa’ biasa; ia adalah “Singa Allah.” Prinsip keadilan jauh lebih berharga baginya daripada kemarahan sesaat. Oleh karena itu, Ali menoleh kepada para sahabatnya dan berkata, “Jangan begitu! Kalian jangan melihat posisiku. Pemimpin dan rakyat adalah setara di mata hukum dan jika perlu seorang khalifah harus mencari perlindungan pengadilan.” Pernyataan ini menunjukkan betapa besar komitmen Ali terhadap prinsip supremasi hukum, tanpa memandang status sosial atau jabatan.

Khalifah Menguji Hukum di Kufah

Kufah, yang saat itu menjadi ibukota kekhalifahan Ali, memiliki sistem peradilan yang kokoh. Jabatan kehakiman tertinggi dipegang oleh seorang hakim yang telah diangkat langsung oleh Ali sendiri. Ironisnya, kini Ali harus meminta bantuan mahkamah syariah yang ia dirikan. Si Yahudi pencuri itu dipanggil ke pengadilan dan hadir di depan persidangan. Ruang sidang penuh sesak oleh para pengunjung yang sudah menunggu sejak sebelum persidangan dimulai, ingin menyaksikan bagaimana kasus yang melibatkan Khalifah ini akan diputuskan. Tak lama kemudian, hakim masuk ke ruang sidang dan duduk di kursi kebesarannya. Ali pun masuk ke ruangan, berdiri di hadapan hakim, dan memberikan penghormatan yang lazim. Namun, sang hakim tidak beranjak dari kursinya dan tidak pula menunjukkan sikap penghormatan khusus kepada Khalifah, memperlihatkan independensinya.

Hakim memulai persidangan dengan pertanyaan langsung kepada si Yahudi, “Apakah Anda mencuri baju besi Ali?” Dengan tegas, si Yahudi menjawab, “Tidak. Tuduhan palsu telah diarahkan padaku. Baju besi itu milikku dan sekarang ada padaku.” Kemudian, hakim beralih kepada Khalifah Ali, “Apakah Anda membawa saksi yang bisa membuktikan bahwa benar baju besi itu milik Anda?” Ali menjawab, “Ya. Anakku, Hasan, dan pembantuku, Qamber. Keduanya adalah saksiku.” Namun, jawaban hakim membuat semua orang terkejut: “Aku tidak bisa mengandalkan persaksian mereka.” Ali, yang mungkin juga terkejut, bertanya, “Mengapa? Apakah Anda pikir mereka akan memberi kesaksian palsu?”

Keputusan Hakim dan Dampaknya

Hakim menjelaskan alasannya dengan bijaksana, “Sama sekali tidak. Aku tahu bahwa Anda adalah kerabat dekat Nabi Muhammad dan Anda benar-benar orang yang saleh. Lebih dari itu, aku bahkan percaya bahwa pintu surga terbuka untuk Anda. Tetapi menurut hukum Nabi, persaksian seorang anak untuk bapaknya dan seorang pelayan untuk tuannya tidak dapat diterima. Jadi selama Anda tidak bisa mengajukan saksi yang tepat, kasus ini ditutup.” Keputusan ini menegaskan bahwa dalam sistem hukum Islam, ada aturan ketat mengenai validitas saksi, demi menjaga objektivitas dan menghindari bias. Meskipun Ali adalah Khalifah, posisinya tidak memberinya keistimewaan dalam proses peradilan.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Mendengar putusan ini, si Yahudi melangkah mendekati Ali. Perasaan takjub dan hormat jelas terlihat di wajahnya. Ia berkata, “Alangkah menakjubkan! Belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak pernah terbayangkan! Ini adalah hukum yang lain daripada yang lain. Ia tidak mempedulikan status sosial seseorang, bahkan posisi khalifah sekalipun. Dan orang yang mengajarkannya pasti bukan manusia biasa. Ia pasti seorang Nabi. Wahai Amirul Mukminin! Baju besi ini adalah milik Anda. Silahkan ambil kembali. Dan bersama baju itu, ambil pula sesuatu yang bukan milikmu —karena mulai hari ini, tubuhku, jiwaku, dan kesetiaanku adalah milikmu— ‘asyhadu alla ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad rasul Allah’.” Kisah ini tidak hanya berakhir dengan kembalinya baju besi, tetapi juga dengan sebuah kesaksian iman yang tulus, menunjukkan kekuatan keadilan dalam mengubah hati dan pikiran. Ini adalah bukti nyata bahwa keadilan yang ditegakkan dengan integritas mampu membawa hidayah dan penghormatan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement