Ibadah
Beranda » Berita » SHALAT TARAWIH 4–4 DALAM PERSPEKTIF MAZHAB FIKIH YANG EMPAT

SHALAT TARAWIH 4–4 DALAM PERSPEKTIF MAZHAB FIKIH YANG EMPAT

SHALAT TARAWIH 4–4 DALAM PERSPEKTIF MAZHAB FIKIH YANG EMPAT
SHALAT TARAWIH 4–4 DALAM PERSPEKTIF MAZHAB FIKIH YANG EMPAT

 

SURAU.CO – Salah satu tradisi yang senantiasa menjadi perhatian umat Islam di bulan Ramadan adalah pelaksanaan salat tarawih. Dalam masyarakat kita, tarawih sering kali dilakukan dengan pola 2 rakaat–2 rakaat, disertai salam di setiap dua rakaat. Namun di beberapa tempat muncul praktik tarawih dengan pola 4 rakaat–4 rakaat. Pertanyaannya: bagaimana sebenarnya hukum salat tarawih 4–4 ini dalam pandangan mazhab-mazhab fikih yang empat?

Asal Hukum Salat Tarawih

Pada dasarnya, salat malam — termasuk tarawih — dikerjakan dengan pola dua rakaat salam, dua rakaat salam, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

> “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi dasar umum bagi seluruh mazhab fikih bahwa tata cara salat malam, termasuk tarawih, adalah dua rakaat salam. Tidak ada ulama yang mempermasalahkan format ini. Persoalan muncul ketika seseorang melaksanakan tarawih dengan empat rakaat sekaligus tanpa duduk tasyahhud di rakaat kedua — inilah yang disebut salat tarawih 4–4.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Mazhab Syafi‘i: Tidak Sah Jika Sengaja, Sah Sebagai Nafilah Jika Tidak Tahu

Dalam mazhab Syafi‘i, pelaksanaan salat tarawih harus dua rakaat salam. Tidak boleh empat rakaat sekaligus. Bila dilakukan dengan sengaja dan tahu hukumnya, maka salatnya tidak sah. Namun bila dilakukan karena ketidaktahuan, maka tetap sah, tetapi tidak dihitung sebagai tarawih, melainkan sebagai salat sunah mutlak.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan dalam Tuhfatul Muhtaj:

وَيَجِبُ التَّسْلِيمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ كَمَا مَرَّ، فَإِنْ زَادَ جَاهِلًا صَارَتْ نَفْلًا مُطْلَقًا

Artinya: “Wajib salam pada setiap dua rakaat sebagaimana disebutkan. Jika ditambah (empat rakaat) karena tidak tahu, maka menjadi salat sunah mutlak.”

Begitu pula dalam Nihayah al-Muhtaj:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ إنْ كَانَ عَامِدًا عَالِمًا، وَإِلَّا صَارَتْ نَفْلًا مُطْلَقًا؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ

Jadi, bagi penganut mazhab Syafi‘i seperti di Indonesia, shalat tarawih 4–4 tidak disyariatkan dan tidak sah jika dilakukan dengan sengaja.

Mazhab Maliki: Sah, tetapi Makruh

Dalam mazhab Maliki, salat tarawih empat rakaat sekaligus sah, namun hukumnya makruh, yakni tidak dianjurkan. Karena yang lebih utama dan sesuai tuntunan Nabi ﷺ adalah dua rakaat salam.

Dalam Hasyiyah al-‘Adawi disebutkan:

وَيُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ أَيْ يُنْدَبُ، وَيُكْرَهُ تَأْخِيرُ السَّلامِ بَعْدَ كُلِّ أَرْبَعٍ

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

 

Artinya: “Disunnahkan untuk salam setiap dua rakaat, dan makruh mengakhirkan salam hingga empat rakaat.”

Maka menurut mazhab Maliki, orang yang salat tarawih 4–4 tetap mendapat pahala, hanya saja meninggalkan yang lebih utama.

Mazhab Hanbali: Ada Dua Pendapat

Dalam mazhab Hanbali, para ulama berbeda pendapat.

Pendapat Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyatakan bahwa salat tarawih 4–4 tidak sah, sejalan dengan pandangan mazhab Syafi‘i.

Namun pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanbali menyatakan bahwa salatnya sah, tetapi hukumnya makruh, sebagaimana pendapat mazhab Maliki.

Dalam al-Inshaf disebutkan:

وَقِيلَ: لَا يَصِحُّ إلَّا مَثْنَى فِي اللَّيْلِ … وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الْمُصَنِّفِ … وَعَلَى الْقَوْلِ بِصِحَّتِهِ فَهُوَ مَكْرُوهٌ

 

Artinya: “Dikatakan bahwa tidak sah salat malam kecuali dua rakaat (dua rakaat)… Namun pada pendapat yang mengatakan sah, hukumnya makruh.”

Mazhab Hanafi: Sah, tapi Terhitung Dua Rakaat

Mazhab Hanafi juga memiliki perincian tersendiri. Jika seseorang melakukan salat tarawih empat rakaat tanpa duduk tasyahhud pada rakaat kedua, maka:

Menurut Imam Muhammad bin Hasan, Zufar, dan salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah, salatnya batal.

Sementara Imam Abu Yusuf dan pendapat yang mashur dari Imam Abu Hanifah menyatakan salatnya sah, tetapi hanya dihitung dua rakaat saja.

Dalam al-Bahrur Raiq dijelaskan:

فَلَوْ صَلَّى الْإِمَامُ أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ وَلَمْ يَقْعُدْ فِي الثَّانِيَةِ … تَنُوبُ عَنْ وَاحِدَةٍ وَهُوَ الصَّحِيحُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى

Artinya: “Jika imam salat empat rakaat dengan satu salam tanpa duduk di rakaat kedua, maka yang sahih adalah hanya terhitung satu salam (dua rakaat) dan inilah yang difatwakan.”

Dalam mazhab Hanafi, duduk tasyahhud awal hukumnya wajib, maka meninggalkannya menjadikan dua rakaat pertama tidak sempurna, tetapi tidak membatalkan salat secara keseluruhan karena ada prinsip istihsan.

Kesimpulan Umum

Berdasarkan penjelasan keempat mazhab fikih tersebut, dapat disimpulkan:

Mazhab Hukum Salat Tarawih 4–4 Keterangan

Syafi‘i Tidak sah jika sengaja Bila tidak tahu, sah tapi jadi salat sunah mutlak
Maliki Sah tapi makruh Tidak dianjurkan, lebih utama 2–2
Hanbali Khilaf: sebagian tidak sah, pendapat masyhur sah tapi makruh Lebih utama 2–2
Hanafi Sah, tapi hanya terhitung 2 rakaat Karena tasyahhud awal wajib

Hikmah dan Pertimbangan Jamaah

Dari keempat pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada keistimewaan pada salat tarawih 4–4. Bahkan, jika dilihat dari sisi kehatihatian (ihtiyath), melaksanakan tarawih 2–2 jauh lebih selamat dan sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ.

Di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi‘i, memaksakan format 4–4 justru dapat menimbulkan kebingungan dan perpecahan. Orang yang tahu hukumnya bisa jadi tidak mau ikut berjamaah karena meyakini salat itu tidak sah. Padahal, masjid seharusnya menjadi tempat pemersatu umat, bukan ajang perbedaan yang menimbulkan jarak.

Penutup

Tidak ada salahnya berpegang pada bentuk ibadah yang telah disepakati para ulama tentang kesahihannya. Nabi ﷺ tidak pernah mencontohkan salat malam lebih dari dua rakaat salam, dan para sahabat pun mengikutinya dengan penuh kehati-hatian.

Karena itu, melaksanakan tarawih 2–2 bukan hanya sesuai sunnah, tapi juga menjadi jalan untuk menjaga kesatuan umat di rumah Allah.

> “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Wallāhu ta‘ālā a‘la wa a‘lam. (Tengku Iskandar – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement