SURAU.CO – Umar bin Khattab, sosok agung, sebagai Amirul Mukminin, ia menjalani hidup dengan kesederhanaan bahkan sebelum terpilih mengemban amanah kekhalifahan. Penghidupannya kala itu ia dapatkan dari berdagang, sebuah profesi yang umum di masanya dan memberinya kemandirian finansial. Namun, ketika takdir menuntunnya menduduki jabatan tertinggi dalam kepemimpinan Islam, dinamika kehidupannya pun berubah, termasuk sumber penghasilannya. Ia mulai menerima gaji dari kas negara. Sebuah tunjangan yang, menurut kalkulasi saat itu, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Itupun dengan standar kehidupan paling rendah.
Gaji tersebut, yang mungkin bagi sebagian orang terkesan minimalis, justru menjadi cerminan dari prinsip hidup Umar yang menjunjung tinggi kesederhanaan. Ia tidak ingin fasilitas negara membuatnya terbuai kemewahan atau terpisah dari rakyat jelata yang ia pimpin.
Keputusan untuk hidup dalam keterbatasan finansial ini bukan tanpa alasan. Ia sepenuhnya sadar bahwa kekuasaan datang bersama tanggung jawab yang besar, termasuk tanggung jawab moral untuk memberikan teladan. Standar hidup yang paling rendah ini menjadi pengingat konstan baginya tentang realitas hidup sebagian besar rakyatnya, menjaga empati dan kepekaannya sebagai seorang pemimpin. Ia tidak mencari kekayaan pribadi dari jabatannya, melainkan berupaya keras untuk memastikan keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Prinsip ini menjadi fondasi kuat kepemimpinannya, menegaskan bahwa jabatan adalah amanah, bukan sarana untuk memperkaya diri. Ini adalah pelajaran berharga bagi setiap pemimpin di era manapun, bahwa integritas dan kesederhanaan adalah mahkota yang jauh lebih berharga daripada harta duniawi.
Usulan Kenaikan Gaji: Dilema Sahabat Senior
Beberapa waktu kemudian, para sahabat senior yang mencermati kondisi hidup khalifah, merasa tergerak untuk mengusulkan perubahan. Sekelompok sahabat terkemuka, termasuk Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah, berkumpul untuk mendiskusikan masalah ini. Mereka merasa bahwa gaji Umar tidak sepadan dengan beban dan tanggung jawab besar yang ia emban sebagai pemimpin seluruh kaum Muslimin. Setelah berdiskusi panjang, mereka mencapai kesepakatan bulat: gaji Umar harus dinaikkan.
Namun, muncul dilema baru. Meskipun niat mereka baik, tidak seorang pun di antara mereka yang memiliki keberanian untuk secara langsung mengajukan usulan sensitif ini kepada Khalifah Umar. Mereka memahami betul karakter Umar yang tegas, jujur, dan sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip Islam, terutama dalam hal kesederhanaan.
Kekhawatiran mereka beralasan. Umar terkenal sebagai pemimpin yang tidak mencari keuntungan pribadi dari jabatannya, dan bahkan seringkali menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kemewahan. Mereka takut usulan mereka akan dianggap sebagai upaya untuk mendorong Umar keluar dari jalur kesederhanaan yang ia yakini.
Oleh karena itu, mereka mencari jalan lain yang lebih halus untuk menyampaikan maksud mereka. Mereka memutuskan untuk mendekati seseorang yang memiliki kedekatan emosional dan posisi khusus di hati Umar: Hafshah binti Umar, putri khalifah dan janda mulia Rasulullah SAW. Mereka berharap Hafshah, dengan perannya sebagai putri dan sekaligus istri Rasulullah, dapat melunakkan hati Umar dan membuatnya menerima usulan kenaikan gaji ini. Ini menunjukkan betapa para sahabat menghormati Umar sekaligus memahami karakter kuatnya.
Reaksi Tegas Khalifah Umar terhadap Usulan
Hafshah, dengan membawa amanah dari para sahabat senior, akhirnya menemui ayahnya, Khalifah Umar. Dengan hati-hati ia menyampaikan proposal kenaikan gaji tersebut. Ia mencoba menjelaskan maksud baik para sahabat yang prihatin akan kondisi ayahnya.
Namun, reaksi Umar jauh dari yang diharapkan. Segera setelah mendengarkan usulan tersebut, raut wajah Umar berubah, menunjukkan kemarahannya. Ia naik pitam dan dengan suara membentak, bertanya, “Siapakah orang-orang yang telah mengajukan usulan jahat ini?” Pertanyaan itu bukan sekadar ingin tahu, melainkan juga mengandung nada peringatan dan ketidaksetujuan yang sangat jelas.
Hafshah yang melihat kemarahan ayahnya, diam membisu. Dia tidak berani menjawab. Khalifah Umar kembali menegaskan ketidaksetujuannya dengan nada yang lebih keras, “Seandainya aku mengetahui mereka, niscaya aku akan memukulnya hingga babak belur.” Ancaman ini menunjukkan betapa seriusnya Umar memandang usulan tersebut sebagai penyimpangan dari prinsip-prinsip yang ia pegang teguh.
Kemudian, Umar beralih kepada putrinya, memberikan pelajaran berharga yang juga ditujukan kepada siapa pun yang mendengar. “Dan engkau putriku,” katanya, “engkau bisa melihat di rumahmu sendiri pakaian-pakaian terbaik yang biasa dipakai Rasulullah, makanan terbaik yang biasa dimakan Rasulullah, dan ranjang terbaik yang biasa beliau gunakan untuk tidur. Apakah milikku lebih buruk dari semua ini?” Hafshah, yang menyaksikan sendiri kesederhanaan hidup Rasulullah, tidak bisa membantah. “Tidak, ayah, tidak,” jawab Hafshah dengan jujur.
Keteguhan Umar: Menjaga Warisan Rasulullah
Khalifah Umar kemudian mengakhiri perdebatan dengan pesan yang jelas dan tegas, sebuah prinsip yang ia pegang teguh sepanjang hidupnya. “Kalau begitu katakan pada orang yang telah mengirimmu,” Umar berhenti sejenak, mengumpulkan pikirannya, sebelum akhirnya melanjutkan dengan suara mantap, “Bahwa Rasulullah telah menetapkan standar kehidupan seseorang dan aku tidak akan menyimpang dari standar yang beliau gariskan.” Pernyataan ini menunjukkan kedalaman penghormatan dan kecintaan Umar terhadap Rasulullah SAW, serta komitmennya yang tak tergoyahkan untuk meneladani setiap aspek kehidupan beliau, termasuk dalam hal kesederhanaan materi. Bagi Umar, mengikuti jejak Rasulullah bukan hanya sekadar anjuran, melainkan sebuah kewajiban moral dan etika kepemimpinan yang mutlak.
Keputusan Umar untuk menolak kenaikan gaji, bahkan ketika diusulkan oleh para sahabat terkemuka, bukan semata-mata karena keras kepala. Lebih dari itu, ia adalah manifestasi dari pemahaman mendalamnya tentang esensi kekuasaan dan tanggung jawab. Ia percaya bahwa seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi rakyatnya, dan teladan terbaik adalah Rasulullah SAW. Jika Rasulullah, yang merupakan utusan Allah, hidup dalam kesederhanaan, mengapa seorang khalifah harus hidup dalam kemewahan?
Kisah ini menjadi pelajaran abadi tentang integritas, kerendahan hati, dan pengorbanan diri dalam kepemimpinan. Umar bin Khattab tidak hanya memimpin umat dengan keadilan dan kekuatan, tetapi juga dengan teladan hidup yang luar biasa. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan sejati terletak pada kemampuan untuk mengendalikan diri dari godaan duniawi, dan memilih jalan kesederhanaan demi kemaslahatan umat. Warisan kebijaksanaan dan ketegasannya ini terus menginspirasi para pemimpin di setiap generasi untuk mengutamakan rakyat dan meneladani kesucian Rasulullah dalam setiap tindakan dan keputusan mereka.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
