Pendidikan
Beranda » Berita » Moderasi Beragama di Ruang Digital: Antara Citra dan Substansi

Moderasi Beragama di Ruang Digital: Antara Citra dan Substansi

Moderasi Beragama di Ruang Digital: Antara Citra dan Substansi
Ilusrasi di ruang digital (Foto: Istimewa)

SURAU.CO – Di era digital, manusia tidak lagi bergantung pada tatap muka untuk berinteraksi. Dunia maya telah menjadi ruang baru tempat manusia membangun relasi dan menampilkan nilai-nilai yang ia yakini. Agama pun kini hadir bukan hanya sebagai pedoman moral dan spiritual, tetapi juga sebagai ekspresi sosial di ruang publik digital.

Namun, derasnya arus konten keagamaan di media sosial menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana umat Islam mampu mempertahankan moderasi beragama yang berlandaskan prinsip wasatiyyah (keseimbangan) di tengah dunia digital yang sarat citra dan kinerja?

Teori Dramaturgi Goffman

Sosiolog Erving Goffman, melalui teori dramaturginya, menggambarkan kehidupan sosial seperti panggung teater. Setiap individu memainkan peran tertentu untuk membentuk kesan di hadapan penonton.

Di dunia digital, media sosial berfungsi sebagai frontstage —panggung depan—tempat seseorang menampilkan citra diri yang ingin ia tampilkan, termasuk citra religius dan moderat. Sementara itu, backstage menjadi ruang privat tempat seseorang berhadapan dengan dirinya sendiri, tempat ia menumbuhkan kejujuran dan refleksi spiritual.

Dalam memandang Islam, seseorang tidak cukup hanya menampilkan kesalehan; ia harus menghidupinya. Moderasi beragama menuntut keseimbangan antara representasi publik dan internalisasi nilai dalam perilaku nyata. Saat seseorang menampilkan citra moderator di ruang digital, ia seharusnya juga menanamkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Moderasi Beragama

Kenyataan di dunia digital sering kali menunjukkan hal yang berbeda. Banyak orang menjadikan media sosial sebagai arena performatif religiusitas, yakni ekspresi keagamaan yang lebih menekankan citra daripada makna.

Banyak individu dan kelompok berlomba menampilkan diri sebagai “moderat” melalui unggahan narasi toleransi, foto lintas agama, atau kampanye damai. Semuanya tampak indah di permukaan, tetapi sering kali tidak menumbuhkan internalisasi nilai-nilai yang mendalam.

Masalah muncul ketika moderasi beragama berhenti pada simbol, bukan pada nilai hidup. Banyak unggahan tentang toleransi yang viral, tetapi perilaku sosial tetap memunculkan kebencian, polarisasi identitas, dan rendahnya empati. Kondisi ini membuat moderasi kehilangan daya ubah sosial dan menjadikannya sekadar proyek citra moral yang kosong.

Moderasi di Indonesia

Fenomena tersebut terlihat jelas di Indonesia. Banyak pihak menggerakkan program moderasi beragam melalui kampanye digital dan kegiatan seremonial. Slogan-slogan seperti “Islam Rahmatan lil ‘Alamin” memikat berbagai platform media sosial.

Namun, banyak orang yang belum benar-benar mewujudkan nilai-nilai wasatiyyah dalam kehidupan sosial yang adil, toleran, dan seimbang. Banyak yang hanya menanamkan toleransi di ruang homogen—kepada sesama seagama atau dalam forum formal yang penuh basa-basi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kesenjangan antara kinerja dan substansi ini menciptakan tantangan besar. Moderasi beragam tampak megah di ruang digital, tetapi sering gagal di ruang sosial nyata. Banyak pengguna media sosial yang berbicara tentang toleransi, namun mudah tersulut emosi ketika menghadapi perbedaan pandangan politik, mazhab, atau budaya.

Wasatiyyah: Keseimbangan antara Pikiran, Sikap, dan Tindakan

Wasatiyyah menuntut lebih dari sekedar narasi yang indah. Prinsip ini menuntut keadilan dalam berpikir, keseimbangan dalam berpikir, dan kasih sayang dalam bertindak.

Simbol-simbol seperti foto kebersamaan antarumat beragama, video kampanye perdamaian, atau pernyataan inklusif memang penting, tetapi simbol tanpa substansi hanya melahirkan makna.

Umat ​​Islam perlu menjadikan moderasi beragama bukan sekadar proyek pencitraan, tetapi sebagai proses transformasi sosial dan spiritual. Moderasi harus menembus batas ruang digital dan hidup dalam keseharian—di rumah, sekolah, tempat kerja, bahkan dalam keputusan politik.

Ruang digital tidak perlu menjadi ancaman. Umat ​​justru bisa menjadikan wahana pendidikan bernilai jika menggunakannya dengan bijak. Melalui literasi digital berbasis nilai keagamaan moderat, masyarakat dapat belajar beragama tanpa mengesampingkan, berdakwah tanpa menyalahkan, dan berdialog tanpa menghakimi.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Dengan cara itu, ruang digital dapat berfungsi sebagai laboratorium sosial yang menumbuhkan budaya damai dan inklusif.

Jalan Menuju Moderasi Autentik

Islam mengajarkan bahwa kemuliaan manusia tidak bergantung pada citranya, tetapi pada amal dan niatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian” (HR. Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa ukuran moderasi beragama tidak terletak pada seberapa “toleransi” seseorang memandang dunia maya, melainkan pada ketulusan dalam menegakkan keadilan, keseimbangan, dan kasih sayang di dunia nyata.

Ketika performa dan substansi berjalan seiring, ketika frontstage dan backstage menyatu, moderasi beragama akan menjadi kekuatan autentik yang memperkokoh kohesi sosial dan memperluas ruang empati.

Di titik ini, wasatiyyah menemukan bentuk sejatinya: bukan sekadar slogan, melainkan peradaban yang hidup—peradaban yang tidak hanya menghadirkan kedamaian di layar ponsel, namun juga menumbuhkan kedamaian di hati manusia.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement