SURAU.CO. Pepatah Jawa “Eling sangkan paraning dumadi” bermakna “ingatlah asal-usul dan tujuan keberadaanmu.” Ungkapan ini mengingatkan manusia agar sadar bahwa hidup bukan sekadar perjalanan lahiriah, melainkan perjalanan batin menuju kesadaran tentang asal dan tujuan hidup.
Kesadaran itu menuntun manusia untuk selalu terhubung dengan Sang Pencipta. Dengan eling, seseorang belajar menerima hidup dengan tenang yaitu tidak sombong saat diberi nikmat dan tidak putus asa saat diuji. Di sanalah keseimbangan antara ikhtiar dan pasrah menemukan maknanya.
Eling: Menemukan Makna dalam Filsafat Jawa Kuno
Ungkapan ini menuntun manusia agar senantiasa sadar akan asal dan tujuan hidupnya—dari mana ia datang (sangkan) dan ke mana ia akan kembali (paraning dumadi). Kesadaran itu tidak berhenti pada tataran pengetahuan, melainkan tumbuh menjadi laku spiritual yang menuntun langkah, menajamkan nurani, dan menundukkan ego. Melalui kesadaran ini, manusia belajar berjalan dengan hati yang penuh insaf, merunduk dalam kerendahan, dan bijak dalam menyikapi setiap peristiwa hidup.
Ajaran ini tumbuh dari kearifan masyarakat Jawa kuno yang menenun unsur mistik, etika, dan spiritualitas menjadi satu kesatuan pandangan hidup. Mereka melihat kehidupan sebagai lingkaran abadi: manusia datang dari Yang Maha Suci, menempuh perjalanan dunia, lalu kembali kepada-Nya. Di sepanjang jalan itu, sikap eling menjadi pelita batin. Ia menjaga manusia agar tidak terseret oleh gemerlap dunia, menundukkan kesombongan saat berjaya, dan menguatkan hati saat diterpa ujian. Dengan eling, hidup menemukan arah, dan jiwa menemukan damainya.
Nilai-Nilai yang Membentuk Karakter Jawa
Nilai ini hidup dalam pepatah Jawa seperti “urip iku mung mampir ngombe,” yang bermakna bahwa dunia hanyalah tempat singgah sementara. Dari sanalah eling sangkan paraning dumadi menumbuhkan sikap batin yang lembut: kesabaran dalam menghadapi ujian, nrima ing pandum atau kelapangan hati menerima ketentuan, serta andhap asor atau kerendahan hati dalam bersikap.
Ketika musibah datang, orang Jawa sering berucap, “wis, kudu eling sangkan paraning dumadi,” sebagai peneguhan diri bahwa setiap kejadian merupakan bagian dari takdir Gusti Allah. Dalam kesadaran semacam itu, manusia tidak berhenti berusaha, namun tetap pasrah kepada kehendak Ilahi. Di titik itulah terwujud keseimbangan antara ikhtiar dan kepasrahan, antara usaha manusia dan restu langit.
Keselarasan antara Ajaran Islam dan Filsafat Jawa
Pepatah ini sejatinya sejalan dengan ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, kesadaran akan asal dan tujuan hidup merupakan inti dari keimanan. Al-Qur’an menegaskan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” yang berarti “Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.” Ruh ayat ini senada dengan makna eling sangkan paraning dumadi—bahwa manusia berasal dari Allah Swt dan kelak akan kembali kepada-Nya.
Dalam konteks spiritual, eling adalah bentuk dzikrullah, yakni kesadaran yang hidup dalam hati untuk senantiasa mengingat Sang Pencipta, Allah Swt. Ketika seseorang hidup dengan kesadaran itu, ia tidak mudah hanyut oleh gemerlap dunia dan tetap teguh dalam setiap ujian.
Eling Musibah Al-Khoziny: Madrasah Kehidupan
Peristiwa tragis di Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran Sidoarjo mengguncang. Sebuah bangunan ambruk saat para santri salat Ashar, menelan puluhan korban jiwa. Namun di tengah duka, para kiai dan santri berusaha eling sangkan paraning dumadi. Mereka menyadari bahwa hidup dan mati adalah bagian dari perjalanan kembali kepada Sang Pencipta. Dari musibah itu, mereka belajar bahwa takdir bukan sekadar ujian, melainkan panggilan untuk memperdalam makna hidup dan memperkuat iman.
Kesadaran ini membuat mereka tetap tegar. Di bawah tenda darurat, suara hafalan Al-Qur’an kembali bergema, menandakan bahwa yang runtuh hanyalah bangunan, bukan semangat mereka. Bagi para santri, eling sangkan paraning dumadi bukan lagi sekadar pepatah, tetapi napas kehidupan—mengingat Allah di setiap hembusan, menerima takdir dengan lapang, dan terus berikhtiar di jalan kebaikan.
Menemukan Kedamaian Sejati Melalui Eling
Eling sangkan paraning dumadi bukan sekadar pepatah, melainkan cahaya kebijaksanaan yang menuntun manusia menapaki jalan hidup dengan penuh makna. Ajaran ini mengingatkan bahwa hidup sejatinya adalah perjalanan pulang menuju Sang Pencipta. Setiap peristiwa—baik suka maupun duka—adalah bagian dari proses penyadaran diri agar manusia semakin mengenal siapa dirinya dan kepada siapa ia akan kembali.
Ketika seseorang eling, hatinya menjadi jernih; ia menerima takdir tanpa kehilangan semangat berikhtiar. Dalam kesadaran itu, manusia belajar menggenggam ikhtiar dengan tangan, dan menambatkannya pada keikhlasan di hati. Hanya dengan eling, cahaya iman tetap menyala, menuntun hati menuju kedamaian yang sejati yakni tempat segala perjalanan berakhir, yakni kepada-Nya.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
